logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 3 Diusir dari Rumah

Part 3
Semakin hari keadaanku semakin parah. Tak ada makanan yang bisa masuk ke perutku. Rasa mual dan lemas semakin menjadi. Terlebih saat mendengar berita bahwa Galih telah berangkat ke Malaysia untuk melanjutkan kuliah dan keluarganya pindah ke Kalimantan karena ayahnya ditugaskan ke sana.
Pikiran yang berkecamuk serta kondisi badan yang semakin tidak stabil membuat wajahku menjadi pucat dan semakin kurus. Hal ini membuat Bunda mulai mencurigai keadaanku dan mengintrogasiku. Awalnya aku masih bisa mengelak dan berbohong. Namun, sepandai apapun kita menutup bangka baunya akan tercium juga.
Hari itu keadaanku sangat parah, berkali-kali mual dan muntah membuat tubuhku lemah dan terjatuh di kamar mandi. Bunda yang mengetahui hal itu cepat menolong dan memanggil bidan praktek tak jauh dari rumahku sebagai pertolongan pertama. Namun, tak disangka bidan tersebut bisa mengetahui keadaanku yang sebenarnya. Dengan sangat hati-hati ia mengatakan semuanya pada Bunda.
“Kisha, jangan buat Bunda marah. Katakan yang sejujurnya!” tekan Bunda setelah mendengar penjelasan Bidan Hesti. Bahkan tanpa menunggu Bidan Hesti pulang, beliau langsung memarahiku.
“Maafin Kisha, Bun,” tangisku tak terbendung lagi. Masih dalam keadaan lemah aku berusaha untuk sujud di kaki bunda. Berharap mendapatkan belas kasihnya dan dukungan darinya.
Namun tak disangka, bunda malah menepis tanganku dan mendorong tubuh ini kembali ke tempat tidur. Beruntung Bidan Hesti masih berada di sini dan membantuku bangkit. Tangis kecewa dan luapan amarah bunda tak dapat lagi masuk ke telinga ini. Pandanganku mulai kabur dan gelap membuat kesadaran ini menghilang.
***
Kamar dengan luas 16 meter persegi ini terasa pengap bagiku. Oksigen yang banyak terdapat di udara seakan enggan masuk ke paru-paru. Dinginnya Air Conditioner di ruangan ini pun tak mampu menyejukkan ragaku. Nafas ini begitu sesak, keringat dingin bercucuran membasahi sebagian tubuh ini. Belum lagi ditambah rasa mual dan pusing yang kurasakan sedari tadi.
“Katakan siapa laki-laki itu?” tegas Ayah dengan wajah memerah dan rahang yang mengeras dengan deru napas yang menggebu. Kepalan tangannya membuat otot-otot disekitarnya mencuat keluar.
Aku yang baru saja siuman tak mampu menahan laju derai air mata yang sudah mengalir dari tadi. Hatiku menjerit mengutuk kebodohan diri ini. Penyesalan yang sudah sangat terlambat tanpa bisa dicegah. Bayangan kelam malam itu kembali menari-nari di pelupuk mata, seolah-olah menertawakan keadaan yang kualami saat ini. Sesuatu yang sangat aku takutkan akhirnya terjadi. Kemurkaan Ayah tak dapat lagi kuhindari.
“Katakan, Kisha!” bentak Ayah dengan keras tepat di telingaku. Aku terlonjak mendengar bentakannya. Airmata yang tadi turun dengan derasnya kini semakin deras. Jantungku berdegup kencang seolah ingin keluar dari raga ini. Napasku semakin sesak. Bagaikan badai yang mengguncang hatiku, bentakan Ayah membuat porak poranda pertahananku.
“Di-dia teman se-sekolah Kisha, Y-yah,” jawabku terbata diselingi sesegukan yang semakin kuat. Mataku mencoba melirik ke Bunda berharap pertolongannya. Namun, ia malah membuang muka saat pandangan kami bertemu.
“Bawa dia ke sini,” geram Ayah membuatku semakin kalut. Aku takut untuk menjawabnya, tapi tatapan tajam Ayah mengoyak pertahananku.
“T-tapi …, dia sudah pergi ke Malaysia untuk kuliah,” jawabku sambil sesenggukan.
“Di mana rumahnya? Ayah akan menemui keluarganya,” ucapnya dingin, tapi penuh penekanan.
“Keluarganya …, sudah pindah ke Kalimantan.” Aku menunduk semakin dalam.
“Dasar bod*h! Anak tidak tahu diri!” teriak Ayah emosi sambil menjambak rambutku kemudian membanting tubuhku di kasur. Sakit fisik ini tak dapat lagi kurasakan. Tertutup oleh luka di batin ini.
“Maafkan Kisha, Yah.” Aku bangkit dan berusaha memeluk kaki Ayah. Biar bagaimana pun kaki ini yang telah mencarikan nafkah untukku hingga sebesar ini. Namun, tak disangka Ayah justru menendangku hingga kepala ini membentur tempat tidur.
“Pergi kamu dari rumah ini! Aku tidak sudi punya anak sepertimu!” usir Ayah membuatku terperanjat.
“Ampun …, Ayah,” seruku sambil menghambur ingin memeluknya. Namun, dengan cepat beliau meninggalkanku yang masih tersedu memohon ampun.
“Bunda …,” mohonku kepada Bunda. Agar beliau mau memaafkanku dan membujuk Ayah yang sedang murka. Airmata tampak membasahi pipinya. Tatapan matanya begitu sayu. Sorot kecewa sangat jelas terlihat dari sinar mata perempuan yang telah melahirkanku itu. Namun, ia hanya bergeming dan tak menghiraukan ratapanku.
Sesosok gadis berdiri tepat di belakang Bunda. Dengan uraian air mata ia menatapku sedih. Hal yang sama ia lakukan padaku. Hanya mampu diam tanpa bisa menolongku. Ialah Tarifah, adikku satu-satunya. Adik yang selama ini kusayang dan kumanjakan. Sifat keras Ayah membuat mereka tak berani membantah sedikit pun.
Tak berapa lama Ayah kembali dengan membawa sebuah tas besar di tangannya. Dengan gerakan yang sangat cepat Ayah membuka lemari pakaianku, mengeluarkan semua pakaian dan memasukkannya ke dalam tas tersebut. Hatiku mencelos melihat kenyataan itu. Segera aku menghambur memeluk kaki Ayah memohon ampunannya. Berkali aku memohon dan meratap, tapi tak juga dihiraukannya. Setelah selesai dengan kegiatannya, dengan segera ia menarik tanganku menuju ke luar rumah.
“Ayah …, Kisha mohon. Maafin Kisha, Yah,” ratapku sambil berusaha melepaskan tangan ini dari pegangannya. Bukannya mengasihaniku, pegangan Ayah semakin kuat dan kasar sehingga membuat tanganku sakit. Sempat kudengar suara teriakan Bunda dan Tarifah memanggil namaku dan Ayah di belakang. Namun, tetap tak mengurungkan niat Ayah untuk mengusirku.
Ayah melempar tas itu ke jalanan dan mendorong tubuhku agar menjauh dari pagar. Sempat tubuhku terhuyung ke jalan, tapi dengan cepat aku menguasai diri dan berbalik kembali hendak masuk ke rumah. Gerakanku kalah cepat dari Ayah. Ia sudah mengunci pagar dengan gembok besar.
“Ayah …, Kisha mohon, Yah,” ratapku tetap tak dihiraukan laki-laki dengan perawakan tinggi besar itu.
“Pergi dari sini sebelum kurajam dirimu!” bentaknya yang membuatku kalut. Berangsur aku menjauh dari pagar tanpa melepas pandangan ini darinya. Kualihkan pandangan ke arah wanita paruh baya yang berdiri di depan pintu rumah. Berharap ia memberikan pertolongan padaku. Akan tetapi wanita itu hanya terisak dan menggelengkan kepalanya. Begitupun dengan gadis muda yang berdiri di belakangnya.
Ingin rasanya aku memanjat pagar besi setinggi dua meter tersebut. Namun, tubuhku sudah terlalu lemah. Terlebih saat melihat angkara yang ada di sorot mata lelaki yang telah membesarkanku selama delapan belas tahun ini semua itu membuat nyaliku menjadi ciut.
Hari sudah sangat larut saat ini. Kutarik tas besar ini menjauhi rumah. Dengan perasaan yang kalut, aku pergi meninggalkan kediaman yang selalu memberikan kenyamanan selama ini. Langkahku gontai menyusuri jalanan yang sunyi. Suara jangkrik mengiringi perjalananku, seolah menyanyikan lagu perpisahan yang sangat memilukan. Dinginnya malam terasa sangat menusuk kulitku. Tiba-tiba tampak sinar terang menyilaukan dari arah depan.

Komento sa Aklat (112)

  • avatar

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    28d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata