logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter Four

Flashback On,
“Baru pulang ya? Gimana kegiatan kamu hari ini?”
Suaranya mengalun dari balik ponsel yang sedang aku tempelkan di telinga, suara kekasihku ... Raefal yang sudah 2 minggu lamanya tidak kutemui. Dia pergi ke Tianjin, China, untuk mewakili perusahaan tempatnya bekerja menerima penghargaan.
Lagi-lagi membuatku bangga padanya. Bisa dibayangkan dari sekian banyak karyawan yang bekerja di perusahaan itu, Raefal-lah yang terpilih untuk terbang ke China menerima penghargaan itu. Padahal jika kuingat-ingat kembali, baru sekitar satu setengah tahun dia bekerja di perusahaan itu.
Ternyata talenta dan kecerdasan tak akan menipu hasil. Meskipun terhitung sebagai pekerja baru tapi jika kemampuannya bisa diandalkan oleh perusahaan, tentu bukan sesuatu yang mustahil para pekerja senior pun bisa dikalahkan olehnya.
“Indira,” panggilnya, aku tersenyum tipis saat menyadari betapa bodohnya aku, saat sedang bertelepon ria seperti ini pun masih bisa-bisanya aku melamun.
“Maaf, ada yang aku pikirin barusan,” jawabku, mencoba untuk jujur.
“Mikirin apa? Pasti mikirin aku ya? Kamu kangen sama aku?” tanyanya bertubi-tubi dan terdengar menyebalkan karena dia terlalu percaya diri. Diam-diam aku terkekeh di sini.
“Kapan kamu pulang ke Indonesia?”
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan daripada harus meladeni dirinya yang pasti akan semakin besar kepala jika tahu aku memang merindukannya di sini.
“Hm, aku udah ada di Indonesia kok.”
“Haah? Serius?” Aku terpekik kaget. Jika dia benar sudah pulang ke Indonesia, kenapa dia tidak memberitahuku?
“Iya, aku udah di Indonesia. Baru nyampe kemarin sore.”
“Kenapa gak ngasih tahu?”
“Sengaja, buat kejutan. Kamu udah di rumah kan sekarang?”
Aku mengerucutkan bibir, kesal karena sikapnya yang sering seperti ini. Diam-diam melakukan sesuatu tanpa memberitahuku terlebih dahulu.
“Kamu kebiasaan kayak gitu. Aku gak suka ya kamu nyembunyiin sesuatu dari aku kayak gini,” ucapku sedikit ketus, sengaja agar dia menyadari perasaanku yang sedang jengkel padanya. Kudengar dia terkekeh di seberang sana.
“Bukan kejutan namanya kalau ngasih tahu dari awal udah pulang ke Indonesia,” jawabnya.
“Aku gak suka kejutan-kejutan kayak gini. Aku lebih suka kamu ngomong jujur sama aku. Ngasih tahu semua kegiatan kamu sama aku. Aku juga gitu kok, semua kegiatan aku sehari-hari suka aku ceritain sama kamu.”
Dia kembali terkekeh di seberang sana, sukses menyulut emosiku semakin naik ke permukaan.
“Aku males kalau kamu kayak gini. Kebiasaan gak bilang-bilang kalau ada apa-apa.”
Aku hendak memutuskan sambungan telepon, jika saja suara lirihnya tak tertangkap indera pendengaranku.
“Maaf, aku gak akan nyembunyiin apa-apa lagi dari kamu,” katanya. Aku memicingkan mata di sini tanpa sepengetahuannya.
“Janji dulu, mulai sekarang kalau ada apa-apa kamu langsung cerita sama aku. Jangan ada yang disembunyiin apalagi dirahasiain. Langsung cerita kalau punya masalah. Kita harus saling berbagi, itu fungsinya menjadi pasangan,” ujarku panjang lebar.
“OK, Sayang. Aku janji.”
Aku pun tersenyum puas mendengarnya.
“Sekarang kamu ada di mana?”
“Coba tebak di mana?” Dia bertanya balik padaku dengan nada suara jahilnya. Aku memutar bola mata malas.
“Jangan bilang kamu lagi di rumah aku. Kamu lagi ngumpet ya di salah satu ruangan di rumah aku?”
Kulangkahkan kaki menelusuri rumahku. Membuka satu demi satu pintu ruangan yang berjarak paling dekat dengan tempatku berada.
“Raefal,” panggilku karena tak terdengar lagi suaranya di seberang sana meski setelah kupastikan telepon masih tersambung.
“Kamu beneran lagi sembunyi di rumah aku? Cepet keluar, candaan kamu gak lucu. Gak lucu sama sekali, nyebelin malah. Aku gak suka main kucing-kucingan kayak gini.”
Aku menggerutu sedangkan kakiku tak hentinya melangkah dan tanganku tak hentinya membuka satu demi satu pintu ruangan di rumahku. Tapi sosoknya tak kutemukan di mana pun.
“Coba sekarang kamu pergi ke kamar kamu,” katanya, akhirnya kembali menyahut.
Sudah kuduga, dia memang sedang bersembunyi di rumahku. Sungguh ini sama sekali tidak lucu.
Aku menuruti perkataannya, aku bergegas menaiki tangga menuju kamarku yang terletak di lantai dua.
“Aku bakalan pukul wajah kamu ya bentar lagi. Ini aku udah berdiri di depan pintu kamar.”
“Kalau mau mukul, kenapa harus bilang dulu? Kamu lucu banget. Harusnya pukul aja langsung gak usah bilang-bilang dulu supaya aku kaget. Gak seru dong kalau aku keburu tahu kamu mau mukul aku. Gimana kalau aku kabur sebelum kamu bisa mukul aku?”
“Ck, berisik. Kamu nyebelin,” sahutku jengkel karena di seberang sana dia sedang menertawakanku.
Tanpa membuang waktu lagi, aku pun membuka pintu kamar. Bersiap-siap melontarkan makian pada kekasih jahilku itu. Namun, tak kutemukan sosoknya di dalam kamar. Kamar itu kosong seperti biasanya karena hanya aku yang boleh masuk ke kamar ini.
“Kamu kok gak ada di kamar aku? Kamu sebenarnya ada di mana?”
OK, aku mulai geram sekarang. Raefal sepertinya benar-benar sedang menjahiliku.
“Kamu nyalain radio. Kamu bakalan denger suara aku bentar lagi.”
Setelah itu sambungan telepon terputus, dia memutuskannya sepihak. Aku menggerutu memandangi layar ponsel. Meski hatiku kesal bukan main dengan permainan konyol pacarku ini, tapi toh aku tetap mengikuti perkataannya.
Kunyalakan radio di kamar. Membiarkan musik mengalun dari station radio favoritku. Sudahkah aku mengatakan bahwa aku memiliki hobby mendengarkan radio? Entah itu mendengarkan musiknya atau acara-acara lainnya yang disiarkan di station radio kesayanganku ini. Karena itu, begitu kunyalakan radio akan langsung terhubung dengan station radio kesayanganku itu.
Aku melemparkan tas selempang ke atas kasur. Membuka kardigan yang membungkus tubuhku, kubiarkan tubuhku hanya terbungkus kaos tanpa lengan dan celana jeans biru tua yang super ketat ikut membungkus kakiku.
Aku baru pulang dari rumah sakit. Setelah lulus kuliah keperawatan, aku memutuskan untuk bekerja. Terhitung sudah hampir satu tahun aku bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit di Jakarta.
Ketika kupikir tidak ada salahnya aku merebahkan diri di kasur empukku sejenak untuk menghilangkan rasa lelah sebelum aku pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri, aku tersentak kaget saat mendengar suara Raefal.
Ya, aku sangat yakin baru saja mendengar suaranya, bukan di kamarku, bukan pula di telepon melainkan ... dari radio.
Cepat-cepat aku melangkah menjauhi ranjang, beralih menduduki kursi yang kuletakan tepat di dekat radio.
Setelah kuperhatikan lagi, benar suara Raefal terdengar di radio. Sepertinya dia sedang mengikuti acara wawancara di sana. Mungkinkah pacarku itu sedang ada di studio radio? Sepertinya dia memang ada di sana mengingat acara talkshow ini memang acara live.
Awalnya kudengar mereka membahas tentang bisnis, tentang penghargaan dari China yang diterima perusahaan tempat Raefal bekerja. Hingga kini mereka mulai membahas tentang kehidupan pribadi seorang Raefal Shahreza. Aku di sini masih setia mendengarkannya, tetap duduk di kursi yang kuletakkan tepat di depan radio.
“Kamu udah punya pacar?”
Pertanyaan yang ditujukan host pada Raefal terdengar mengalun. Jantungku entah kenapa berdetak lebih cepat dari biasanya saat untuk beberapa detik suara Raefal tak terdengar, seolah dia ragu untuk menjawabnya.
“Udah.”
Aku pun mengembuskan napas lega begitu jawabannya akhirnya bisa kudengar.
“Udah lama kalian pacaran?”
“Hm, lumayan. Kita berdua udah pacaran sejak masih kelas 3 SMA. Bisa dibilang ini tahun ketujuh kami pacaran.”
“Woow ... itu sih lama banget. Kok bisa langgeng gitu ya? Kasih tahu dong rahasianya. Pasti pemirsa di rumah juga pengen dengar.”
Aku meneguk saliva mendengar pertanyaan sang host, lebih tepatnya penasaran ingin mendengar jawaban Raefal.
“Intinya harus menjaga kepercayaan. Kalau kita saling percaya, mencoba saling memahami kondisi masing-masing, pasti hubungan akan langgeng.”
Tanpa sadar aku menganggukan kepala, setuju dengan jawaban brilian Raefal.
“Dia tipe cewek kayak gimana?” Sang host kembali bertanya. “Pasti dia cantik banget ya?” lanjutnya.
Lagi-lagi aku yang merasa gugup menantikan jawaban Raefal. Bisa dibilang inilah pertama kalinya aku mendengar pendapat Raefal tentangku di hadapan banyak orang.

Komento sa Aklat (21)

  • avatar
    AthallahAthif

    bagus

    25/08

      0
  • avatar
    Hamira Hamade

    Ceritanya berhasil buat aku emosi dan akhirnya tersenyum sendiri 😂

    02/08

      0
  • avatar
    gaming 20rafa

    oky

    25/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata