logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 5

Pagi hari yang cerah dengan matahari yang bersinar terik menerangi bumi, terlihat tiga orang anak laki-laki tengah bermain. Mereka bermain perang-perangan, terdengar suara teriakan dan tawa mereka. Kentara sekali mereka sangat menikmati kebersamaan dan permainan mereka. Tanpa mereka sadari seseorang tengah memperhatikan mereka dari kejauhan.
Cliff yang kini sudah menginjak usia 7 tahun, memperhatikan ketiga anak yang sedang bermain tidak jauh dari tempat tinggalnya. Dia melihat melalui sebuah jendela yang tertutup rapat sehingga sinar matahari tidak bisa masuk ke dalam. Sesekali dia ikut tersenyum ketika ketiga anak itu tertawa dengan lantang. Sebenarnya dia ingin sekali bergabung dengan mereka, ikut bermain dan ikut tertawa bersama mereka. Tapi Cliff tahu dia tidak bisa melakukan itu karena ibunya tidak akan mengizinkan.
Sejak dia dilahirkan, dia selalu dikurung di dalam pondok kecil itu. Pondok yang hanya terdiri dari satu ruangan tempat tidur dan sebuah kamar mandi di dalamnya. Pondok itu selalu dalam keadaan gelap karena jendela selalu tertutupi gorden yang membuat sinar matahari tidak bisa masuk ke dalam. Hanya cahaya lilin yang memberikan penerangan. Ibunya selalu mengawasinya dan memastikan dia tidak bisa meninggalkan pondok itu. Pintu pondok itu selalu dalam keadaan terkunci, seperti sekarang ini.
Memang selama ini dia tidak pernah merasa kesepian karena ibunya selalu menemaninya, namun di pagi hari seperti saat ini, bukan sesuatu yang aneh jika ibunya meninggalkannya sendirian. Setiap pagi dia selalu sendiri di dalam pondok, menanti ibunya datang membawakan makanan untuknya.
Cklek
Terdengar suara pintu terbuka yang sontak membuat Cliff melihat ke arah pintu. Dia tersenyum sumringah ketika melihat sosok ibunya yang memasuki pondok.
“Ibu!!” teriaknya sambil berlari ke dalam pelukan ibunya. Clara yang melihatnya seketika berjongkok menyamakan tinggi tubuhnya dengan tinggi sang putra. Dia merentangkan kedua tangan dan memeluk putranya erat.
“Kenapa Cliff? Pasti kau sudah lapar ya?” tanyanya disertai dengan senyuman lembut. Tapi anak laki-laki berusia 7 tahun itu hanya menggelengkan kepala. Dia menarik tangan kanan Clara dan membawanya menuju jendela. Clara mengernyit heran, namun ketika melihat pemandangan di luar, dia pun menyadari alasan putranya itu membawanya ke dekat jendela.
“Ibu, aku ingin ikut bermain bersama mereka,” ucapnya dengan tatapan berbinar penuh harap. Clara terharu melihatnya dan di saat bersamaan dia pun merasa sedih sekaligus kasihan pada putranya itu. Dia kembali berjongkok dan memeluk Cliff dengan erat.
“Main saja dengan Ibu di sini ya,” ujarnya sambil mengelus punggung putranya penuh sayang.
“Tidak mau. Aku bosan diam di sini terus, Bu. Aku ingin keluar dan main bersama mereka.” Clara ingin meneteskan air mata mendengar permintaan putranya. Tapi mustahil dia mengabulkan keinginannya itu. Matahari bersinar sangat terik pagi ini, sesuatu yang sangat membahayakan untuk Cliff karena sinar matahari itu akan membakar kulitnya.
“Tidak, Sayang. Lebih baik kau makan ya.” Clara melepaskan pelukannya dan memperlihatkan sekantong darah hewan yang dia tenteng di tangannya. Sedangkan Cliff hanya menatap kesal pada ibunya karena permintaannya tak dituruti.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau makan, aku ingin bermain di luar,” rengeknya dengan manja.
“Cliff, Ibu bilang tidak, ya berarti tidak!! Jangan bandel!!” bentak Clara yang seketika membuat Cliff diam tertunduk. Untuk pertama kalinya sejak Cliff lahir, Clara membentaknya seperti ini membuat Clara merasa sangat menyesal karena sudah membuat putranya ketakutan. Cliff terus menunduk dan menepis tangan Clara ketika dia berusaha untuk menyentuhnya.
“Sayang, ini demi kebaikanmu. Percayalah pada Ibu.” Clara berucap dengan pelan, berusaha membujuk putranya.
“Kenapa aku berbeda? Mereka bisa bermain bebas di luar padahal mereka juga anak-anak sama sepertiku. Kenapa aku tidak boleh bermain bersama mereka? Kenapa aku selalu dikurung di sini?” Cliff menatap ibunya tajam , membuat Clara tersentak karena untuk pertama kalinya dia ditatap dengan penuh amarah oleh putranya sendiri. Iris mata cliff yang berwarna merah membuat kemurkaannya terlihat jelas di wajahnya.
“Cliff, Ibu bilang jangan bandel. Kau harus menuruti perkataan Ibu!!” Lagi ... untuk kedua kalinya Clara membentaknya.
“Ibu jahat. Aku benci Ibu!!” Teriak Cliff kali ini yang sukses membuat hati Clara tercubit. Sakit sekali ketika putranya sendiri mengatakan bahwa dia jahat dan putranya itu sangat membencinya.
Clara hanya tertegun melihat tatapan penuh amarah yang terlihat jelas di kedua mata putranya. Melihat kediaman ibunya, dengan nekat Cliff berlari ke arah pintu bermaksud untuk keluar karena dia tahu pintu itu kini dalam keadaan tidak terkunci. Clara sangat terkejut melihatnya, dia bergegas berlari dan menangkap tangan Cliff.
“CLIFF!!” teriaknya sambil mengangkat tangan kanan ke atas bersiap untuk memukul putranya. Cliff menunduk dan menutup kedua matanya kaget melihat sang ibu yang ingin memukulnya hanya karena dia ingin pergi keluar untuk bermain dengan anak-anak sebayanya. Beruntung Clara menyadari perbuatannya sebelum telapak tangannya itu mendarat di wajah sang putra.
“Ada apa ini? Kenapa kau berteriak, Clara?” Sebuah suara yang baru saja masuk ke dalam pondok, seketika membuat Clara maupun Cliff menoleh ke arah pemilik suara itu yang tidak lain adalah Celin. Clara menurunkan tangan yang tadi terangkat, sedangkan Cliff menepis tangan sang ibu yang masih memegang tangannya dan berlari ke arah neneknya.
“Nenek!!” teriaknya diiringi isakan tangis.
“Cucu Nenek yang tampan ini kenapa menangis?” Celin membalas pelukan cucunya dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.
“Ibu jahat, dia ingin memukulku,” adunya pada sang nenek yang sontak membuat Celin menatap ke arah Clara. Dari tatapannya tersirat dia menunggu penjelasan dari Clara.
“Dia melawan perintahku, Bu. Dia memaksa untuk bermain di luar.” Hanya dengan jawaban Clara yang singkat itu, Celin mampu menebak perasaan Clara saat ini. Sesuatu yang wajar jika putrinya itu marah pada Cliff.
“Sudahlah, Sayang. Jangan melawan perintah ibumu ya. Nenek selalu mengajarkan pada Cliff untuk menjadi anak yang penurut, kan?”
“Aku ingin bermain bersama anak-anak di luar itu, Nek. Aku bosan di sini,” rengek Cliff masih disertai isak tangis. Celin menatap sendu pada sang cucu, tersirat kesedihan dan rasa kasihan pada nasib malang cucunya itu.
“Lihat, Nenek membelikan mainan baru untuk Cliff. Kita main di sini saja ya, Nenek akan menemanimu bermain.” Celin memperlihatkan beberapa mainan berbentuk mobil-mobil berukuran kecil yang membuat Cliff tersenyum sumringah melihatnya. Isak tangisnya hilang dan digantikan senyuman polos anak laki-laki berusia 7 tahun. Cliff tanpa ragu mengambil mainan itu dan langsung memainkannya.
Setetes air mata meluncur membasahi wajah Clara ketika dia melihat senyuman polos putranya. Sebenarnya tentu dia sangat kasihan pada putranya itu, sebuah permintaan sederhana tapi dia tidak bisa memenuhinya. Celin yang melihatnya, datang menghampiri putrinya. Dia peluk erat putrinya itu, membiarkannya menangis di dalam pelukannya.
“Ibu,” gumam Clara pelan namun masih bisa didengar jelas oleh Celin.
“Kau harus sabar dan kuat. Dia masih anak-anak. Kau harus sabar menghadapinya. Kita harus melakukan ini demi kebaikannya.” Clara mengangkat kepala dan mengangguk pada ibunya. Sedetik kemudian dia menghapus air matanya.
“Dia sudah makan?” Clara menjawabnya hanya dengan gelengan kepala. Celin mengambil sekantong darah yang berasal dari sapi yang disembelih di peternakan milik keluarga Huston. Setiap pagi Clara atau Celin memang pergi ke peternakan untuk mengambil darah yang sudah disisihkan oleh salah seorang pegawai di sana. Sesuatu yang sudah rutin mereka lakukan selama tujuh tahun ini. Pertama kalinya memberikan darah hewan pada Cliff saat dia masih bayi, dia menolaknya. Namun perlahan akhirnya dia bersedia meminumnya dan sampai sekarang darah hewanlah yang menjadi satu-satunya makanan untuknya.
Celin memindahkan darah sapi di dalam kantong itu ke dalam sebuah gelas berukuran cukup besar. Dia berjalan menghampiri Cliff yang sedang asyik bermain di lantai, dengan tangannya yang memegang gelas penuh dengan darah itu.
“Ayo, cucu nenek yang tampan, makan dulu ya.” Bau anyir darah seketika membuat Cliff menoleh dan tanpa ragu mengambil gelas yang penuh dengan darah itu. Dia meneguk dengan rakus darah itu, hanya dalam hitungan detik ... gelas yang penuh dengan darah itu kini sudah kosong.
“Kau sudah kenyang?” Cliff mengangguk penuh semangat menjawab pertanyaan neneknya. selama ini hanya ada dua orang yang dikenal oleh Cliff yaitu ibu dan neneknya. Hanya mereka berdua yang selalu menemaninya di pondok, tidak ada orang lain yang dikenalnya selain dua wanita yang selalu memberikan kasih sayang padanya itu.
Clara ikut tersenyum melihat wajah penuh semangat putranya. Dia tahu betul putranya bukanlah manusia, tapi sejauh ini dia merasa telah berhasil membesarkannya seolah dia manusia biasa sama sepertinya. Tapi sebuah pemikiran mengerikan terlintas di benaknya, sanggupkah dia membesarkan putranya itu sampai dia dewasa? Apa yang akan terjadi pada putranya setelah dia dewasa? Rasanya mustahil dia bisa menyembunyikan identitas yang sebenarnya pada putranya itu ketika dia sudah tumbuh dewasa. Dia hanya bisa berharap semoga selamanya bisa tinggal bersama dengan putranya dan putranya bisa tetap hidup layaknya manusia dan bukan vampir yang berbahaya ketika dia dewasa kelak.
***
Cliff masih asyik bermain dengan mainan barunya meski waktu sudah menunjukan pukul 7 malam saat ini. Sudah sejak tadi sore Celin kembali ke rumah utama keluarga Huston, meninggalkan Clara berduaan saja dengan Cliff. Seharian ini, Cliff hanya bermain dan mengabaikan ibunya. Clara tahu betul hal ini terjadi karena putranya itu masih marah padanya. Clara melangkahkan kaki mendekati putranya yang masih bersimpuh di lantai yang dingin. Dia duduk di samping putranya dan tanpa mengatakan apa pun dia memeluk tubuh putranya erat. Cliff hanya diam menerima pelukan hangat ibunya.
“Maafkan Ibu tadi sudah memarahimu. Kau mau memaafkan Ibu, kan?” Cliff hanya terdiam, membuat Clara mengernyit heran. Dia melepaskan pelukannya, memegang wajah putranya dan menatap tajam tepat ke kedua mata sang putra. Dia selalu terpesona setiap kali menatap wajah putranya, pahatan yang sempurna menurutnya yang selalu membuatnya penasaran ingin melihat rupa pria yang telah membuatnya melahirkan Cliff. Jika melihat wajah rupawan Cliff, bisa Clara tebak bahwa wajah pria itu pastilah sama rupawannya dengan Cliff.. Dia ingin sekali bisa bertemu dengan pria itu meski hanya sekali. Ingin memakinya, memarahinya dan merutukinya karena dia sudah memberikan banyak penderitaan padanya. Tapi di saat yang bersamaan, dia pun ingin berterima kasih padanya karena berkat pria itu, dia memiliki putra yang sangat tampan seperti Cliff.
“Maafkan aku juga, Bu. Aku bohong tadi. Ibu tidak jahat. Aku juga tidak membenci Ibu. Aku sayang sekali pada Ibu.” Lagi-lagi air mata meluncur dengan sendirinya membasahi wajah cantik Clara. Cliff menghapus air mata sang ibu dengan tangan mungilnya, dia pun ikut menangis.
“Jangan menangis, Bu. Maafkan aku. Aku janji tidak akan melawan ibu lagi. Tidak apa-apa, aku janji tidak akan meminta bermain di luar lagi. Aku akan main di dalam rumah, aku tidak akan keluar dari rumah ini, Bu.” Bukannya berhenti, air mata Clara justru semakin mengalir deras mendengar penuturan putranya. Dia memeluk Cliff semakin erat.
“Ibu juga sangat menyayangi Cliff. Maafkan ibu tidak bisa memenuhi keinginannmu.” Clara melepaskan pelukannya dan dengan cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan. Dia pun menghapus air mata yang terus mengalir dari kedua mata Cliff dengan kedua tangannya.
“Apa kau mau bermain keluar? Ayo, kita jalan-jalan di luar. Ibu akan menemanimu.”
“Bolehkah, Bu?” Clara mengangguk dengan semangat. Cliff tersenyum bahkan melompat-lompat kegirangan membuat Clara terkekeh geli melihatnya.
Mereka pun melenggang pergi meninggalkan pondok kecil yang selama 7 tahun ini menjadi rumah mereka. Mereka jalan-jalan menikmati suasana malam yang hanya diterangi cahaya rembulan. Hawa dingin dari angin yang berhembus sesekali membuat Clara menggigil kedinginan. Tapi hal serupa tak terjadi pada Cliff, anak laki-laki itu terlihat sangat senang karena untuk pertama kalinya dia menghirup udara segar di luar pondok. Dia melapaskan genggaman tangan ibunya dan menghampiri benda apa pun yang menarik perhatiannya. Clara membiarkan hal itu dan hanya tersenyum melihat tingkah laku putranya yang terlihat begitu bahagia malam ini.
“Ibu, ini apa? Wangi sekali,” tanya Cliff ketika dia melihat benda berwarna-warni yang memiliki aroma wangi. Clara kembali terkekeh geli, lucu menurutnya ... putranya itu bahkan tidak tahu bahwa benda yang sedang dilihatnya itu hanyalah bunga-bunga yang sedang bermekaran. Sebenarnya sesuatu yang wajar, mengingat Cliff memang tidak pernah keluar dari pondok selama 7 tahun ini.
“Namanya bunga. Indah, bukan?” Cliff mengangguk dengan diiringi senyuman yang menambah ketampanannya. Atensinya dari bunga-bunga itu teralihkan ketika ekor matanya menangkap sosok seorang anak laki-laki yang lebih kecil darinya. Mungkin anak laki-laki itu baru berusia 5 atau 6 tahun. Cliff berlari menghampiri anak laki-laki itu, dia sedang berjongkok di tanah, terlihat sedang memainkan sesuatu. Tentu Clara terkejut melihatnya, terutama ketika dia menyadari rumah yang berada di depannya sekarang ini adalah rumah seseorang yang sangat dikenalnya.
“Hei, kau sedang main apa?” tanya Cliff dan ikut berjongkok di dekat anak laki-laki itu.
“Kau siapa?” Bukan menjawab, anak laki-laki itu justru bertanya balik pada Cliff.
“Namaku Cliff. Ayo, main sama-sama.” Sebenarnya Cliff sangat senang melihat anak laki-laki itu. Dia teringat pemandangan tadi pagi yang dilihatnya, pemandangan di mana beberapa anak laki-laki seusianya sedang bermain bersama tepat di depan rumahnya.
Awalnya, Clara hanya tersenyum melihat Cliff berinteraksi dengan anak laki-laki itu, namun dia terhenyak ketika melihat seseorang yang keluar dari dalam rumah dan berjalan dengan cepat menghampiri Cliff dan anak laki-laki itu. Clara berlari menghampiri mereka dan segera menarik Cliff dalam pelukannya.
“Oh, jadi anak ini anakmu, pantas aku tidak pernah melihatnya. Dengar Jo, Ayah melarangmu bermain dengan anak ini,” ucap pria dewasa yang tidak lain adalah Maxy, mantan tunangan Clara, pada anak laki-laki itu yang sepertinya adalah putranya.
“Kenapa aku tidak boleh bermain dengannya, Yah?” Pertanyaan polos yang berasal dari anak laki-laki yang terlihat baru berusia 6 tahun itu.
“Karena dia itu anak haram. Dia tidak punya ayah. Anak pembawa sial,” ujar Maxy dengan seringaiannya pada Clara. Tentu Clara sangat tersinggung dan marah mendengarnya. Dia menatap nyalang pada Maxy, mengabaikan bahwa dulu pria itu pernah menempati posisi yang sangat penting di hatinya.
“Jangan menghina putraku. Kau boleh menghinaku, tapi tidak dengan putraku!!” bentak Clara penuh amarah.
“Kenapa kau marah? Tidak ada yang salah dengan kata-kataku. Dia itu memang anak haram, kan? Dia tidak punya ayah. Sebenarnya aku kasihan pada anakmu itu, aku kasihan karena ibunya adalah wanita murahan sepertimu.” Bagai ditusuk berpuluh-puluh pedang, itulah gambaran perasaan Clara saat ini. Dia tahu betul kejadian di masa lalu, membuat Maxy begitu membencinya. Dia sama sekali tidak menyangka meski waktu sudah berlalu cukup lama, kebencian itu masih belum hilang dari dalam hati pria itu. Clara ingin membalas ucapannya, namun dia mengurungkan niat karena tidak ingin menimbulkan keributan terutama di depan putranya yang tengah memeluknya erat. Maxy menarik tangan putranya, membawanya masuk ke dalam rumah.
“Bu, anak haram itu apa? Apa maksudnya wanita murahan?” Tanya Cliff yang membuat Clara terhenyak kaget. Dia hanya tidak menyangka perkataan Maxy tadi melekat di dalam pikiran Cliff.
“Sudahlah, jangan dengarkan kata-kata paman tadi ya,” jawab Clara sambil memberikan seulas senyum yang dipaksakan.
“Apa benar aku tidak punya ayah? Di mana ayahku?” Bukan hanya terhenyak, Clara bahkan terperanjat mendengar pertanyaan Cliff. Sebuah pertanyaan yang selama ini selalu membuat Clara takut akan terlontar dari bibir mungil putranya, kini pertanyaan itu benar-benar dilontarkannya.
“Bu,” panggil Cliff dengan kening yang mengernyit heran melihat kediaman ibunya.
“Ayo, kita pergi. Ibu akan membawamu ke suatu tempat yang indah.” Clara mengalihkan pembicaraan yang mulai membuatnya tidak nyaman, dia menarik tangan Cliff untuk mengikutinya. Sebenarnya Cliff ingin mendengar jawaban atas pertanyaannya tadi, tapi toh pada akhirnya dia tetap mengikuti langkah ibunya. Dia teringat pada janjinya untuk tidak melawan perkataan ibunya lagi.

Komento sa Aklat (22)

  • avatar
    Tony Clabert

    sangat membantu..

    15/08

      0
  • avatar
    Riana

    bagus

    17/06

      0
  • avatar
    LestariDewi putri

    🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

    01/05

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata