logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 4 Diusir Warga

Part 4
Cahaya dari lampu mobil itu sangat menyilaukan mata ini. Berjalan dengan kecepatan yang cukup tinggi di jalan yang sempit seperti ini. Beruntung aku sempat menghindar walau harus terjatuh di dekat selokan. Mobil tersebut berhenti tak jauh dariku. Kemudian turun seorang perempuan menghampiriku.
“Kisha, kamu ngapain malam-malam di sini?” Suara itu sepertinya tidak asing bagiku. Pencahayaan yang minim di malam hari membuatku harus memicingkan mata untuk melihatnya dengan jelas.
“Bidan Hesti?” tanyaku setelah memperhatikan lebih detail ciri-cirinya.
“Iya. Kamu kenapa malam-malam di sini?” tanyanya lagi dengan nada khawatir.
Aku langsung menghambur memeluk Bidan Hesti dan menceritakan semua yang terjadi. Kemudian ia membawaku ke rumahnya. Ia juga berjanji untuk membujuk ayah dan bunda agar mau memaafkanku.
Aku merasa beruntung dipertemukan dengan Bidan Hesti. Perempuan yang hampir seumuran dengan bunda ini memang terkenal sebagai bidan yang baik. Suka menolong sesama yang benar-benar membutuhkan. Tak sedikit warga yang mencicil bayaran saat melahirkan di tempatnya. Bahkan ada yang gratis karena memang benar-benar tak mampu.
Dua hari sudah aku berada di rumah Bidan Hesti. Sudah beberapa kali juga ia menghubungi bunda untuk membicarakan masalahku. Namun, selalu ditolak oleh bunda dengan alasan takut pada ayah. Tak tinggal diam, Pak Heru--suami Bidan Hesti--juga turut menghubungi ayah, tapi ayah pun menolakku.
Pagi ini Bidan Hesti memanggilku untuk membicarakan suatu hal. Saat ini kami sedang duduk di ruang keluarga rumahnya. Tampak di sana Bidan Hesti duduk berdampingan dengan suaminya.
“Kisha, maafkan kami. Sudah berkali saya mencoba menghubungi keluargamu. Namun, mereka tetap menolak untuk menerimamu. Terutama ayahmu,” jelas Bidan Hesti saat kami sudah berkumpul.
Aku hanya mampu menundukkan kepala. Ayah memang orang yang sangat keras. Bukan hanya keras perangainya, tapi juga keras hatinya. Sebenarnya aku takut padanya, tapi entah mengapa banyak kesalahan yang selalu kuperbuat.
“Maaf jika Kisha merepotkan kalian,” ucapku dengan suara serak menahan deru di dada.
“Tadi ibumu sempat bilang ke saya. Ia menitipkanmu sementara sambil menunggu amarah ayahmu reda. Namun, kami tak bisa menampung untuk lebih lama lagi di sini,” balasnya.
Ucapan bidan Hesti mampu menghancurkan pertahananku. Air mata yang kutahan dari tadi pun mulai berkejaran di pipi ini. Bayangan akan menjadi gelandangan di luaran sana pun melintas di pikiranku. Kemana aku harus pergi, terlebih dengan keadaanku yang masih belum stabil seperti ini.
“Tapi kami punya solusinya. Kamu akan kami titipkan pada adik sepupu saya yang tinggal di daerah Perumnas. Di sana ia tinggal sendiri,” lanjutnya.
Aku bagai menemukan oase di gurun pasir dengan penuh semangat menyetujui saran dari Bidan Hesti. Rasa terima kasih tak terhina pun kuucapkan pada mereka yang telah sudi menampungku sementara.
***
Hari ini aku diantar Bidan Hesti menemui adik sepupunya. Namanya Mbak Dewi. Orangnya ramah dan cantik. Mengenakan hijab lebar menutupi tubuhnya sampai sebatas paha. Ia tinggal sendiri karena sedang kuliah semester akhir di salah satu universitas swasta di sini sedangkan keluarganya tinggal di desa.
Di sini aku hanya bisa duduk diam saja karena tak ada yang bisa kulakukan selain beberes rumah dan masak untuk makan kami. Kondisiku yang masih belum stabil membuatku lebih banyak tidur. Hal ini membuatku merasa tak enak dengan Mbak Dewi.
“Mbak, sepertinya kondisiku sudah membaik. Aku izin mau cari kerja untuk biaya hidupku juga calon bayi ini,” pintaku pada Mbak Dewi suatu hari.
Walaupun tak menginginkan keadaan ini, tapi tak sedikit pun pikiranku untuk melenyapkan janin yang ada di perutku. Satu hal yang aku ingat adalah, tak ingin menambah dosa lagi dengan membunuh darah daging sendiri. Sesakit apapun yang kujalani, sebenci-bencinya diri ini pada si penanam benih, tapi bayi ini tak berdosa.
“Tapi kamu masih lemah, Dek. Lagian mau kerja apa?” tanyanya mengkhawatirkan keadaanku.
“Aku juga belum tahu, Mbak,” jawabku sambil menerawang jauh.
“Tapi kan nggak mungkin aku terus-terusan bergantung sama Mbak Dewi,” lanjutku. Saat menitipkanku di sini, Bidan hesti sempat memberiku sedikit uang. Namun, uang itu telah habis kugunakan untuk keperluan sehari-hari juga untuk biaya makan selama ini.
“Nanti Mbak coba carikan kerja yang nggak terlalu berat ya,” jawab Mbak Dewi sambil mengelus lenganku.
Semakin hari perutku mulai terlihat membuncit. Pakaianku yang hampir semuanya kecil dan sempit tak mampu menutupi bentuk badanku. Sudah berulang kali Mbak Dewi menyarankanku untuk mengenakan hijab dan pakaian yang lebar. Namun, aku selalu menolak. Alasanku selalu saja karena merasa kotor dan belum siap.
Bisik-bisik tetangga juga sudah mulai terdengar. Bahkan ada yang mulai terang-terangan menyindir. Aku mulai merasa tak nyaman dengan keadaan ini. Bukan karena Mbak Dewi, tapi yang kutakutkan reputasi Mbak Dewi sebagai guru ngaji di daerah sini menjadi rusak karena masalah ini. Mbak Dewi sudah begitu baik mau menampungku di sini, tapi apakah harus dibalas dengan menghancurkan nama baiknya. Aku mulai menutupi bentuk tubuh ini dengan meminjam beberapa baju Mbak Dewi, tapi tetap saja kata-kata pedas masuk ke gendang telinga.
“Halah, kemarin bajunya sempit-sempit. Setelah perut buncit baru mau pake yang lebar-lebar,” ucap seorang ibu-ibu yang sedang kumpul di depan rumahnya saat aku lewat.
“Iya. Semua orang juga udah pada tahu. Percuma aja ditutup-tutupi,” jawab yang lainnya.
“Kenapa juga Ustadzah Dewi mau menampung orang macam itu. Kan kampung kita jadi kotor,” timpal yang lainnya.
Aku hanya mampu tertunduk saat melewati mereka. Tatapan sinis dan sindiran lain pun tak mampu kuhindari. Kupercepat langkah ini agar segera sampai di rumah. Airmata sudah menggantung di pelupuk. Segera kutumpahkan semua setelah diri ini sampai di rumah.
“Kenapa, Dek?” tanya Mbak Dewi yang sedang duduk sambil mengerjakan tugas kuliahnya.
“Mbak, kayaknya aku pergi aja dari sini. Banyak tetangga yang sudah mulai menggunjingku,” jawabku tak mampu menahan tangis.
“Udah. Kamu nggak usah dengerin omongan mereka. Kemana pun kamu pergi, akan selalu ada orang seperti mereka,” nasihatnya.
“Oh iya, tadi ada teman Mbak yang nawarin kerjaan. Ia meminta Mbak untuk membuatkan tugas akhirnya, tapi Mbak nggak bisa karena lagi banyak tugas juga. Kamu mau kan?” tanya Mbak Dewi.
“Mau banget, Mbak. Tapi gimana caranya?” tanyaku bersemangat mendengar kabar dari Mbak Dewi.
“Nanti Mbak temukan kamu dengannya. Biar dia saja yang jelaskan. Jadi nanti kamu bisa kerja dari rumah saja. Semoga berkah, ya,” jelas Mbak Dewi dengan mata yang berbinar indah.
“Ustadzah Dewi!” Tiba-tiba terdengar suara dari luar dan gedoran pintu dengan keras. Aku dan Mbak Dewi saling berpandangan.
“Ada apa, ya?” tanya Mbak Dewi setelah membuka pintu.
Ternyata yang datang adalah ketua RT dan beberapa ibu-ibu yang tadi kulihat berkumpul di rumah Bu Ida, tetangga Mbak Dewi yang rumahnya dekat warung tempat biasa aku belanja. Kulihat Ketua RT maju dan hendak berbicara.
“Saya mendapat laporan dari ibu-ibu ini, katanya Ustadzah Dewi menampung perempuan yang hamil tanpa suami. Apa itu benar?”

Komento sa Aklat (112)

  • avatar

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    28d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata