logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter Five

“Dibilang sangat cantik sih nggak, itu berlebihan. Dia cantik tapi pasti masih banyak cewek yang jauh lebih cantik dari dia di luar sana,” jawabnya, aku memberengut di sini. Entah mengapa aku tak suka mendengar jawabannya ini.
“Tapi ada beberapa hal yang membuatnya spesial di mataku,” lanjutnya. Aku seketika tertegun.
“Oh, iya? Apa itu? Bisa disebutkan?” pinta sang host, permintaan serupa yang kini menari-nari di dalam kepalaku.
“Dia ... punya inner beauty yang bikin aku tergila-gila sama dia. Hatinya baik dan lembut banget. Dia selalu ngertiin di saat aku gak bisa selalu ada di deket dia saking sibuknya, dia gak pernah ngeluh apalagi marah. Dia juga tipe cewek pemaaf, gak kehitung seringnya aku bikin kesalahan sama dia. Tapi dia selalu bisa maafin aku.” Raefal menjeda ucapannya, sedangkan aku di sini menahan napas, tak percaya dia mengatakan semua ini di depan publik.
“Dia juga cewek mandiri, selalu berusaha mewujudkan keinginannya dengan caranya sendiri. Sesulit apa pun kondisinya tanpa merepotkan orang lain. Dia juga tegar dan sabar. Hebatnya lagi, dia selalu berpikir positif setiap kali menghadapi masalahnya. Tujuh tahun pacaran sama dia, aku jelas tahu seberat apa masalah yang pernah dia hadapi, tapi dia gak pernah menyerah. Dia selalu nyari jalan keluar untuk tiap masalah dia tanpa minta bantuan orang lain.”
“Woow ... dia cewek hebat ya?” sahut host. Kudengar Raefal bergumam mengiyakan.
“Bukan hanya itu aja sih spesialnya dia di mata aku. Dia itu orang yang paling memahami aku baik sifat aku, tabiat aku, kepribadian aku. Intinya dia selalu tahu aku lagi punya masalah tanpa perlu repot-repot cerita sama dia.”
“Waah ... hebat banget ya cewek kamu. Jangan-jangan dia punya kemampuan cenayang?”
Aku terkekeh geli mendengar candaan host radio. Bisa-bisanya dia berpikir seperti itu tentangku.
“Hahahaha ... bisa jadi. Tapi kayaknya dia yang terlalu kenal aku luar dalam yang bikin dia bisa tahu suasana hati aku hanya dengan ngelihat ekspresi wajah sama sikap aku. Menurut aku sih gitu,” jawab Raefal yang lagi-lagi membuatku tersipu malu di sini.
“Berarti kamu beruntung ya punya cewek kayak dia?”
“Iya, beruntung banget. Oh, iya. Boleh gak aku ngomong sesuatu sama dia di sini?”
Aku membulatkan mata saat mendengar permintaan Raefal ini. Apa yang ingin disampaikannya padaku? Aku coba memfokuskan pendengaran, tak ingin ada satu pun kata-katanya yang terlewat.
“Hallo Indira Gianina, aku tahu kamu pasti lagi duduk di depan radio kamu sambil senyum-senyum sendiri kan sekarang?” katanya, aku terenyak kaget, darimana dia mengetahuinya? Tanpa sadar aku menganggukan kepala.
“Aku mau bilang maaf karena selama ini aku udah sering ninggalin kamu, apalagi sejak aku mulai kerja. Aku jarang banget bisa habisin waktu berduaan sama kamu. Kebiasaan aku yang sering jahilin kamu juga, pasti bikin kamu kesel, kan? Tapi kamu selalu sabar ya ngadepin aku yang kayak gini? Makasih ya, Sayang.”
Senyumanku semakin lebar tanpa dia ketahui, meskipun berbanding terbalik dengan kedua mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Aku tahu gak ada orang sempurna di dunia ini, termasuk aku dan kamu juga. Tapi di mata aku, gak ada cewek yang bisa nandingin kamu di hati aku. Ibaratnya hati aku itu sebuah ruangan, cuma kamu yang bisa masuk ke ruangan itu karena kunci pintu ruangan cuma kamu yang pegang. Intinya gak akan ada cewek lain yang bisa gantiin posisi kamu di hati aku.”
Sungguh kali ini aku meneteskan air mata, aku terharu mendengar kata-katanya.
“Makasih ya, Indi, selama ini kamu selalu ada buat aku. Selalu dukung aku, ngertiin aku, nerima aku apa adanya di saat aku punya segudang kekurangan. Bagiku kamu sempurna banget. Cuma nama kamu yang aku sebut dalam doaku, memohon sama Tuhan supaya hingga ajal menjemput, kamu selalu ada di samping aku.”
Suara isak tangisku mulai mengalun di dalam kamar, bahkan lelehan air mata tak bisa kubendung lagi.
“Gak kerasa ya, udah tujuh tahun loh kita pacaran. Boleh kan aku mulai mikirin menjalin hubungan yang lebih serius sama kamu? Kamu udah siap belum?” tanyanya yang sayangnya tak bisa kujawab sekarang. Dia berada jauh dariku, seandainya dia ada di sini bersamaku sekarang, pasti akan kujawab tanpa ragu pertanyaannya ini.
“Ya, ya, aku tahu kamu pasti lagi kesel sekarang, aku nanya kayak gini padahal aku gak lagi ada di sana. Lagi gak ada di deket kamu.”
Aku terbelalak lagi, untuk kesekian kalinya dia bisa menebak dengan tepat pemikiranku. Bukankah harusnya host radio itu lebih mencurigai Raefal yang memiliki kemampuan cenayang dibandingkan aku?
“Aku pengen denger jawaban kamu sekarang juga. Jadi, bisa kan sekarang kamu keluar dari kamar kamu. Pergi ke halaman belakang rumah kamu, di sana lilin-lilin akan menuntunmu padaku.”
Aku mengerjap-ngerjapkan mata kali ini, tak paham sedikitpun maksud perkataannya.
“Aku tunggu jawaban kamu ya. Telepon ke station radio ini buat ngasih aku jawabannya. Aku tahu kamu punya nomor telepon station radio kesayangan kamu ini.”
Spontan aku bangun dari posisi duduk, berniat melangkah menuju pintu.
“Aku kasih waktu 15 menit ya. Dan 15 menit kamu dimulai dari sekarang,” lanjutnya sukses membuatku tersentak kaget untuk kesekian kalinya.
“Raefal sialan!!” teriakku seraya cepat-cepat berlari keluar dari kamar.
Halaman belakang menjadi tujuan utamaku sekarang. Begitu kubuka pintu yang akan membawaku ke halaman belakang rumah, aku tak tahu harus mengekspresikan keterkejutanku seperti apa.
Di depan sana ... kulihat pohon-pohon yang tumbuh di halaman belakang rumah sudah dihias sedemikian rupa. Banyak balon warna-warni yang diikat di sana. Cahaya lampu-lampu yang menghiasi pohon-pohon itu berkerlap-kerlip layaknya bintang-bintang di langit sana. Halaman rumahku yang biasanya tampak gelap dan suram di malam hari, kini terlihat gemerlap layaknya taman hias.
Yang membuatku semakin takjub, ada lilin-lilin dalam keadaan menyala yang diletakan di sepanjang jalan.
Aku ingat Raefal mengatakan lilin-lilin ini akan menuntunku padanya. Lantas tanpa berpikir dua kali, aku pun mengikuti lilin-lilin itu.
Lilin berhenti tepat di sebuah pot bunga mawar merah. Ketika kuperiksa pot itu, aku terenyak saat menemukan sebuah amplop. Cepat-cepat kuambil amplop itu, melihat isinya.
Selembar fotolah yang kutemukan di dalam amplop. Aku ingat foto ini. Foto diriku dan Raefal yang pergi ke salah satu Mall, lalu kami mengambil foto bersama di sebuah foto box. Raefal tiba-tiba mencium pipiku tepat di saat kamera memotret kami.
Beginilah jadinya penampakan foto di tanganku ini. Selembar foto di mana aku sedang berekspresi terkejut karena Raefal yang tengah menempelkan bibirnya di pipiku.
Aku terkekeh geli saat kupandangi foto ini. Ternyata dia masih menyimpannya padahal sudah 8 tahun berlalu ketika kami mengambil foto ini.
Aku hendak mengembalikan foto ke dalam amplop, tapi kuurungkan. Aku menyadari ada tulisan di belakang foto.
‘SAAT KAMU MELIHAT WAJAHKU DI FOTO INI. SAAT ITULAH KAMU SEDANG MELIHAT EKSPRESI PRIA YANG SEDANG JATUH CINTA.’
Aku membekap mulut, iya aku melihatnya. Melihat wajah Raefal yang memerah saat mencium pipiku. OK, kini aku tahu sejak kapan dia mulai mencintaiku karena selama ini dia tak pernah menjawabnya setiap kali aku bertanya.
Saat kami mengambil foto ini, kami masih berstatus sebagai teman. Kuingat baru sekitar dua bulan kami dekat saat itu. Dekat dalam artian sebagai teman sesungguhnya, bukan hanya sekedar teman sekelas.
Kugenggam foto itu erat ketika aku melanjutkan langkah mengikuti lilin-lilin yang menuntunku.
Ketika kulihat lilin itu berhenti di sebuah pohon belimbing kali ini. Kembali kutemukan sebuah amplop diikat di salah satu dahan pohon. Bergegas kuambil amplop itu dan melihat isinya.
Sama seperti tadi, aku kembali menemukan sebuah foto. Foto ketika aku dan Raefal sedang makan bersama di sebuah restoran sky dining. Aku sedang memegangi sebuket bunga mawar merah bersama Raefal yang tengah tersenyum lebar di sampingku. Wajah kami saling menempel dalam foto ini, terlihat bahagia, terlihat seperti pasangan yang sedang dimabuk cinta.
Aku membalik foto, ada tulisan Raefal kutemukan di belakang foto seperti tadi.
‘KALI INI KAMU LAGI LIHAT EKSPRESI WAJAH PRIA YANG LEGA KARENA PERNYATAAN CINTANYA DITERIMA.’
Aku terkekeh, iya benar ... saat kami mengambil foto ini merupakan hari di mana kami resmi berpacaran.
Masih ada beberapa lilin yang harus kuikuti. Sepertinya itu lilin-lilin terakhir karena setelahnya aku tak melihat cahaya lagi.
Aku pun kembali berjalan mengikuti lilin, dan berhenti melangkah tepat di lilin terakhir. Kutemukan sebuah amplop tergeletak kesepian di atas rumput. Bergegas kubuka amplop itu, sudah tak sabar ingin melihat isinya.
Tak ada foto yang kali ini kutemukan di dalam amplop, hanya ada secarik kertas di mana di dalamnya tulisan Raefal tercantum jelas.
‘KAMU MAU LIHAT EKSPRESI WAJAH PRIA YANG LAGI BAHAGIA GAK? KALAU MAU, CUKUP JAWAB AJA PERTANYAAN INI YA.’
Setelah kubaca tulisan itu, tiba-tiba saja cahaya menyilaukan mataku. Cahaya yang berasal dari dinding pagar halaman belakang rumahku yang kini berdiri kokoh tak jauh dariku. Entah sejak kapan ada lampu-lampu kecil yang dipasang di sana. Lampu-lampu itu mati pada awalnya dan kini tengah menyala dengan terangnya sehingga aku berhasil menemukan hal luar biasa tertempel di dinding pagar.
Ada sebuah foto berukuran seperti poster ditempel di sana. Foto beberapa orang yang sedang berdiri di Great Wall of China tengah memegangi beberapa huruf. Ada beberapa orang yang tampak familiar di foto itu, aku tahu mereka rekan kerja Raefal. Kutebak mereka mengambil foto ini pasti saat mereka berkunjung ke China kemarin.
Mataku tak kuasa menahan tangis saat membaca kalimat yang terbentuk dari huruf-huruf itu.
‘WILL YOU MARRY ME?’
Detik itu juga aku lari meninggalkan halaman belakang rumahku. Sebelum melewati pintu tanpa sengaja ekor mataku menangkap dua orang yang sedang mengintip seraya tersenyum lebar. Mereka ART dan penjaga kebun rumahku. Sekarang aku tahu darimana Raefal mendapatkan bantuan untuk membuat semua kegilaan ini.
Aku bergegas menuju kamarku. Kuraih ponsel dan sudah tertebak apa yang kulakukan setelah itu, bukan? Karena bisa dilihat sekarang aku berstatus sebagai istri sah seorang Raefal Shahreza.
Flashback Off.
“Mom ... Mom ... Mommy!!”
Aku tersentak luar biasa terkejut. Suara melengking dari putraku yang berteriak nyaring membawa kesadaranku yang tengah melanglang buana ke masa lalu akhirnya kembali ke masa kini.
Aku terkekeh mendapati putraku tengah merajuk disertai kedua alisnya yang mengernyit tajam, mengingatkanku pada Raefal. Raffa memang duplikat suamiku, mereka sangat mirip.
“Kenapa, Sayang?” tanyaku seraya kuusap lembut kedua alisnya agar kernyitan itu menghilang.
“Mommy melamun ya?” tanyanya.
“Nggak kok. Mommy gak melamun.”
“Bohong! Buktinya aku panggil dari tadi gak nyahut-nyahut. Iya, kan, Pak?”
Aku menoleh ke arah sopir taksi yang diajak bicara oleh Raffa. Tersenyum kikuk mendapati Pak Sopir sedang tersenyum padaku.
“Sudah sampai, Bu,” kata sang sopir.
Aku pun menoleh ke samping, dan benar saja ... bangunan bertingkat lima yang merupakan kantor tempat suamiku bekerja, kini berdiri menjulang tinggi di hadapanku.
“Iya, Pak. Terima kasih,” sahutku.
Aku membayar ongkos kami, lalu bergegas keluar dari taksi. Kuulurkan tangan untuk membantu Raffa turun dari taksi.
Tatapanku kini tertuju sepenuhnya pada kantor suamiku. Tempat awal penyelidikanku untuk membuktikan benarkah suami romantisku itu selingkuh di belakangku?

Komento sa Aklat (21)

  • avatar
    AthallahAthif

    bagus

    25/08

      0
  • avatar
    Hamira Hamade

    Ceritanya berhasil buat aku emosi dan akhirnya tersenyum sendiri 😂

    02/08

      0
  • avatar
    gaming 20rafa

    oky

    25/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata