logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 3

Clara menangis pilu di dalam kamarnya bersama sang ibu yang mencoba menenangkannya. Kejadian yang baru saja terjadi sangat melukai perasaan Clara. Pria yang dulu begitu mencintainya kini berubah menjadi seseorang yang melihatnya dengan tatapan jijik. Bukan hanya itu sakit hati yang dirasakannya, setelah ayahnya memarahinya habis-habisan, dia pun harus menerima kemarahan dan cibiran dari anggota keluarga Huston yang hadir. Jika boleh memilih, sebenarnya Clara lebih senang jika dia mati saja sekarang.
“Clara, kenapa kau tidak mau mengatakan siapa pria yang telah menghamilimu?” tanya ibunya yang sejak tadi memeluk Clara erat mencoba untuk menenangkannya.
“Sungguh, Bu. Aku tidak tahu. Aku juga tidak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi padaku.” Clara mengatakan yang sejujurnya, dia memang tidak tahu kenapa peristiwa menyedihkan ini bisa terjadi padanya.
“Coba kau ingat-ingat lagi, bagaimana mungkin kau bisa tiba-tiba hamil seperti ini? Pasti sesuatu telah terjadi padamu. Kau harus mengingatnya, Clara. Ini demi keselamatanmu dan bayimu nanti,” bujuk sang ibu dengan air mata yang juga sudah menganak sungai di wajahnya. Dia hanya tidak menyangka putri semata wayangnya itu akan mengalami peristiwa yang menyedihkan seperti ini.
“Hari itu ... ketika aku pergi ke hutan terlarang untuk mencari tanaman obat. Aku ingat, aku melihat sekelebat bayangan seseorang bergerak dengan cepat, tapi aku tidak tahu apa itu. Sebelum aku kehilangan kesadaran, aku melihat seseorang berpakaian serba hitam berdiri di depanku. Lalu setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi, Bu. Aku bahkan tidak sadar bahwa aku sudah pingsan selama tiga hari,” jelas Clara, dia mencoba menceritakan pada ibunya sebuah keanehan yang terjadi padanya di hutan terlarang.
“Apa kau merasakan sesuatu yang aneh pada tubuhmu setelah itu?” tanya ibunya lagi yang sepertinya sudah bisa menebak apa yang telah terjadi pada putrinya.
“Ketika sadar, aku sudah berada di sebuah gubuk. Tidak ada siapa pun di sana, hanya ada aku seorang. Lalu aku merasakan sakit dan perih pada area kewanitaanku.” Clara menundukan wajah, sedangkan air matanya tak henti menetes dari kedua mata indahnya yang kini mulai membengkak.
BRAAKK!
Mereka berdua tersentak bersamaan ketika seseorang membuka pintu kamar dengan membantingnya. Sosok Harry yang dipenuhi dengan kemurkaan masuk ke dalam kamar. Dia berjalan mendekat ke arah Clara, membuat Clara sontak merapatkan tubuh dalam pelukan ibunya. Tubuhnya gemetaran karena takut menerima kemurkaan ayahnya lagi. Di ruang keluarga tadi, entah berapa kali ayahnya itu menampar dan menjambak rambutnya.
Harry menarik tubuh Clara, memaksanya melepaskan diri dari pelukan sang ibu.
“Suamiku, tolong jangan sekasar ini pada putri kita,” pinta Celin yang tidak lain ibu Clara, memohon dengan pilu pada suaminya.
“Aku tidak sudi memiliki anak sepertinya, dia telah mencoreng nama baik keluarga kita. Sekarang katakan siapa pria yang telah menghamilimu itu?!!” Teriak Harry tepat di depan wajah Clara, membuat Clara memejamkan mata karena tak berani menatap wajah ayahnya yang memerah karena amarah.
“Putri kita tidak berbohong, dia memang tidak tahu siapa pria itu. Dia ... dia menjadi korban pemerkosaan. Bahkan putri kita kehilangan kesadarannya ketika pria itu merenggut kesuciannya. Kejadiannya terjadi ketika dia menghilang selama tiga hari itu.” Celin semakin terisak mengingat betapa malang nasib putrinya itu. Sedangkan Harry tercengang mendengarnya dan dia akhirnya melepaskan cengkraman tangannya pada tubuh sang putri yang dulu begitu disayanginya.
“Benarkah yang dikatakan ibumu itu?” Clara hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan.
“Kau harus menemui Kepala Desa dan menceritakan kebenaran ini. Kita harus menyelamatkan putri kita sebelum warga desa tahu. Clara sama sekali tidak bersalah, dia adalah korban.” Harry hanya terdiam mendengar bujukan istrinya. Sekilas dia melirik ke arah Clara yang sedang menangis dengan tubuh yang gemetaran. Diam-diam dia merasa menyesal karena telah menganiaya putrinya sendiri, padahal kejadian yang menimpanya ini bukanlah kesalahannya. Tanpa mengatakan apa pun Harry melenggang pergi dari kamar itu.
“Bu, aku tidak mau bernasib sama dengan Tina.” Isak tangis Clara semakin gencar ketika dia mengingat nasib tragis yang menimpa salah satu temannya yang bernama Tina. Dia hamil di luar nikah dan ketika warga di desa ini mengetahuinya, mereka sangat murka. Mereka mengarak Tina mengelilingi seluruh desa dengan tubuhnya yang tak tertutupi sehelai benang pun. Lalu mereka menghukumnya dengan mengurung dan mempasung kakinya hingga dia melahirkan. Tentu Clara tidak ingin mengalami nasib yang serupa dengannya. Bagi Clara lebih baik dia mati daripada harus dipermalukan seperti itu.
“Tidak. Kau tidak akan mengalami nasib seperti Tina, karena masalah kalian berbeda. Tina melakukan dosa itu secara sadar, sedangkan kau ...” Celin tak meneruskan perkataannya, sulit baginya menerima kenyataan bahwa putrinya menjadi korban pemerkosaan.
“Ayahmu akan menyelamatkanmu. Dia tidak akan tinggal diam.”
“Tapi ayah sangat membenciku sekarang.” Jika melihat tatapan ayahnya, Clara sangat yakin bahwa mulai hari ini dia tidak akan pernah melihat tatapan penuh cinta dan kasih sayang dari ayahnya lagi. Hidupnya telah berubah sepenuhnya karena masalah ini.
“Bu, apa kita gugurkan saja ya kandunganku ini?” tanyanya yang sontak membuat Celin membelalak kaget.
“Tidak. Kau tidak boleh melakukan itu. Itu sebuah dosa besar. Lagi pula anak itu sama sekali tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa. Singkirkan pemikiran bodoh itu dari kepalamu.” Mendengarnya membuat Clara semakin meneteskan air matanya deras, dia memeluk ibunya dan dalam hati mengucap syukur karena dia memiliki ibu yang begitu baik dan peduli padanya.
***
Seperti yang dikatakan ibunya, rupanya sang ayah benar-benar telah menyelamatkan hidupnya. Ayahnya itu ternyata menemui Kepala Desa dan menceritakan semua yang dialami Clara. Kepala desa bersimpati atas nasib malang yang dialami Clara, namun tidak demikian dengan warga desa. Meski mereka tidak menghukum Clara seperti yang mereka lakukan pada Tina, mereka tetap mengucilkan Clara. Tak ada lagi yang mau menyapanya. Clara seolah terasing dan seperti bukan lagi bagian dari penduduk Desa Tussand.
Harry pun masih tidak mau menerima kenyataan bahwa anak yang dikandung Clara adalah cucunya. Dengan berteriak tepat di depan Clara, dia menegaskan bahwa dia tidak akan pernah mengakui anak yang akan lahir dari rahim Clara itu sebagai cucunya. Dia bahkan mengatakan tidak akan pernah memberikan nama marga keluarganya pada anak itu. Hancur ... tentu saja perasaan Clara sangat hancur mendengarnya. Tapi mengingat ayahnya masih mengizinkannya untuk tinggal di rumah keluarga Huston, setidaknya hal itu sedikit membuatnya lega.
Hari demi hari dilalui Clara dengan penuh penderitaan. Tidak ada seorang pun yang peduli padanya, tentu saja kecuali ibunya. Dalam masa kehamilannya, Clara benar-benar menderita. Dia tidak bisa memakan makanan apa pun karena hanya dengan mencium bau dari makanan itu, dia akan merasa mual dan langsung muntah. Hanya daging mentah yang masih memiliki bau anyir darah, satu-satunya yang bisa masuk ke dalam perutnya. Tentu hal ini membuat Celin merasa aneh. Tapi demi keselamatan Clara dan bayinya, Celin merahasiakan hal ini dari semua orang termasuk suaminya.
Tubuh Clara sangat kurus seolah semua daging di dalam tubuhnya telah dilahap habis. Bukan hanya itu, dia pun sering kekurangan darah. Entah mengapa darahnya selalu terkuras nyaris habis sehingga demi mempertahankan hidupnya, dia harus menerima tranfusi darah setiap hari. Wajah Clara yang cantik pun menjadi sangat menyedihkan, tulang-tulang yang membentuk wajahnya tercetak jelas, seolah tak memiliki daging. Kelopak matanya menghitam dengan iris mata yang terlihat sayu. Untuk sekedar berdiri pun, Clara tak memiliki tenaga sama sekali. Celin melihat tubuh Clara seolah mayat hidup yang kapan pun bisa benar-benar menjadi mayat.
Ketika usia kandungannya sudah berusia 7 bulan, perut Clara sangat besar seolah usianya sudah menginjak 9 bulan. Dan hari itu akhir dari penderitaan Clara karena mengandung pun dimulai.
Clara merintih kesakitan, Celin menyadari hal ini disebabkan karena sudah saatnya putrinya itu melahirkan. Dia memanggil seorang tabib wanita untuk membantu proses persalinan Clara. Celin menemani tabib itu membantu proses persalinan Clara.
“Clara, kau harus kuat, Nak. Dorong dengan kuat. Anakmu akan segera lahir,” ucap Celin menguatkan Clara. Dia menggenggam tangan Clara kuat. Kedua kaki Clara sudah terbuka lebar untuk memberi jalan keluar bagi anaknya. Tabib pun mengucurkan banyak peluh dari pelipis karena kepala bayi itu tak kunjung dapat dilihatnya meski Clara sudah berusaha mengejan berulang kali.
“Bu, sakit sekali,” gumam Clara pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Celin.
“Tahanlah, Sayang. Kau kuat. Ibu tahu kau pasti bisa.” Celin mengecup penuh sayang kening Clara yang sudah banjir keringat. Tubuh putrinya itu tampak ringkih dan rapuh, tak hentinya membuat air mata menetes dari kedua mata indahnya setiap kali melihat keadaan putrinya yang menyedihkan itu.
“Bu, sakit sekali!!” Teriak Clara sambil meremas kuat tangan ibunya.
“Nyo-Nyonya, lihat perutnya!!” Ujar tabib wanita panik sambil menunjuk ke arah perut Clara. Celin mengikuti arah yang ditunjuk tabib itu dan kedua bola mata Celin membelalak sempurna ketika dia melihat perut Clara yang bergerak-gerak. Untuk melihat apa yang sedang terjadi pada perut Clara, tabib wanita itu merobek pakaian Clara sehingga kini terekspos jelas apa yang terjadi pada perutnya.
Sesuatu dari dalam perutnya itu seolah mencoba mengeluarkan dirinya sendiri.
“Bu ... aku ... sudah tidak tahan lagi. I ... ni sakit seka ... li.” Kata-kata terakhir sebelum Clara akhirnya kehilangan kesadarannya. Baik Celin maupun tabib itu sama sekali tidak menghiraukan keadaan Clara, atensi mereka sepenuhnya tertuju pada perut Clara yang bergerak-gerak hebat. Lalu ...
Perut itu tiba-tiba robek, sebuah tangan mungil menjulur keluar. Celin dan tabib yang melihatnya sontak melangkah mundur dengan kedua mata mereka yang melotot tak percaya.
Perut Clara semakin robek dan perlahan kepala bayi itu keluar, bayi mungil itu meronta seolah berusaha mengeluarkan dirinya dari dalam perut Clara. Tabib wanita bergidik ngeri melihatnya, sedangkan Celin membekap mulutnya kuat menahan agar suara jeritannya tak keluar. Bayi itu tak mengeluarkan tangisan sedikit pun ketika akhirnya berhasil keluar dari tubuh Clara. Kini tubuh Clara dipenuhi darah yang berasal dari perutnya yang menganga. Menyadari putrinya berada dalam bahaya, Celin dengan sigap mengambil bayi itu. Dia memotong tali ari-ari yang menghubungkan bayi itu dengan Clara. Kini bayi yang masih berlumuran darah itu berada di dalam dekapannya.
“Tolong selamatkan Clara,” pinta Celin pada tabib wanita yang masih tercengang tak percaya dengan apa yang baru saja dilihat oleh matanya.
“Tabib, tolong selamatkan purtiku,” pintanya lagi yang kali ini sukses membuat tabib itu tersadar dari keterkejutannya. Tabib itu menjahit perut Clara yang menganga lebar dan berusaha menghentikan pendarahannya.
“Nyonya, darahnya tidak mau berhenti keluar. Aku tidak bisa menyelamatkan putri anda. Maaf, aku sudah berusaha semampuku, nyonya,” ucap tabib itu penuh penyesalan yang sukses membuat Celin terhenyak. Dilihatnya napas Clara yang mulai melemah. Dia tidak mungkin tinggal diam dan hanya menyaksikan Clara meregang nyawa. Tiba-tiba sebuah harapan terbesit di benak Celin ketika dia mengingat sesuatu. Dia meletakan bayi yang masih berlumuran darah itu dan mengambil sesuatu yang diyakininya bisa menyelamatkan Clara.
“Tanaman apa itu, Nyonya?” tanya sang tabib ketika dia melihat Celin menghampirinya dengan sebuah tanaman berwarna ungu di dalam genggamannya. Celin memang selalu menyimpan tanaman obat itu sejak Clara menjatuhkannya di lantai begitu saja. Sebenarnya jika dipikir kembali, karena tanaman itulah Clara harus mengalami semua kemalangan dan penderitaan ini.
“Gunakan ini, tanaman ini bisa menyelamatkan nyawanya.” Tabib itu mengernyit heran, tapi akhirnya menuruti perkataan Celin. Dia menumbuk tanaman itu hingga halus, lalu meletakannya tepat di atas luka di sepanjang perut Clara. Sebuah keajaiban pun terjadi tak lama kemudian.
Luka di perut Clara seolah meresap cairan tanaman itu. Asap putih keluar dari tanaman itu dan sedikit demi sedikit luka di perutnya pun memudar hingga akhirnya menghilang tanpa bekas.
“I-Ini mustahil, mungkinkah tanaman ini adalah tanaman ajaib yang hanya tumbuh di hutan terlarang?” tanya tabib wanita dengan tatapan tak percaya, menatap ke arah perut Clara yang sudah kembali mulus seolah tak pernah ada luka di sana.
“I-Ini aneh sekali, dan ... dan ... bayi itu. D-Dia monster.” Tabib itu kini bergumam dengan wajah yang menyiratkan ketakutan yang amat sangat. Menyadari situasi akan menjadi berbahaya jika dia membiarkan tabib wanita itu begitu saja, akhirnya Celin melakukan sebuah tindakan. Dia mengambil beberapa lembar uang yang disimpannya.
“Ambilah ini dan tolong rahasiakan semua yang kau lihat tadi. Jangan ceritakan ini pada siapa pun,” pinta Celin sambil memberikan uang yang dalam jumlah cukup besar itu pada tabib.
“Tapi Nyonya ...”
“Aku mohon, kau juga seorang ibu sama sepertiku. Aku yakin kau pun akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan putrimu, bukan? Aku berterima kasih untuk semua bantuanmu hari ini. Terimalah uang ini, anggap saja sebagai tanda terima kasih dariku. Sekali lagi aku mohon jangan ceritakan masalah ini pada siapa pun,” pintanya lagi yang disertai air matanya kali ini. Merasa iba, akhirnya tabib itu mengangguk dan menerima uang pemberian Celin.
“Kalau begitu aku mohon undur diri, Nyonya,” pinta tabib itu yang langsung diberi izin oleh Celin dengan anggukannya.
Setelah tabib itu pergi, Celin memandikan tubuh bayi yang masih berlumuran darah. Lalu dia membereskan semua bekas persalinan itu. Seorang diri dia membersihkan tubuh Clara dari darah yang sudah mengering. Dia pun merapikan seprei yang digunakan sebagai alas Clara tadi, sprei yang sudah dipenuhi oleh darah. Dia membungkusnya dengan plastik hitam dan berniat akan membuang atau menguburkannya nanti. Diam-diam Celin menghembuskan napas lega karena saat ini suaminya sedang tidak berada di rumah. Sudah satu minggu ini dia pergi ke luar desa untuk suatu urusan, dan sungguh bagi Celin keadaan ini sangat menguntungkannya. Suaminya itu tidak akan tahu peristiwa mengerikan yang baru saja disaksikannya.
Dia mengalihkan atensinya lagi pada bayi yang dia tidurkan di atas tempat tidur. Bayi itu ... dia laki-laki dan sangat tampan. Meski baru dilahirkan tapi aura ketampanannya sudah terlihat jelas oleh Celin. Kulitnya putih bagai porselen, rambutnya hitam pekat. Dia mengelus wajah bayi itu penuh dengan ketakjuban, tak dipungkirinya inilah pertama kalinya dia melihat bayi yang begitu mempesona seperti bayi yang tidak lain adalah cucunya itu.
Perlahan kedua mata bayi itu terbuka, memperlihatkan iris matanya yang semerah darah. Celin terhenyak melihatnya, secara bersamaan dia pun mengingat sesuatu. Mengingat sebuah kisah yang dulu pernah diceritakan ibunya yang tidak lain adalah Cleo.
“Bayi ini mungkinkah ....?” Dia meneguk saliva, mulai panik ketika membayangkan sesuatu yang sangat mengerikan menurutnya. Dia ingin menepis pemikiran itu tapi rasa penasaran membuatnya bertekad untuk membuktikan kebenaran akan pemikirannya itu.
Dia meninggalkan Clara dan bayinya di dalam kamar, dia pergi menuju dapur dan membuatkan susu untuk diminum bayi itu.
Sesampainya di dalam kamar ...
Tanpa ragu dia meminumkan susu itu, tapi bayi itu menolaknya. Dia memuntahkannya, tak sedikitpun dia menelan susu itu. Celin akhirnya berbuat nekat dengan mengiris jari telunjuknya sendiri hingga darahnya menetes, dia menampung darah itu dengan sebuah sendok. Kemudian dengan ragu-ragu dia mendekatkan sendok yang sudah penuh dengan darahnya itu ke arah bibir mungil sang bayi.
Kedua bola mata Celin membulat sempurna ketika dilihatnya bayi itu meminum darah itu dengan rakus. Satu bukti yang menunjukan bahwa pemikirannya tadi adalah sebuah kebenaran. Merasa satu bukti itu belum cukup, Celin memutuskan untuk mencari bukti lainnya.
Dia membawa bayi dalam gendongannya menuju ke dekat jendela. Dia buka jendela itu sehingga sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar. Tiba-tiba bayi yang sejak dilahirkan tak pernah mengeluarkan suara tangisan, kini menangis histeris hingga suara tangisannya membahana di dalam kamar itu. Celin semakin yakin bahwa pemikirannya benar ketika dia melihat kulit bayi itu terbakar karena terkena sinar matahari.
Celin kembali menutup jendela dan menjauhkan bayi mungil itu dari jendela. Tangisannya berhenti dan bukan hanya itu yang membuat Celin terbelalak tak percaya, luka bakar di kulit bayi itu tiba-tiba memudar dan akhirnya menghilang tanpa bekas.
Untuk kesekian kalinya dia meneguk salivanya panik, dia menyadari putrinya telah melahirkan sosok makhluk yang sangat mengerikan. Monster penghisap darah yang dia tahu semua orang menyebutnya vampir.

Komento sa Aklat (22)

  • avatar
    Tony Clabert

    sangat membantu..

    15/08

      0
  • avatar
    Riana

    bagus

    17/06

      0
  • avatar
    LestariDewi putri

    🥰🥰🥰🥰🥰🥰🥰

    01/05

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata