logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 6

Pagi yang cerah selalu menjadi magnet tersendiri bagi banyak orang untuk memulai aktivitas. Tak urung begitupun yang dirasakan oleh beberapa anak yang sedang bermain dengan riangnya. Mereka tertawa, berteriak dan tak jarang terjadi pertengkaran kecil di antara mereka yang menimbulkan kegaduhan. Sebuah kegaduhan yang tanpa mereka sadari telah mengusik ketenangan seorang anak laki-laki berusia 10 tahun di dalam pondoknya.
“Huuh ... berisik sekali di luar.” Cliff yang sedang membaca buku melemparkan buku yang sejak tadi dibacanya, tampak kesal karena ketenangannya terganggu. Penyebabnya dia tahu betul meski dia tak melihat ke arah mereka. Kegaduhan itu berasal dari beberapa anak yang sedang asyik bermain di dekat pondoknya.
Cliff yang sudah menginjak usia 10 tahun itu tidak lagi merasa iri kepada anak-anak yang dengan riang bermain di depan pondoknya. Dia bukan lagi anak berusia 7 tahun yang merengek pada ibunya karena ingin bergabung dengan mereka. Cliff yang sekarang sudah menerima sepenuhnya keinginan ibunya. Sejak kejadian 3 tahun lalu di mana dia bertengkar dengan sang ibu hanya karena permintaan kecilnya untuk bermain bersama anak-anak itu, membuatnya tersadar bahwa hatinya sakit setiap kali melihat ibunya marah atau bersedih. Dia tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu, dia tidak ingin melukai perasaan sang ibu karena baginya hanya ibunya seorang, satu-satunya yang dia sayangi di dunia ini. Oh, jangan lupakan neneknya yang juga sangat dia sayangi. Ya, hanya kedua wanita itu, orang yang teramat penting dan berharga di dalam hidup Cliff.
Selama ini Clara mengajarkan banyak hal kepada Cliff. Seperti membaca, menulis, berhitung dan hal lain yang menurutnya sangat penting dikuasai oleh putranya itu. Meski berbeda dengan anak-anak lain yang menuntut ilmu dengan pergi ke sekolah, tapi Cliff tidak kalah pintar dengan anak-anak itu. Bahkan bisa dikatakan Cliff teramat cerdas karena dengan cepat dia mencerna dan menguasai semua yang diajarkan Clara padanya. Clara sangat takjub melihat kecerdasan putranya padahal pada awalnya dia sempat mengkhawatirkan kemampuan berpikir putranya itu mengingat dia bukanlah manusia seperti dirinya. Tapi kekhawatirannya ditepis mentah-mentah ketika Cliff memperlihatkan kecerdasannya bahkan di saat usianya masih sangat belia. Kini Cliff sudah menguasai banyak hal dan akhir-akhir ini dia habiskan waktunya dengan membaca.
Cliff yang sudah kehilangan minat untuk terus membaca akibat kegaduhan anak-anak di dekat rumahnya, memutuskan untuk berjalan ke arah jendela. Dia tidak memiliki keinginan untuk bergabung dengan mereka, dia hanya ingin melihat apa yang dilakukan oleh mereka sehingga mengusik ketenangannya.
Cliff menatap ke arah anak-anak itu, dia memicingkan mata untuk melihat benda yang kini bertengger manis dalam genggaman mereka. Melihat mereka memasukan benda di tangan ke dalam mulut mereka, Cliff menyadari mereka sedang memakan benda itu. Tapi benda apa itu? Batinnya.
Sebenarnya anak-anak itu sedang menyantap ramen cup yang tentu saja sangat asing bagi Cliff, walau bagaimanapun dia tidak pernah melihatnya karena selama ini hanya darah yang menjadi makanannya. Dia pun tidak pernah melihat ibunya makan di depannya karena itu dia tidak pernah melihat orang lain memakan sesuatu yang berbeda dengan makanannya.
Cklek
Terdengar suara pintu terbuka yang sontak membuat Cliff mengalihkan atensinya. Seorang wanita yang tidak lain adalah ibunya, masuk ke dalam ruangan dengan menenteng sebuah kantong di tangan. Tidak perlu menanyakannya, dia sudah tahu betul apa yang dibawa oleh ibunya itu.
“Sayang, sedang apa di situ? Apa yang sedang kau lihat?” Tanya Clara disertai senyuman manis pada putra kesayangannya. Namun sang putra tidak menyahut, dia hanya menatap padanya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
“Kau pasti lapar, kan? Ini Ibu bawakan makanan untukmu.” Dengan sigap Clara menuangkan darah hewan itu ke dalam gelas yang biasa digunakan Cliff untuk meminum darah yang menjadi makanannya. Clara mengerutkan kening, heran melihat kediaman sang putra, karena biasanya Cliff akan menghampirinya dengan riang jika dia sudah mencium aroma darah yang begitu disukainya.
“Sayang, kok diam? Kemari, Nak!” Ucapnya sambil memberi isyarat dengan tangan agar putranya itu menghampiri. Tanpa kata Cliff berjalan menghampirinya, dia menerima gelas yang sudah terisi penuh dengan darah yang diulurkan ibunya. Tanpa ragu dia meminum darah itu dengan rakus. Namun tak seperti biasanya, dia menyisakannya karena biasanya dia akan meminum habis darah itu. Tapi tidak dengan hari ini, ada sesuatu yang membuatnya penasaran dan dia bertekad untuk membuktikannya.
“Kenapa tidak dihabiskan?” Clara bertanya dengan sebelah alis yang terangkat tampak heran dengan keanehan putranya hari ini. Clara menyadari ada sesuatu yang berbeda dengannya hari ini.
“Kenapa, Sayang? Apa kau sakit?” Dengan raut khawatir Clara memegang kening putranya, meskipun itu tindakan sia-sia karena tubuh Cliff berbeda dengan manusia. Mustahil dia akan mengalami demam atau penyakit lainnya yang diderita manusia. Nalurinya sebagai seorang ibulah yang membuatnya repleks melakukan itu.
“Kau baik-baik saja, kan, Cliff?”
“Ibu ... apa makanan yang Ibu makan sama sepertiku? Aku belum pernah melihat Ibu makan di depanku.” Cliff mengucapkannya dengan pelan tapi sukses membuat kedua mata Clara membulat sempurna. Tentu dia terkejut, dia tidak menyangka putranya akan bertanya seperti itu.
“Ibu biasanya makan di rumah Nenek,” jawabnya sambil memperlihatkan seulas senyum palsu.
“Jadi, apa makanan Ibu sama denganku?” Tatapan Cliff menusuk tajam ke arahnya, membuat Clara menelan saliva, panik. Dia sedang kebingungan sekarang antara menjawabnya dengan jujur atau harus berbohong. Cliff seorang anak yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu yang besar, Clara sadar jika dia memberikan jawaban yang salah akan membuat Cliff mencurigainya.
“Tentu saja makanan kita sama, Sayang. Kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu pada Ibu?”
“Kalau begitu coba makan ini. Aku ingin melihat Ibu memakannya di depanku.” Lagi ... Clara meneguk saliva, semakin panik ketika melihat Cliff mengulurkan gelas di tangannya ke arah Clara. Gelas yang di dalamnya masih menyisakan darah hewan yang tidak dihabiskan oleh Cliff.
“Kenapa, Bu? Ambilah dan makanlah di depanku. Ibu bilang makanan kita sama, kan?” Tidak ingin dicurigai sang putra, akhirnya dengan tangan yang bergetar Clara menerima gelas itu. Dia menatap jijik pada darah kental yang berada di dalam gelas. Jangan lupakan perutnya yang terasa mual karena bau anyir darah itu.
“Ayo makan, Bu. Ada apa dengan raut wajah Ibu? Entah kenapa aku merasa Ibu jijik melihatnya.”
“Kau ini bicara apa, mana mungkin Ibu jijik. Ini kan makanan kita, Sayang,” timpalnya sambil terkekeh penuh nista. Dengan terpaksa dia mendekatkan gelas itu pada mulutnya, tapi bau anyir yang menyengat itu seketika membuat perutnya terasa mual. Dia segera mengurungkan niat untuk berbuat nekat dengan meminum darah itu.
“Kau baru makan sedikit, nanti kau lapar lagi. Lebih baik kau habiskan makananmu ya Cliff. Lagi pula Ibu sudah makan tadi sebelum datang kemari. Ibu masih kenyang jika harus menghabiskan ini semua.” Untuk kesekian kalinya dia membohongi putranya. Hatinya berdenyut nyeri setiap kali berbohong di depan Cliff, tapi apa daya ... demi menjaga rahasia bahwa dia adalah vampir, Clara harus selalu bersandiwara dan berbohong seperti ini.
Dengan kesal Cliff mengambil kembali gelas yang masih dipegang ibunya. Dia meminum darah itu lagi dan hanya menyisakannya sedikit kali ini. Lalu dia ulurkan kembali gelas itu ke arah ibunya.
“Aku sudah memakannya, sekarang hanya sisa sedikit. Ibu tidak akan kekenyangan jika menghabiskan ini sekarang.” Clara bergidik ngeri membayangkan dia harus kembali mencium bau anyir darah sapi itu dari dekat. Spontan dia melangkah mundur, membuat Cliff mengernyit heran melihatnya. Tapi dia tidak menyerah begitu saja, dia berjalan maju semakin mendekati ibunya.
“Makanlah, Bu. Meski hanya setetes pun tak apa. Aku hanya ingin membuktikan bahwa Ibu juga memakan makanan yang sama denganku.” Cliff kembali berucap dengan tangan yang semakin mendekatkan gelas itu pada Clara. Rasa jijik yang dirasakan Clara, membuatnya tanpa sadar menepis kasar gelas itu hingga pecah. Gelas beserta darah di dalamnya berceceran di lantai. Clara meringis kesakitan ketika dia merasakan rasa perih pada tangannya, rupanya tangannya tergores pecahan gelas tadi mengakibatkan darahnya menetes keluar.
Clara hendak pergi untuk mencuci dan mengobati lukanya, namun ...
Grep
Dia terhenyak ketika Cliff menggenggam tangannya. Iris mata yang berwarna merah bagaikan darah itu mengerling seram dalam pandangan Clara. Cliff menjulurkan lidah dan menjilat darah yang terus keluar dari luka di tangannya itu. Tentu Clara terkejut melihatnya, bukan hanya terkejut ... Clara bahkan mulai ketakutan dengan putranya sendiri. Dia tarik tangannya dari genggaman Cliff dan mendorongnya sekuat tenaga hingga Cliff tersungkur di lantai.
“M-Maafkan Ibu. Ibu tidak ...”
“Berhenti membohongiku, Bu. Aku tahu Ibu berbohong padaku. Dari reaksi Ibu, aku bisa menebak Ibu tidak pernah memakan makanan yang sama denganku, kan? Makanan yang Ibu makan pasti sama dengan anak-anak itu,” katanya memotong perkataan Clara tadi. Kini Clara mengetahui penyebab keanehan sikap Cliff, rupanya itu ulah anak-anak yang selalu bermain di dekat pondok mereka meski dia pernah melarang mereka untuk bermain di sana tapi anak-anak itu tak menggubris perkataannya.
Clara berjalan mendekati sang putra dan membantunya berdiri.
“Maafkan Ibu. Ibu tidak bermaksud mendorongmu tadi. Apa ada yang sakit? Katakan pada Ibu bagian mana yang sakit?”
“Kenapa aku berbeda, Bu? Aku juga ingin memakan makanan yang sama seperti Ibu dan anak-anak itu. Kenapa ... kenapa aku selalu berbeda dengan orang lain?” Kedua mata Cliff sudah berkaca-kaca. Jika dia mengedipkan mata maka air mata itu akan tumpah tanpa mampu terbendung lagi. Lagi-lagi hati Clara berdenyut nyeri menyaksikan penderitaan putranya. Tapi dia tidak ingin menangis di depan sang putra, dia harus menjadi sosok ibu yang kuat.
“Kau ingin memakan makanan seperti mereka?” Cliff hanya mengangguk tanpa berucap sepatah kata pun. Clara mengusap puncak kepala putranya dan berusaha memberikan seulas senyum setulus mungkin meski sebenarnya dia sangat ingin menumpahkan air matanya saat ini.
“Baiklah, tunggu sebentar ya. Ibu akan membawanya kemari.” Wajah sedih Cliff berubah seketika menjadi senyum sumringah. Dia hapus air matanya dan mengangguk penuh semangat pada ibunya. Melihatnya tentu membuat kesedihan yang sejak tadi berusaha ditahan mati-matian oleh Clara kini melebur entah ke mana. Clara beranjak meninggalkan pondok, dia benar-benar akan membawakan makanan yang biasa dimakan manusia pada Cliff. Harapannya hanya satu ... semoga Cliff bisa memakannya. Bukankah bagus jika Cliff bisa memakan makanan manusia, artinya dia tidak perlu lagi meminum darah hewan? Dengan begitu maka Cliff benar-benar akan hidup layaknya manusia normal.
Sekitar 20 menit kemudian ... Clara datang dengan membawa nampan yang penuh dengan makanan. Dia letakkan nampan itu di depan Cliff, membuat Cliff tersenyum lebar melihatnya.
“Jadi itu makanan Ibu?” tanyanya antusias yang dibalas dengan anggukan Clara tak kalah antusiasnya.
“Boleh aku memakannya?” Clara terkekeh geli melihat wajah polos putranya, tanpa disadarinya kini putranya telah tumbuh besar. Tubuhnya semakin tinggi, pemikirannya pun bertambah dewasa meski sikapnya masih menunjukan kepolosan anak laki-laki berusia 10 tahun. Namun yang membuat Clara bangga adalah rupa putranya yang semakin mempesona seiring bertambah usianya. Wajahnya semakin memperlihatkan ketampanan yang tidak pernah dia lihat sebelumnya. Bahkan Maxy ... pria yang dulu pernah dicintainya dan dia anggap sebagai pria paling tampan yang pernah dilihatnya, tidak dapat menandingi ketampanan putranya. Bisa Clara tebak jika putranya sudah menjadi pria remaja pasti banyak gadis yang akan tergila-gila padanya dan memperebutkannya. Diam-diam dia tersenyum sendiri membayangkan masa depan putranya itu.
“Bu, kenapa senyum-senyum sendiri? Aku boleh kan memakan makanan itu?” Clara terhenyak seketika tersadar dari lamunannya.
“Tentu saja, Sayang. Makanlah sebanyak yang kau inginkan.” Dengan kedua mata yang berbinar, Cliff mengambil salah satu makanan itu. Lebih tepatnya dia mengambil sepotong roti. Tanpa ragu dia melahap roti itu, tetapi belum sempat dia mengunyah dan menelannya, rasa mual menyerangnya. Roti yang baru digigitnya itu kembali dia muntahkan.
“A-Aku tidak menyukai makanan itu. Aku akan mencoba yang lain,” katanya tak menyerah, sedangkan Clara menatap pilu pada sang putra yang menurutnya sangat malang itu.
Namun, berapa kali pun dia mencoba, hal serupa kembali terjadi. Tak ada satu pun dari makanan yang dibawakan ibunya bisa dia makan. Jangankan memakannya. Hanya dengan mencium aromanya pun sudah membuat perutnya melilit dan mual.
“Sudah, jangan dipaksakan untuk memakannya,” titah Clara merasa sudah tidak sanggup lagi melihat tindakan putranya yang terus mencoba memakan makanan itu meski wajahnya terlihat sangat menderita.
“A ... ku kenapa berbeda, Bu?” Air mata itu kembali mengalir, Clara tak sanggup lagi membendung kesedihannya menyaksikan betapa malang nasib putra kesayangannya. Dia memeluk erat putranya dan tak membendung lagi air matanya.
“Kau tidak berbeda, Sayang. Kau sama seperti kami,” katanya dengan terisak. Tapi kata-katanya itu tidak berpengaruh apa pun pada Cliff. Cliff tetap menyadari bahwa dia memang berbeda.
Cukup lama mereka berpelukan hingga pelukan itu terlepas setelah Cliff yang lebih dulu melepaskannya.
“Aku sudah tidak apa-apa, Bu. Aku baik-baik saja kok,” ucapnya sambil memperlihatkan cengirannya.
“Tidak apa-apa, Sayang. Ibu akan menemanimu di sini. Ceritakan semua keluh kesahmu pada Ibu,” timpal Clara dengan tangan kanan yang mengelus lembut wajah tampan putranya.
“Sungguh Bu, aku baik-baik saja. Aku lelah, aku ingin istirahat.” Cliff melangkah menjauhi ibunya. Dia membaringkan tubuh di kasur empuknya yang berukuran kecil hanya bisa ditempati olehnya seorang. Hanya ada dua tempat tidur berukuran kecil di pondok itu. Satu ditempati Cliff dan satu lagi tentu ditempati ibunya. Cliff menutup tubuhnya dengan selimut hingga menyisakan bagian kepalanya saja.
“Tidurlah, Sayang. Ibu akan ke rumah Nenek sebentar untuk melihat keadaan Nenek yang sedang sakit. Lalu ibu akan membawakan beberapa buku baru untukmu supaya kau tidak bosan.” Cliff hanya menanggapi dengan anggukan. Dia menutup kedua mata untuk membuat ibunya percaya bahwa dia akan tidur. Tanpa sepengetahuan ibunya, dia membuka kembali kedua mata begitu suara pintu ditutup, terdengar.
Cliff bangkit dari tidurnya dan melangkah mendekati jendela. Dia ingin sekali keluar dari ruangan itu dan menghampiri anak-anak yang masih asyik bermain tidak jauh dari pondoknya. Gorden yang selalu menutupi jendela itu untuk pertama kalinya dia singkap. Dia menentang perintah sang ibu yang menyuruhnya untuk tidak pernah membuka gorden itu. Hatinya sedang kesal saat ini karena itu dia memutuskan untuk melawan perintah ibunya. Setelah gorden itu terbuka, seketika ruangan yang selalu tampak remang-remang itu kini menjadi terang benderang. Dia mengerjapkan mata untuk menyesuaikan penglihatannya. Jujur saja dia tidak terbiasa dengan suasana terang seperti itu.
Untuk kedua kalinya dia melanggar perintah ibunya. Dia membuka jendela padahal ibunya selalu mengingatkannya untuk tidak coba-coba membukanya.
“ARRGGHHH!!” Teriaknya ketika rasa panas disertai rasa sakit mengenai kulit tangannya. Sinar matahari yang masuk dari celah jendela itu telah membakar kulitnya. Cliff mengambil seribu langkah untuk menjauhi sinar matahari itu. Luka bakar di tangannya sungguh menyakitkan. Rasa sakit dan panas yang belum pernah dirasakan Cliff sebelumnya. Setelah mengalami semua kejadian ini membuatnya semakin menyadari sesuatu.
“Aku memang berbeda. Sebenarnya siapa dan apa aku ini?” Gumamnya pelan sambil meringkuk di pojok ruangan yang tidak terkena sinar matahari.

Komento sa Aklat (22)

  • avatar
    Tony Clabert

    sangat membantu..

    15/08

      0
  • avatar
    Riana

    bagus

    17/06

      0
  • avatar
    LestariDewi putri

    🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

    01/05

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata