logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Three

Orang bilang cinta hadir karena terbiasa, lalu bagaimana dengan Janu? Pemuda itu sudah terbiasa dengan kehadiran Mira di sekitarnya lantas, bukankah seharusnya perasaan tersebut sudahlah ada?
Entahlah. Rasanya, Mira lebih memilih memahami matematika dari pada memahami perasaan Janu yang bahkan lebih rumit dari pelajaran yang sangatlah ia benci itu.
Menelisik dari bagaimana sikap pemuda itu kepadanya selama satu tahun ini sungguh, Mira ingin kembali memutar waktu di saat-saat ketika ... ia yang hanya bisa mengagumi Janu dari kejauhan. Sementara tindakan berani berbekal nekat yang mampu dilakukannya kala itu hanyalah sebatas menguntit di belakang pemuda itu yang tengah bersepeda—itupun dirinya hanya melakukannya sekali karena kapok dengan keringat dingin yang merembes mengiringi goesannya.
Konyol sekali kalau diingat kembali.
Serius, tidak pernah terbayangkan oleh Mira sebelumnya jikalau ia mengharapkan sesuatu balasan apapun—seperti misal keberadaannya dilirik oleh Janu awalnya—namun tidak selepas kejadian itu.
Kejadian tak terduga saat dimana untuk pertama kalinya Mira berinteraksi dengan Janu. Sangat dekat. Ia bahkan bisa melihat jelas wajah menawan berbalut ekspresi datar itu ketika membantu mengangkat tubuhnya yang terjatuh.
Memang tidak ada satu patah katapun yang Janu keluarkan waktu itu. Pemuda itu hanya diam lengkap dengan sepasang netranya yang menyorot tajam, tetapi justru malah membuat Mira terjerat dengan tubuh kian panas dingin.
Sulur-sulur keinginan itupun lantas tumbuh, tapi masih bisa Mira coba samarkan perlahan walaupun tidak sepenuhnya atau justru malah gagal total? Sebab, begitu gadis itu tahu jika seorang yang akan dijodohkan dengannya adalah Janu, keinginan tersebut justru naik kepermukaan.
Mira ingin Janu melirik keberadaannya.
Mira ingin Janu membalas perasaannya.
Dan Mira juga ingin ... memiliki Janu, seutuhnya.
Tetap bersikeras bersikap masa bodoh menghadapi kenyataan pahit yang menamparnya bila, sampai detik ini keinginannya itu tak kunjung juga terwujud.
Janu Dwi Maharga ...
Harus dengan cara apalagi Mira agar bisa mencairkan hati keras nan beku milik pemuda dingin itu?
***
"KAK MIRA, KAK MIRAAA! PAPERBAG-NYA KETINGGALAN!"
Mira yang tadinya sudah siap masuk ke kelas mendadak menghentikan langkah begitu telinganya mendengar suara teriakan yang menyuarakan namanya.
Berbalik, Mira mendapati gadis berambut bob sedang berlari kecil mendekat ke arahnya. Ah—ya, sepupunya, Liona Ajidarma.
Lio menyerahkan paperbag yang dibawanya pada Mira. Masih tampak ngos-ngosan, gadis itu berujar mengejek, "Belum juga punya KTP, tapi sudah pelupa."
Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Mira lantas menerima paperbag tersebut. "Apa hubungannya Lio," katanya namun hanya dibalas endikan bahu gadis yang satu tahun lebih muda darinya sebelum si empu kemudian pamit pergi namun masih menyempatkan diri mengucapkan beberapa patah kata.
"Nanti pas pulang, bareng lagi nggak, Kak?"
"Nggak deh, aku bisa pulang minta jemput sama supir rumah. Soalnya nanti aku mau eskul dulu."
"Okey."
Iya, hari ini Mira memang berangkat sekolah bersama dengan sepupunya mengingat karena tadi, ada hal yang ingin ia bagi dengan Lio yang selama ini sudah menjadi patner curhatnya.
Tapi bicara mengenai paperbag yang entah apa isinya—yang merupakan titipan sang bunda, sepertinya Mira harus menyerahkannya dulu pada Janu seperti apa yang wanita setengah abad itu amanatkan padanya.
Mengingat kebiasan Janu yang suka berangkat pagi, sepertinya Mira lebih baik pergi ke kelas pemuda itu sekarang saja saat setelah menyempatkan menyimpan tasnya di bangku terlebih dahulu.
Ia berpikir, Janu pasti sudah berangkat dan berada di kelasnya sekarang.
Terbukti, begitu selepas menyusuri koridor sekolah yang suasananya masih sangat lenggang, Mira mendapati Janu dan beberapa temannya—minus Haikal dan Adinata—keluar kelas bersama namun tidak jadi ketika melihat kehadirannya.
Sosok tinggi tapi memiliki sifat pemalu—Aji, yang pertama kali menyadari kehadiran Mira lantas segera menyenggol siku Janu, seolah memberi kode agar menoleh ke arah dimana gadis itu berdiri—yang ternyata bukan hanya Janu saja yang menolehkan kepala tapi ... Rendi dan Ale pun ikut serta.
Cibiran kecil keluar dari bibir Ale bersamaan dengan kedua tangan panjangnya yang merangkul Rendi dan Aji dimasing-masing sisinya. "Ayo para budakku, kita pergi dari sini demi keselamatan bersama."
"Apasih, Le," timpal Aji sungkan. Tidak mempedulikan kosakata 'budakku' yang disematkan pada dirinya juga Rendi. Barangkali, sudah terbiasa.
"Emangnya lo pada mau jadi nyamuk jadi-jadian?" Tanya Ale. Lalu, pemuda berkulit sangat putih tersebut menatap bergantian sebelum kembali berkata, "Gue sih, ogah."
"Ya, nggak mau juga," jawab Aji seraya menatap Mira tidak enak.
"Maka dari itu mari kita biarkan mereka waktu berdua untuk memadu kasih bersama."
Alih-alih ikut membalas perkataan Ale sama absurd-nya rupanya, Rendi terlalu waras untuk melakukan hal tersebut. Sosok yang dikenal kalem dan tidak banyak tingkah itu hanya geleng-geleng. "Kita pergi duluan, Nu," ucapnya pamit sembari menyeret serta kedua sahabatnya yang masih saja berkotek.
Mira memandangi kepergian ketiganya, tepat dilangkah ketiga ia menghitung dalam hati—ia berseru mendadak ketika teringat sesuatu. "Aji, tunggu." Membuat si empu yang dipanggil namanya lantas berbalik dengan wajah berubah kecut begitu mendengar lanjutan dari kalimatnya. "Tadi ... Lio titip salam penuh cinta buat kamu."
"Asek, asek jos!" Ale berseru heboh. "Acieee, yang dapet salam dari dedek gemes. Uwu."
Bukan hal yang baru memang jika Lio sepupu Mira menyukai Aji. Gadis itu bahkan menunjukan rasa sukanya secara terang-terangan.
"Diem, deh!" Aji beranjak pergi diikuti Rendi dan Ale yang tertawa ngakak—tidak mau berhenti, seolah pemuda itu menjadi manusia paling rugi di dunia jika melakukannya.
Aji yang merasa kesal dengan suara tawa tersebut yang seolah terdengar sangat mengejeknya kemudian mendorong tubuh Ale. Tidak mau kalah, Ale lantas balas mendorong tubuh Aji. Begitu terus, tidak ada yang berniat mengalah. Hingga keduanya berakhir saling dorong.
Tanpa sadar tawa geli terulas di bibir Mira sebelum kedua netranya menoleh sepenuhnya pada sosok yang sedari tadi hanya diam membisu bak patung. Ditatap Janu dengan binar matanya yang menyorot polos sembari mengulurkan paperbag yang dibawanya.
"Tadi Bunda titip ini buat kamu. Aku nggak tau isinya apa."
"..."
"Oh, iya. Bunda juga minta kamu buat mampir ke rumah sepulang sekolah nanti."
"..."
Janu tidak memberi respon apapun meski paperbag tersebut sudah diterima pemuda itu—tanpa berniat mengecek apa yang ada didalamnya. Ia hanya memberi mimik wajah datar tanpa ekspresi andalannya dengan tatapan yang entah menjuru kemana.
Membasahi bibir bawahnya, Mira kemudian mencebik pelan. "Janu. Kamu dengerin aku ngomong, kan?"
"Denger."
"Kok kamu nggak kasih respon kalimat aku tadi?"
"Kenapa?"
"Kenapa apanya???" Tanya Mira bingung bercampur kesal.
"Harus kasih respon?"
"Ish! Tauk ah!" Dongkol Mira tapi tidak berlangsung lama karena berikutnya gadis itu jinjit, mengulurkan tangan kanannya—hanya untuk merapikan anak rambut Janu yang jatuh menutupi dahi. Terasa begitu halus saat bersentuhan dengan kulit tangan.
Astaga.
What the f—hampir saja mulut Mira kelepasan mengumpat, ketika mendapat akibat dari tindakan impulsifnya. Janu tanpa aba-aba mengalihkan tatapan menjadi sepenuhnya menatapnya sembari menahan tangannya yang bertengger di kepala pemuda itu!
Demi Tuhan. Jantung Mira seperti ingin melompat keluar.
Masih dengan posisi kedua kaki yang jinjit, dari posisi yang teramat dekat, Mira memberanikan diri menatap balik sepasang mata tajam tersebut yang selalu mampu menenggelamkannya yang kini bisa ia lihat dengan jelas dalam jarak sedekat ini. Mira sempat salah fokus dengan tahi lalat Janu yang berada di bawah mata kiri sebelum kembali ke mata pemuda itu lalu, ingatan mengenai pembicaraannya bersama Lio saat di mobil—tanpa permisi berputar di kepala.
"Aku bingung Lio, harus dengan cara gimana lagi buat ngeluluhin sikap dingin Janu supaya dia bisa balas perasaanku."
"Lho? Memangnya Kak Mira udah bilang sama Kak Janu, kalau Kakak suka sama dia?"
Mira menggeleng.
Lio menepuk bahunya agak keras. "Haish, bilang dulu atuh, Kak Mira ... barulah, entar tinggal cari palu alias cara yang kuat yang bisa runtuhin sikap es batunya Kak Janu!"
Mira tidak mengangguk juga tidak pula menggeleng. Ia hanya diam dengan tatapan menerawang.
Well, rupanya nasib percintaannya tak jauh berbeda dengan sang sepupu. Iya, menurutnya.
Sama-sama bertepuk sebelah tangan.
Bedanya, Lio dan Aji tidak terikat dengan hubungan apapun. Sementara Mira dan Janu sudah terikat dengan hubungan perjodohan dan telah bertunangan.
Dan bedanya lagi, Lio berani mengungkapkan perasaannya pada Aji, tidak peduli jika penolakan berulangkali yang didapat gadis itu setelahnya.
Sementara Mira, ia takut. Takut jikalau ia mengungkapkan perasaannya pada Janu, dirinya hanya akan mendapat penolakan yang sama rupanya dengan yang dialami Lio.
Cukup. Cukup saja hanya penolakan yang didapatnya secara tersirat melalui perlakuan dingin yang selama ini Janu tunjukan. Jangan, Mira tidak ingin lagi mendapat penolakan jenis lain—apalagi itu secara langsung, dari mulut Janu.
Mira takut. Sangat.
Tapi disatu sisi, kata hatinya berkata lain.
Haruskah?
***

Komento sa Aklat (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata