logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Numpang

Flashback 2 tahun yang lalu,
Risa menguap lebar, upacara penerimaan siswa baru di SMA Dirgantara bhakti membuatnya bosan. Risa menggaruk kepalanya, menoleh ke kanan kiri. Ia yang berdiri paling belakang karena terlambat, bahkan belum mengenal teman-teman sekelasnya. Beberapa saat kemudian, datang seorang gadis berambut panjang dengan poni menutupi dahinya.
"Lo telat juga, 'kan?" tanyanya dan dijawab Risa dengan anggukan.
"Gue Vanya." Gadis itu mengulurkan tangannya.
"Risa." Risa ikut mengulurkan tangannya.
"Yang telat hari ini, sehabis upacara dapat hukuman, tadi gue denger dari guru di gerbang," jelas Vanya.
"Oh. "
"Irit banget lo bicaranya, yaudah gak apa-apa sih, karena lo yang pertama ngobrol sama gue, kita temenan akrab deh, jangan jutek-jutek ya." Vanya nyengir.
"Terserah lo deh," jawab Risa sambil tersenyum.
Pertemanan yang diawali dengan paksaan itu nyatanya berjalan mulus sampai sekarang. Selesai upacara murid yang terlambat di minta guru berkumpul di halaman belakang sekolah.
"Pssst, geng Blue Devil yang ganteng-ganteng juga dihukum lo, Ris. lumayan bisa cuci mata." Vanya berbicara pelan.
"Hah? Itu apa?" Risa tidak mengerti apa yang dibicarakan teman barunya itu.
"Geng cogan, lihat aja deh, mereka menuju ke sini," jawab Vanya.
Risa menoleh melihat empat murid menuju tempatnya berdiri. Bener juga, mereka semua terlihat eye catching, wajah tampan, badan bagus dan sepertinya memiliki banyak fans, mirip di drama-drama korea. Tidak sengaja mata Risa bertatapan dengan salah satu dari mereka. Cowok itu berhenti dan masih menatap Risa.
"Sekolah di sini juga, Lo?" tanyanya tegas.
"Iya, emang kenapa?" Risa menjawab santai, diperhatikannya sudut bibir cowok itu, masih merah.
"Bagus lah, gue bisa balas perbuatan lo yang kurang ajar itu." Cowok itu mendekatkan tubuhnya ke Risa. Sementara gadis di depannya sama sekali tidak bergerak dan tidak ada rasa takut sedikitpun.
"Berarti sekarang giliran gue yang nonjok, Lo." Cowok itu mengepalkan tangannya dan wajahnya merah karena emosi.
Vanya dan ketiga teman cowok itu hanya melongo tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi.
"Van, lo kenapa? Masa lo mau nonjok cewek? atau jangan-jangan---," ujar salah satu cowok disitu.
"Iya, gue yang nonjok teman lo yang kurang ajar ini." Risa masih bersikap santai, justru malah kelewat santai.
"Si cewek bar-bar dong," ucap salah satu dari mereka.
"Jangan harap gue iba ya sama lo, gue gak nganggep lo cewek, jadi gue gak segan-segan buat mukul," ancam cowok di depan Risa.
"Nggak takut tuh." Risa malah menjulurkan lidahnya meledak, membuat cowok di depannya semakin emosi.
"Lo ya---" cowok itu mengangkat kepalan tangannya di udara hendak memukul.
"Kalian sedang apa?" suara teriakan mengagetkan semuanya. Cowok itu langsung menurunkan tangannya.
"Kalian ini diminta menunggu sebentar malah buat keributan. Mau berkelahi? Merasa jagoan?" Guru bernama ibu Merlin memijat kepalanya, ekspresi mukanya kelihatan sangat marah. Sementara semua murid disitu menunduk, tidak ada yang berani membuka suara.
"Kalian itu murid baru, bersikaplah yang baik, kalian itu sudah terlambat sekolah, masih mau buat keributan. Kamu juga!" menunjuk cowok di depannya, "Nama kamu siapa?"
"Revan, Bu."
"Kamu?" tanya bu Merlin pada Risa.
"Risa, Bu."
"Kalian semua membersihkan halaman belakang sampai bersih. Untuk Revan dan Risa, pulang sekolah masih harus membersihkan lapangan depan. Mengerti?"
Semenjak hari itu, Revan dan Risa tidak pernah berdamai. Vanya yang awalnya mengagumi geng itu berubah membenci mereka. Vanya adalah sahabat satu-satunya Risa yang membela Risa apapun yang terjadi, terutama jika menyangkut Revan, dkk.
Flashback end
***
Risa menyeret kopernya dengan malas. Saat ini dia berada di halaman rumah teman ibunya. Sang ibu memencet bel rumah itu, kemudian pintu terbuka, memperlihatkan seorang wanita paruh baya seumuran ibunya. Mereka bertegur sapa, Risa mengenalkan diri lalu wanita itu mempersilahkan masuk.
"Maaf Rani, aku merepotkan, aku benar-benar tidak tega meninggalkan Risa sendirian di rumah," ucap Regina.
"Kamu ini, Na, kaya sama siapa aja. Udah tenang aja, Risa aman di sini, Nadia pasti senang." Rani tersenyum.
Para orang tua mengobrol, Risa mengedarkan pandangannya ke segala arah, melihat sudut-sudut ruangan dan beberapa hiasan dinding yang terpasang rapi. Risa melihat seorang gadis baru saja masuk, dengan ramah menyapa dan menyalami satu persatu orang di ruangan itu.
"Ini putriku Nadia, sekarang kuliah semester 6." Rani memperkenalkan anaknya.
"Wah, kamu cantik dan sudah tumbuh besar, Nad." Ayah Risa, Imran, memuji Nadia.
"Makasih, Om." Nadia tersenyum.
"Nad, kamu bantu Risa ke kamar, ya," perintah Rani.
Nadia membantu menyeret koper Risa menuju kamar yang akan ia tempati selama sebulan tinggal dirumah ini.
"Makasih kak Nadia." Risa tersenyum ramah, berusaha menciptakan kenyamanan di antara mereka.
"Sama-sama, kamar yang kosong tinggal ini, di lantai dua, btw, lo sekolah di SMA Dirgantara bhakti?" tanya Nadia.
"lya, Kak," jawab Risa sambil memasukkan bajunya ke dalam lemari.
"Loh, berarti satu sekolah dengan--- "
"Nadia, turun sebentar, bantu ibu," teriak Rani.
"Nadia turun, Bu." teriak Nadia.
"Nanti cerita-cerita lagi ya, gue seneng lo nginep disini, berasa punya adik cewek." Nadia tersenyum sebelum pergi.
Risa merapikan semua barangnya di kamar, lalu turun untuk makan. Selesai makan orang tua Risa berpamitan. Entah bagaimana dua gadis di rumah itu langsung akrab. Mereka bercerita banyak hal, Nadia begitu semangat menceritakan masa kuliahnya. Rani merasa lega, ia berharap Risa akan betah tinggal di rumahnya.
"Sampai lupa belum cerita kalau gue punya---."
Handphone Risa berbunyi, ada panggilan masuk, "Eh maaf kak, teman gue telepon, gue ke atas dulu ya, Kak, sekalian mau mandi." Nadia mengangguk, kemudian Risa beranjak menuju lantai dua.
Risa menaiki tangga, berhenti di depan kamarnya. Di depan kamar Risa, terdapat satu kamar lagi, dan sepertinya ada yang menempati. Risa bahkan lupa bertanya kepada kak Nadia.
"Lama banget ngangkatnya, bengek nih gue," ucap seseorang di handphone Risa.
"Lebay lo!" Risa tertawa.
Risa menceritakan semuanya kepada Vanya. Dua sahabat ini selalu terbuka dan saling bertukar kisah hidup mereka masing-masing. Mereka tertawa bersama dan saling menyemangati saat down. Risa begitu beruntung memiliki sahabat seperti Vanya, begitu pula sebaliknya.
Risa yang selesai mandi, memainkan handphone nya di dalam kamar. Dia seperti mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi.
Mungkin kak Nadia?
Atau penghuni kamar depan? Batin Risa.
Risa penasaran dan keluar kamar. Risa melihat seorang cowok keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk yang melilit bagian tubuh bawahnya.
"Aaakhh." Risa menutup wajahnya. Cowok di depannya lebih terkejut lagi.
"Ngapain lo disini?"
"Revan?"
Dua wajah yang saling menatap dan melotot, terlihat ekspresi penuh tanya dan marah. Risa dan Revan begitu terkejut sampai mereka melupakan keadaan mereka masing-masing. Musuh bebuyutan ini beberapa saat belum bisa mencerna apa yang mereka lihat sekarang. Revan merasa bingung bagaimana mungkin Risa berada di rumahnya, bahkan keluar kamar dengan memakai pakaian piyama, sementara Risa mengalami kebingungan yang sama. Beberapa saat kemudian mereka tersadar.
Risa menutup wajahnya lagi, "Ngapain masih disitu? Lo gak berniat ganti baju dulu apa?"
Revan meredam amarahnya, kemudian masuk ke dalam kamarnya. Risa menghela napas panjang kemudian masuk ke dalam kamarnya juga.
"Kesialan apa lagi ini. Revan tinggal di rumah ini berarti dia adiknya kak Nadia, dong! Haaaah, kenapa gak ngecek dulu sih siapa aja yang tinggal di sini."
Risa memijat pelipisnya pelan. Ia mulai membayangkan hari-hari yang akan dilaluinya nanti di rumah ini.
"Ah tidak. Ini tidak boleh terjadi." Risa berteriak frustasi.
"Keluar! keluar lo, Ris!" Revan sudah berada di depan kamar Risa dan mengetuk keras pintu kamarnya.
Risa memutar bola matanya bosan, kemudian beranjak membuka pintu kamarnya. Dilihatnya Revan yang sudah berganti baju. Cowok itu memakai kaos pendek abu-abu dan celana jeans pendek selutut, benar-benar pas dengan tubuhnya yang tinggi. Untuk sesaat Risa terpesona dengan penampilan Revan.
Cakep juga, duh apaan Ris, fokus, ngapain malah memuji Revan! batin Risa.
"Apa?" Risa memasang wajah acuh.
"Jelaskan! Ngapain di rumah gue?"
Melihat wajah Revan yang marah, membuat Risa ingin menggodanya. Sudah lama ia tidak menyulut emosi cowok di depannya. Risa menaikkan sudut bibirnya dan memasang wajah semenyebalkan mungkin.
"Terserah gue dong," ucap Risa.
Revan mengepalkan tangannya. Rasa ingin menonjok gadis didepannya semakin kuat, namun ia urungkan. Revan tidak mungkin membuat keributan di rumahnya sendiri, apalagi ada ibu dan kakaknya di rumah. Revan juga tahu, berkelahi dengan gadis di depannya tidak akan menghasilkan apa-apa. Revan tersenyum smirk dan mulai berjalan mendekati Risa.
"Mau apa lo?"
Risa yang melihat senyuman smirk Revan membuat tubuhnya merinding. Ia melangkah mundur perlahan, sampai tubuhnya membentur tembok di belakangnya. Revan mengunci tubuh Risa dengan meletakkan kedua tangannya di sebelah kanan dan kiri kepala Risa. Wajah mereka sangat dekat, Risa bisa melihat dengan jelas wajah tampan Revan, bahkan merasakan hembusan napasnya.
Deg
Deg
Deg
Risa merasakan jantungnya berdetak lebih keras. Kenapa sih gue, batin Risa.
"Bisa katakan, kenapa lo di sini?" tanya Revan tegas.
Risa terdiam. Ia hanya menatap Revan tanpa bicara apapun.
"Gak mau bilang, ya? gue akan lebih mendekat," ancam Revan.
"Iya, iya, gue disini karena--- "
"Revan, Ris ... " Nadia menghentikan langkahnya karena melihat adiknya dan Risa dalam posisi yang menurutnya sangat intim.
Risa dan Revan menoleh mendapati Nadia di ujung tangga, berdiri sambil menutup mulutnya. Melihat posisi mereka sekarang, Nadia pasti berfikir macam-macam. Risa langsung mendorong keras tubuh Revan, alhasil cowok itu terpental ke belakang.
"Kak Nadia, ini tidak seperti kelihatannya." Risa tampak gugup menjelaskan pada Nadia.
"Kita gak ngapa-ngapain, Nad," ucap Revan, saat ia sudah berdiri.
"Oke, gue butuh penjelasan nanti, sekarang turun aja, ibu sudah menyiapkan makan malam." Nadia turun dengan penuh tanda tanya di pikirannya.
Revan menatap tajam Risa, begitu pula Risa. Revan turun tanpa mengatakan sepatah katapun, meninggalkan Risa dengan kebingungannya.
"Dasar Revan sialan," umpat Risa.
"Jantung gue tadi kenapa, ya? bahkan sekarang masih berdebar, apa gue sakit jantung?"
Risa memegang dadanya kemudian menghela napas panjang untuk menenangkan diri. Beberapa kali ia melakukan hal yang sama, sebelum turun ke lantai satu.
Suasana di meja makan tampak canggung. Nadia hanya terdiam menyantap makanannya. Revan juga terdiam, makan dengan sangat elegan. Rani juga tidak bersuara, sementara Risa mengedarkan pandangannya ke segala arah sambil menyantap makanannya. Tradisi di keluarga ini, tidak memperbolehkan bicara saat makan, berbeda sekali dengan keluarga Risa. Risa dan abangnya bahkan sering bertengkar saat makan. Orang tua Risa juga tidak keberatan, karena mereka tidak mengharuskan aturan apapun, selama kondisi makan masih terkendali.
Semua telah selesai makan, Rani mulai membuka pembicaraan, "Baiklah, kita sudah selesai makan. Kita bisa berbicara banyak hal, ibu juga akan mengenalkan Risa. Revan ini Risa anaknya teman ibu, dia akan tinggal disini selama sebulan, orang tua Risa bepergian ke luar kota urusan pekerjaan."
Revan diam tanpa ekspresi. Ia melirik ke arah Risa, kemudian menghela napas panjang.
"Terserah aja, Bu. Asal dia tidak menggangguku," jawab Revan sewot.
Mengganggu dia bilang? Awas aja gue gangguin sampe lo capek, batin Risa meronta.
"Kalian satu SMA, 'kan? Berarti kalian sudah saling kenal dong," tanya Nadia.
Revan dan Risa sama-sama mengangguk, Nadia tersenyum geli mengingat kejadian diatas tadi.
"Waah, bagus dong, kalian bisa langsung akrab." Rani tersenyum senang.
"Bisa pindah kamar gak dia, Bu?" Revan menunjuk Risa dengan ekspresi yang tidak ramah.
Kok nyebelin banget ya manusia satu ini, batin Risa.
"Memangnya kenapa, Van?" tanya Rani.
"Tidak nyaman saja, Bu," jawab Revan.
Gue juga gak nyaman sama lo, suara hati Risa.
"Pindah kamar gak apa-apa kok, Te." Risa berharap ia bisa pindah kamar.
"Gak bisa sayang, tidak ada kamar kosong lagi, tenang aja Revan gak nakal kok." Rani mengerling pada Revan dan tersenyum.
Gak nakal ya? tapi ngeselin banget, Te, batin Risa.
"Atau sekamar sama kak Nadia aja, Te," ucap Risa lalu melirik ke Nadia.
Rani menggeleng, "Nadia tidak bisa tidur berdua, sayang," jelas Rani.
Nadia menatap Risa seakan berkata meminta maaf padanya. Risa menghela napas panjang dan terpaksa menerima semua kenyataan ini. Risa berpamitan ingin segera ke kamar, kepalanya agak pusing.
"Nanti gue ke kamar lo ya, Ris, nyambung cerita tadi siang," ucap Nadia.
"Boleh kak Nad, Risa tunggu." Risa tersenyum lalu menuju kamarnya. Revan juga pamit ke kamarnya.
"Risa."
Risa yang hendak membuka pintu kamarnya berhenti mendengar suara Revan.
"Ya?"
"Kita perlu bicara," tegas Revan.
"Silahkan bicara." Risa bersedekap menatap Revan.
"Pertama ini rumah gue, kedua jangan pernah ganggu gue, ketiga jangan masuk kamar gue, keempat lo mandi di bawah gue gak suka berbagi kamar mandi, kelima gue gak peduli lo mau ngapain, ingat batas wajarnya, lo numpang di sini, mengerti?"
"What?" Risa melongo mendengar perkataan Revan.
Sabar ... sabar ... sabar ... batin Risa.
"Oke, gue juga gak peduli urusan lo, bye." Risa menutup kamarnya keras.

Komento sa Aklat (638)

  • avatar
    FransiskaAde

    ditunggu kelanjutan ceritanya kak, jangan lama lama munculin bab baru nya😁

    18/06/2022

      5
  • avatar
    AimanArif

    good

    2d

      0
  • avatar
    BR PANEMUTIARA

    aku sih blm tau benar bisa di tukar apaa enggak tapi ,klo bisa keren sih

    7d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata