logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Part 6

Namun anehnya, ia begitu tampak biasa saja.
Jangankan berkata 'HAH' ekspresi terkejut pun tak tampak timbul di wajah nya.
Menurutku, dia tipe orang yang tidak terlalu banyak bicara. Bilamana ia berbicara, maka itu hanya seperlunya saja.
"Jadi..selama ini kamu sering mengonsumsi makanan dan minuman seperti daging babi, bir, atau yang lainnya?"
Mengapa dia menanyakan hal ini padaku?
Sungguh pertanyaan yang sangat konyol fikirku.
"Sementara waktu ini, saya tidak pernah mengonsumsi makanan yang minimal nya tidak membahayakan kesehatan tubuh saya"
"Sebentar, sementara waktu?
Itu artinya, kamu masih berharap bisa menemukan sesuatu bukan?"
Aku kembali dibuat bungkam olehnya, kata demi kata yang ia ucapkan, seolah-olah menjadi gambaran hati dan perasaanku selama ini.
Ia bukan peramal, bukan juga dukun.
Tapi mengapa ucapan nya seperti bisa memprediksi keadaan hati dan perasaanku?
Bagaimana mungkin?
Pelayan itu pun kembali mendatangi meja dengan membawa sebuah nampan berisikan menu hidangan yang tadi aku dan Pak Tio pesan.
Aku sedikit meliriknya sebal karena kejadian tadi, pelayan cafe itu cukup membuatku malu di depan Pak Tio.
Tapi..beruntungnya pelayan itu datang tepat waktu, jadi aku tak perlu menjawab pertanyaan Pak Tio tadi.
Aku menghembuskan nafasku sambil tangan ku sedikit mengusap dada.
Pak Tio mempersilahkan aku untuk segera menyantap makanan yang ada di atas meja kami.
Aku mengangguk sembari tersenyum, lalu memutar-mutar garpu ku pada mie ramen kemudian melahap kan nya ke dalam mulut ku.
Aku melihat Pak Tio tidak langsung menyantap makanannya, mata nya terpejam sambil mulut nya berkomat-kamit seperti merapalkan sesuatu.
Ia mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah nya.
Lalu, barulah setelah itu ia menyantapnya dengan perlahan.
Aku kembali melanjutkan makan ku dan tak ingin memikirkan hal yang lebih jauh tentang nya.
"Maaf Pak saya..pernah membaca sebuah kalimat pada halaman terakhir novel itu.
'Akan sangat rugi bagi mereka diluar sana yang tak mengenal tuhannya, sungguh bagiku itu adalah kerugian terbesar dalam hidup'
Kalimat itu..maksudnya apa yah?"
Pak Tio sejenak menghentikan makan nya, ia menatap bingung ke arah ku.
Ia meletakan sendok dan garpunya pada piring yang berisikan nasi goreng seafood.
Ia menghela nafasnya sejenak, dan menyandarkan punggung nya pada kursi.
"seperti ini
Diibaratkan seseorang itu adalah rumput liar yang tertanam di tanah.
Tanpa ada yang merawatnya, maka ia akan tumbuh disembarang tempat. Dan tanpa dirawat dengan layak, ia akan mati begitu saja,"
Aku sangat merasa tertampar dengan jawaban Dosen ku yang cukup mendalam makna nya.
Memang hanya digambarkan dengan sebuah pengibaratan, namun aku cukup memahami nya dan tak perlu memintanya untuk menjelaskan lebih jauh.
Perasaan ku menjadi gundah. Dan terkadang, rasa sesal pun selalu menjadi yang utama hinggap di hati ku.
Aku terkadang selalu memikirkan alur hidup ku yang begitu tak beraturan.
Masalah yang kian tak berujung, dan bahagia yang tak cepat-cepat datang menyapa.
"Seseorang yang jauh dari tuhan nya, ia akan selalu mendapat kesialan hidup. Apalagi yang tak mempercayainya sama sekali,"
Tak terasa jam tanganku sudah menunjukan pukul 02.37.
Pak Tio telah pamit kembali ke kampus untuk melaksanakan rapat nya dengan dosen yang lain.
Sementara disini, aku begitu kesepian.
'Apakah ini yang dinamakan hidup?
Pahit manis selalu menjadi bumbu utamanya.
Alur cerita yang kian rumit menjadi sebuah pelajaran untuk kita bisa hidup lebih baik lagi'
"Lin?"
Suara seorang laki-laki yang cukup membuyarkan lamunanku.
Aku segera menoleh ke belakang dan mendapati Fikri yang tengah berdiri di belakangku.
Ia mengenakan hodie hitam bertupluk dengan celana panjang berwarna cream.
Tubuh nya yang melebihi tinggi badan ku, dan kulit nya yang berwarna kuning langsat dengan rambut rapih yang tersisir ke arah kiri.
Bibir nya yang sensual dan hidung nya yang mancung juga alis nya yang sedikit tipis, menjadi pusat keindahan laki-laki itu.
Ia kemudian duduk di kursi yang tadi Pak Tio tempati. Ia hanya memesan secangkir ice cofe tanpa memesan menu makanan yang lain nya.
Ia juga sempat menawariku, namun aku menolak nya dengan sopan.
"Eh lin, udah kumpulin tugas dari Pak Ferdian belum?" tanyanya yang membuka pembicaraan.
"Ehh...eee udah, kamu?" tanya ku kembali
Fikri hanya menggelengkan kepala nya sambil terlihat sedikit lesu.
Ia hanya menjelaskan bahwa tugas yang diberikan oleh Pak Ferdian, cukup menguras otaknya, ia lebih memilih untuk tidak segera mengerjakannya.
Aku hanya terkekeh mendengar mendengar setiap cerita-cerita nya yang menurut ku itu cukup lucu.
"Mmm Fik, sebenarnya..
Seberapa berharga Tuhan di mata kamu?"
Pertanyaan ku cukup membuat Fikri yang tengah meminum kopi nya menjadi tersedak.
Aku mengambilkan tisu untuknya.
Sejujurnya, menanyakan hal ini pada fikri adalah kunci membuka kepribadian ku sebenarnya.
Namun aku hanya berharap, aku bisa mendapat jawaban yang tepat dari nya.
"Buat aku..
Tuhan adalah segala nya.
Dia adalah titik pusat tujuan hidupku selama ini. Dia satu-satu nya seseorang yang tidak pernah meninggalkan ku dalam keadaan terpuruk sekalipun.
Aku bebas meminta apapun darinya, menangis dalam sujudku untuk menyampaikan keinginanku.
Dia adalah skenario yang mengatur tata alur kehidupanku.
Yah malah curhat kan?
Emang nya kenapa sih?"
"Ahh enggak, ini mau dijadiin ide buat novel yang mau aku terbitin bulan depan,"
"Ohh gitu.
Wahh hebat lin
Boleh dong nanti novel nya satu,"
Untungnya, jawaban ku mampu mengalihkan fikiran Fikri dan sama sekali tidak mencurigaiku.
"Oke siap, nanti kalo udah terbit aku kasih kamu satu,"
"Yesss,"
Perbincangan ku dengan Fikri, teman kuliah ku cukup mengasyikkan ternyata.
Ia laki-laki yang menurutku...
Sederhana, namun setiap kata yang diucapkan mulutnya, mampu menyihir si pendengarnya.
Aku semakin bersemangat saat ia bercerita tentang masalah hidup nya dan kondisi yang ia alami sekarang.
"Intinya, jangan pernah mencari sesuatu yang belum begitu kamu niatkan.
Cari keinginanmu terlebih dahulu, lalu sampaikan pada sang pembuat kehidupan.
Minta izin kamu untuk bisa merasakan suasana yang kamu harapkan itu,"
Setelah cukup lama kami bercerita, dia menawarkan diri untuk menghantarkanku pulang.
Aku kemudian menyetujuinya dan tak lupa mengucapkan trimakasih pada nya.
"Aku sempat melihat mu dengan Pak Tio di cafe tadi?"
Aku segera menoleh pada Fikri.
Aku hanya menjawab jujur dan mengatakan bahwa aku hanya kebetulan bertemu dengan nya.
Fikri pun menerima jawaban ku dan tak tampak begitu mencurigaiku.
Ia kembali fokus dengan setir nya.
Tak lama setelah itu, sampailah kami di halaman depan rumah ku yang bertingkat dan begitu megah bernuansa putih.
Rumah itu di design khusus arsitekur belanda yang bernama Mr. Lee, teman SMA ayah ku dulu uang berprofesi sebagai Arsitek.
Taman kecil namun sangat rapi yang terletak di bagian samping depan rumah ku, dengan di dalam nya terdapat bunga dan tanaman yang didominasi hijau.
Rumput hijau yang terhampar rapi bagai permadani yang menghiasi taman itu.
Serta kolam untuk ikan koi yang terletak di sebelah kanan depan rumahku.
Mulai dari penataannya, semua itu di atur oleh Mr. Lee.
Dulu... ia sering mengunjungi rumah ku.
Namun, setelah beberapa tahun terakhir ini, ia sangat jarang bertemu dengan ayahku.
Bahkan, kedatangannya ke rumahku bisa dihitung oleh jari.
Fikri pun sempat tertegun dengan kondisi halaman dan rumah ku yang cukup megah dan mewah.
Dari pintu utama, Kak Fian mengamati aku dan Fikri dari kejauhan.
Ia kemudain menghampiri kami berdua.
"Fikri?"
Kak Fian ternyata mengenali Fikri, ia mengajak berbicara sebentar pada Fikri dan telah menyisihkan aku.
Aku kemudian berpamit pada mereka berdua untuk duluan memasuki rumah.
Sementara mereka, hanya terlihat sibuk dengan obrolan nya yang tampak begitu mengasyikkan.
Aku menghentakan kaki ku dan langsung masuk ke dalam rumah dengan sedikit membantingkan pintu.
Aku berdecak kesal, tapi untunglah
Kak Fian tidak memarahiku yang telah pulang terlambat.
Aku sudah mengganti baju ku hanya dengan kaos putih pendek bertuliskan UNDERSTAND dan celana jeans pendek se lutut.
Aku menikmati secangkir lemon tea dan kue nastar di atas meja depan sambil menonton kartun favorite ku di saluran tivi.
Kak Fian kini kembali, nampaknya...
Dia sudah selesai berbincang dengan Fikri, teman kuliahku di kampus.
Ia duduk di samping ku sambil menyeruput kopi nya yang telah dingin.
"Kak Fian kenal sama Fikri?" tanya ku tanpa menatap wajah kak Fian.
Rupanya, Fikri Indra Gunawan adalah karyawan perusahaan WESTERLY GROUP milik Ayahku.
Dia bekerja sambil kuliah untuk memenuhi kebutuhan hidup nya selama ia tinggal di jakarta untuk menempuh pendidikan.
Aku membenahkan posisi duduku menjadi menghadap padanya, aku merasa tertarik dengan cerita kakak ku tentang Fikri.
Menurut kakak ku, dia adalah seorang karyawan yang cukup gigih serta efisien dalam bekerja.
Terkadang, ia selalu pulang malam hanya untuk menyelesaikan pekerjaan nya sebagai seorang karyawan perusahaan.
Aku semakin tertarik mendengar ceritanya. Namun yang anehnya, Fikri tidak menceritakan hal ini pada saat kami bertemu tadi siang di cafe.
Jujur, aku merasa malu dengan keprihatinan Fikri sebagai seorang mahasiswa yang rela kuliah sambil bekerja.
Sementara aku? hanya tinggal kuliah tanpa memikirkan biaya untuk aku hidup.
Seseorang yang tidak mengenal tuhan, ia di ibaratkan seperti rumput liar yang tumbuh di sembarang tempat.
Bila tidak ada yang merawat, maka ia akan mati begitu saja``).

Komento sa Aklat (135)

  • avatar
    MaadHusnu

    SERU POLL

    1d

      0
  • avatar
    dariturnipwulan

    bagus

    10d

      0
  • avatar
    Piona Piona

    bagus

    11d

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata