logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 2 Minta Tanggung Jawab

Part 2
Namaku Takisha Ananda Tahir, diusia 23 tahun telah memiliki seorang anak berumur empat tahun. Suami? Aku tak punya. Ayah dari anak ini tidak mau bertanggung jawab atas benihnya, sehingga harus melahirkan sendiri tanpa suami bahkan tanpa keluarga. Kesalahanku di masa lalu menjadi bumerang untuk diri ini. Kehamilanku di luar pernikahan membuat murka ayah dan bunda. Alih-alih memberikan solusi mereka mengusirku dari rumah.
Usahaku untuk mendapatkan pertanggungjawaban dari Galih—kekasihku dulu—pun berujung penolakan dan penghinaan dari keluarganya. Tak hanya itu, Galih yang dulu memujaku sepenuh hati, yang dulu pernah berkata tak akan bisa hidup tanpaku, pun ikut menendangku dari rumahnya.
“Bisa saja kau tidur dengan laki-laki lain, tapi kau meminta pertanggungjawaban karena aku kekasihmu. Maaf, Kisha, aku tak sebodoh itu untuk kau tipu!” Cacian Galih yang masih kuingat sampai saat ini. Rasa sakit akibat tergores sembilu tak sebanding dengan sakit yang kurasakan saat itu.
Aku dan Galih merupakan teman satu kelas saat di SMA. Kami sedang merayakan pesta kelulusan saat peristiwa itu terjadi. Inisiatif para perangkat kelas yang saat itu mengusulkan untuk merayakan kelulusan di sebuah villa menjadi awal bencana untukku. Kami mengatur sendiri acara tersebut tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Daerah perkebunan teh di Pagaralam menjadi tujuan kami tempatnya yang sejuk juga romantis. Beberapa pasang siswa yang memang telah menjalin hubungan pun turut serta dalam acara itu, termasuk aku dan Galih.
“Sayang, aku mencintaimu. Aku takkan bisa hidup tanpamu. Izinkan aku memilikimu malam ini,” rayunya saat itu sambil memelukku dari belakang. Suasana sunyi dan udara dingin di perkebunan teh ini membuatku hanyut dalam rayuan Galih. Teman-teman yang lain sudah hanyut dalam mimpi mereka, sedangkan kami yang sedang kasmaran berusaha melepas kerinduan tanpa pengawasan guru maupun orang tua.
“Galih, aku takut,” ucapku saat Galih berusaha untuk mencumbuku.
“Kenapa harus takut? Ada aku di sini yang akan selalu melindungimu. Mari kita habiskan malam ini berdua, aku sangat menginginkanmu,” ucap Galih terus merayuku.
“Bagaimana jika aku hamil?” tanyaku dengan rasa takut.
“Kita sudah lama pacaran, sekarang buktikan jika kau benar-benar mencintaiku.” Sebagai seorang remaja yang baru pertama merasakan jatuh cinta membuatku tertantang dengan ucapannya.
“Tenang saja. Aku pasti akan bertanggung jawab. Kita akan menikah setelah aku lulus kuliah,” lanjutnya dengan janji manis yang membuatku terbuai dalam pelukannya.
“Tapi ....” Aku tak dapat menyelesaikan ucapanku saat Galih mulai menyatukan tubuh kami.
Setelah kejadian itu, Galih semakin jarang menghubungiku. Aku pun tak terlalu memedulikannya karena sibuk dengan urusan persiapan kuliahku. Dua bulan berlalu, aku merasa akhir-akhir ini selalu lemas dan mual. Awalnya kupikir hanya masuk angin atau penyakit lambung yang kambuh. Namun, baru kusadari jika sudah dua bulan ini tamu bulanan tak kunjung datang. Perasaanku mulai cemas. Berbagai pikiran buruk mulai menghantuiku.
[Yang, kamu kok sekarang nggak pernah kasih kabar,sih.] Kucoba mengirimkan pesan singkat untuk Galih. Perasaan takut dan cemas membuatku ingin berbagi cerita dan keluh kesah padanya.
[Aku sibuk] jawabnya singkat.
[Aku ingin cerita, Yang. Akhir-akhir ini aku merasa mual dan lemas. Aku takut kalau hamil, Yang]
[Mungkin cuma masuk angin aja. Jangan suka berlebihan gitu,deh]
[Tapi aku belum dapat tamu bulanan, Yang]
[Ah, itu hanya perasaanmu saja. Udah! Jangan ganggu aku! Aku sibuk!]
{Kalau aku hamil, gimana?]
Sejam berlalu tak ada balasan dari Galih, bahkan kutunggu sampai pagi tetap saja tak ada balasan. Pagi ini kuberanikan diri untuk mengecek dengan alat untuk tes kehamilan dan hasilnya, garis dua tertera di sana. Dunia bagaikan berputar keras, aku goyah dan terjatuh di kamar mandi. Tangisku tak terbendung lagi. Aku terduduk, menangis keras menumpahkan semua penyesalan dan kebodohan yang pernah dilakukan.
Berulangkali ku tekan tombol hijau di sebelah nama Galih. Aku ingin mengabarkan padanya tentang kehamilan ini. Biar bagaimanapun ia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Sewaktu kami melakukannya, ia telah berjanji akan bertanggung jawab. Namun, telah berkali-kali aku menghubunginya melalui telepon tak juga bisa tersambung. Semua akun media sosial yang dimiliki pun tak dapat terhubung lagi. Hatiku semakin hancur saat menyadari Galih telah mangkir.
Hari ini kucoba untuk menemui Galiih di rumahnya. Mau tak mau aku harus mengatakan semuanya kepada keluarga Galih. Aku tak ingin menanggung beban ini sendirian. Setidaknya dukungan dari Galih bisa menguatkanku.
“Galih itu anak baik-baik. Dia tidak mungkin berbuat sehina itu. Kamu jangan mengarang cerita,” jawab ibunya Galih saat aku datang mencari Galih. Namun, Galih tak mau menemuiku sehingga aku harus menceritakannya pada Tante Mira, ibu Galih.
“Tapi Kisha nggak bohong, Tante. Kami melakukannya saat di villa dulu,” ucapku memelas menahan malu.
“Nggak mungkin! Kalau pun Galih melakukannya, itu pasti kerena rayuanmu atau jebakan darimu. Dasar Perempuan murahan!” caci Tante Mira sambil menunjuk mukaku. Aku hanya mampu tertunduk malu sekaligus takut dengan amarahnya.
“Udah, Ma. Usir aja!” Galih yang tiba-tiba keluar dari kamarnya memprovokasi mamanya. Aku terkejut mendengar ucapan Galih. Begitu mudahnya ia melupakan janji-janjinya dulu, hingga dengan santainya ia berbicara seperti itu.
“Galih! Dulu bukannya kau janji akan bertanggung jawab jika aku hamil?” geramku mencoba meraih tangannya, tapi ditepisnya keras.
“Bisa saja kau tidur dengan laki-laki lain, tapi kau meminta pertanggungjawaban karena aku kekasihmu. Maaf, Kisha, aku tak sebodoh itu untuk kau tipu!” teriak Galih tepat di hadapanku.
“Galih! Aku tak pernah melakukannya dengan siapapun kecuali denganmu. Itupun karena rayuanmu!” teriakku emosi. Aku tak menyangka jika Galih malah memutar balikan faktanya di depan orangtuanya.
“Sudah! Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan bikin onar di rumah orang!” Tante Mira berusaha menarikku keluar.
“Tapi, Tan--,” ucapku terputus karena terjatuh akibat dorongan dari Galih. Seketika Tante Mira menutup pintu dengan keras saat aku mencoba bangkit dan ingin kembali masuk.
“Tante, buka pintunya!” teriakku sambil menggedor-gedor pintu rumah Galih dengan kuat. Tak ku hiraukan pandangan orang yang lalu lalang melihatku dengan tatapan heran. Tak lama kudengar suara langkah kaki di dalam menuju ke pintu dan membukanya. Aku sedikit merasa lega, mungkin Tante Mira berubah pikiran dan mau menerimaku. Namun, yang terjadi malah sebaliknya.
“Pergi dari sini! Dasar perempuan murahan!” teriak Tante Mira sambil menyiramku dengan air yang bau. Aku hanya mampu terdiam dengan perlakuannya. Airmata yang tadi mengalir deras tiba-tiba terhenti dengan datangnya rasa kecewa di hati terdalam.
Tak perlu waktu lama untukku berpikir. Kuambil pot bunga yang berada tak jauh dari pintu pagar rumah Galih. Dengan sekuat tenaga kulemparkan ke arah jendela rumahnya dan berteriak histeris memanggil nama Galih. Seketika orang-orang di sekitar sana berdatangan dan mencoba menenangkanku yang semakin histeris.

Komento sa Aklat (112)

  • avatar

    sangat bagus

    24d

      0
  • avatar
    HasminaNur

    cerita a bgus bgt,,,terharu bgt n ccok lah

    28d

      0
  • avatar
    YarabiBimbi

    keren

    31/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata