logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hidden

Hidden

hellonara


One

Miracle Ajidarma.
Miracle—seperti bagaimana arti nama yang terkandung di dalamnya, Keajaiban. Lalu kemudian sebuah marga dari keluarga terpandang, Ajidarma, tertulis di belakangnya—gadis pemilik wajah baby face tersebut sungguh, memang pantas menyandang nama itu.
Mira, orang memanggilnya demikian.
Layaknya sebuah do'a dalam arti nama yang telah disematkan didirinya, kehadiran gadis itu memang bak sebuah keajaiban bagi sepasang suami istri dari keluarga Ajidarma yang saat itu, berada di ambang keputusasaan—menanti 15 tahun lamanya hanya untuk menimang seorang putra.
Tidak mengherankan, apabila hal-hal mengenainya—sekecil apapun itu, kerap di perhatikan sedemikian rupa.
Salah satunya, jodoh.
Diusia yang baru menginjak tepat 15 tahun saat itu, tidak pernah Mira pikirkan sebelumnya jikalau kedua orang tuanya sudah lebih dulu rempong mencarikan seorang jodoh untuknya.
Bukan, ini bukan perihal karena orangtuanya khawatir jikalau paras Mira kurang cantik hingga tidak mampu menarik perhatian satupun kaum adam. Semuanya lebih kepada bahwa mereka tidak ingin jika anak semata wayangnya mendapat pasangan yang jauh dari kata tepat.
"Gimana? Kalian setuju, kan dengan perjodohan ini?"
Pandangan geli beberapa orang jelas langsung ditunjukan pada sosok ber-dress jingga yang baru saja menganggukkan kepala berlebih.
Padahal, rasanya baru kemarin gadis itu seharian uring-uringan. Bersikeras menolak mentah-mentah tawaran perjodohan yang kedua orangtuanya ajukan. Namun lihat sekarang?
Mira menunduk. Dalam diam ia mengulas senyum malu-malu, rona kemerahan di pipinya pun ikut serta hadir. Sesekali ekor matanya melirik pemuda yang duduk berseberangan dengannya. Demi apapun, hatinya teramat senang bukan main.
Hell, jika dari awal Mira tahu siapa orang yang akan dijodohkan dengannya mungkin, ia tidak akan perlu membuang waktu cukup banyak hanya untuk membuat drama seperti hari kemarin.
"Mira sudah setuju nih, lalu bagaimana dengan kamu, Janu?" Sementara sosok yang baru saja di tanyai tersebut diam untuk beberapa saat meski sesudahnya pemuda itu mengangguk walau dengan wajah datar tanpa ekspresi hingga membuat dua pasang suami istri dari keluarga berbeda tersebut sama-sama menyunggingkan senyum sumringah.
Semudah itu, kedua belah pihak saling menyetujui. Semudah itu juga hati Mira meletup penuh bahagia. Kamu tidak perlu menjadi dirinya untuk tahu bagaimana perasaannya saat ini, cukup bayangkan saja bila seseorang yang selama ini hanya bisa kamu kagumi diam-diam dari kejauhan ternyata ... bisa kamu miliki.
Mira kira, setelah ini—kedepannya akan berlangsung mudah. Perasaannya pasti bersambut hingga ia dan Janu hanya akan berakhir menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai satu sama lain namun, perkiraannya salah.
Mira menyadari satu hal jika, sedari dulu atau bahkan saat kini, ketika pemuda itu telah menyandang status sebagai tunangannya selama satu tahun pun—tidak ada tanda-tanda yang menunjukan kalau seorang Janu Dwi Maharga punya rasa simpati lebih kepadanya.
Di saat kisah cinta bak dongeng disneyland yang selalu diimpikannya, ia justru mendapat kisahnya yang seperti ini—menaruh harapan pada seseorang yang jangankan membuat harapannya terwujud, sekedar mencoba membuka hati untuknya sedikit ... saja pun, rasanya seperti tidak sudi.
Miris bukan?
Tapi apalah daya Mira yang sudah terlanjur mencintai Janu terlalu dalam. Jangankan berniat mundur dan menyerah, membayangkan dirinya kehilangan pemuda bertabiat dingin itu saja sudah membuat ia merasa gila.
Bodoh, ia benar-benar bodoh. Tidak berhenti sampai di situ, kebodohannya bahkan kian bertambah tiap hari, seperti sekarang.
Ketika langit yang tadinya cerah oleh teriknya sinar matahari hingga kini perlahan-lahan mulai menghitam, si bodoh itu bahkan masih berdiri di sana tanpa mau beranjak sedikitpun—menunggu seseorang yang kehadirannya entah kapan pastinya.
Meremas rok seragamnya tanpa sadar, Mira menatap lelah layar ponselnya yang tak kunjung mendapatkan sebuah notifikasi balasan dari beberapa pesan yang ia kirim buat Janu.
Ini salahnya. Seharusnya ia sadar, ketidakadanya balasan dari pemuda itu sudah cukup memberi tanda kalaupun ia bersikeras menunggu di sini bahkan sampai pagi tiba, Janu tidak akan datang menjemputnya.
"Nggak papa Mir, kamu udah biasa kaya gini. Nggak papa." Mengusap dadanya beberapa kali, Mira mencoba menguatkan dirinya sendiri tapi, tidak bisa. Setetes air mata berhasil meloloskan diri dari pelupuk matanya namun segera ia hapus.
Sebentar lagi. Ya, sebentar lagi.
Mira masih tetap menunggu, berharap Janu tiba-tiba muncul tak terduga di hadapannya. Tetapi na'asnya, ketika detik berganti menit lalu menit berganti jam hingga langit benar-benar berubah gelap gulita—yang ditunggunya tidak pernah datang.
***
Handuk putih masih menggulung rambutnya yang basah, ketika sebuah dering ponsel berbunyi, memecah keheningan yang beberapa saat lalu tercipta di dalam kamar bernuansa soft pink tersebut.
Bergegas, Mira lantas mengabaikan begitu saja pakaian yang tadinya hendak gadis itu kenakan. Belum lagi, ia juga mengabaikan vas bunga yang di senggol hingga terjatuh ketika ia terlalu semangat mengambil ponsel di atas nakas.
"Hal—"
"Di mana?"
Seseorang di seberang sana bahkan lebih dulu memotong perkataan Mira dengan nada bicara yang dingin—lebih dingin dari biasanya—teramat menusuk di telinga membuat ia bertanya-tanya, apakah dirinya telah membuat kesalahan?
"Aku sekarang udah di rumah, Janu." Ya, setelah di buat menunggu sang tunangan yang tak kunjung datang sampai gelap gulita, Mira akhirnya memang memilih menghubungi supir rumah untuk menjemputnya.
Beruntung, kedua orangtuanya sedang tidak berada di rumah—karena jika iya, ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi mereka saat mendapatinya pulang sekolah malam.
"Jam berapa?"
"A-apanya?"
"Pulang."
Menggigit ujung kukunya, Mira merasa merinding ketika mendengar nada bicara Janu tak kunjung berubah sedikitpun. Masih begitu dingin. "Jam ... tujuh," katanya jujur meski terselip rasa takut di dalamnya. "Maaf. Lain kali aku janji nggak akan minta jemput kamu dan nungguin kamu datang. Aku—"
"Bodoh."
Setelahnya adalah panggilan yang diputus secara sepihak.
Ada rasa menusuk di hati Mira. Ia menggigit bibir bawah, menghela nafas berulangkali sebelum tersenyum dan memberanikan diri untuk menghubungi nomor Janu.
"Apa?"
Bersyukur, Mira tidak perlu menunggu karena tidak seperti biasa Janu langsung mengangkat panggilannya meski pemuda itu masih menggunakan nada suara yang sama.
Dingin.
Mira berdeham, "Aku mau ngasih tau sesuatu," ucapnya dengan nada bicara ceria.
Telepon masih terhubung tetapi tidak ada respon apapun dari Janu.
Mira tidak menyerah. "Weekend besok kamu senggang, nggak?"
"..."
"Ada film baru rilis. Aku pengin nonton, tapi nggak ada yang nemenin."
"..."
"Bukannya mau ngerepotin, tapi Lio yang biasanya nemenin lagi sibuk." Mira menyebut nama sepupunya. "Makanya ... itu, kamu bisa nggak nemenin aku nonton? Maksudnya sekalian kita nonton bareng, kita juga nggak pernah nonton ... bareng ..." Suaranya memelan. Gugup dan takut menjadi satu. "Janu?"
Ada suara decak yang Mira dengar.
"Lo nggak denger?"
"Denger apa?"
"Gue bilang."
"Kamu belum bilang apapun perasaan."
"Bodoh."
"..."
"Jelas?"
***

Komento sa Aklat (26)

  • avatar
    LukycoyyyLuki

    Bagus

    26/06

      0
  • avatar
    ApriyantoGilangg

    keren nivelnya

    20/06

      0
  • avatar
    WahidIbnu

    baguss

    14/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata