logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 2 Dua Masa Berbeda

Masa Kini....
Megan terbangun dengan peluh yang membasahi dahinya. Ia menyibakkan selimut lalu meraih alarm dari atas nakas. Pukul tujuh pagi. Artinya tinggal tersisa waktu dua jam lagi untuk bersiap-siap ke kampus.
Dengan kesal Megan turun dari tempat tidur. Degup jantungnya masih belum beraturan akibat memimpikan hal yang sama. Tubuhnya juga terasa pegal, seolah ia baru berlari puluhan kilometer. Dan ini semua terjadi hanya karena sebuah mimpi.
"Ada apa denganku? Kenapa aku memimpikan gadis itu lagi? Apa aku terlalu banyak membaca novel sehingga otakku jadi terganggu," pikir Megan kesal.
Enggan membuang waktu, Megan pergi ke kamar mandi. Ia mengisi bathtub dengan air hangat lalu menuangkan sabun aroma terapi.
Perlahan Megan membuka piyama tidurnya dan turun ke dalam bathtub berbentuk oval. Berendam sebentar akan menenangkan pikirannya. Kamar mandi ini memang dirancang khusus untuk memanjakan gadis cantik seperti dirinya.
Siapapun akan setuju jika Megan Daverson adalah perwujudan sosok putri kerajaan di zaman modern. Semua yang ada pada dirinya akan membuat gadis manapun merasa iri.
Parasnya begitu menawan dengan bibir merah merekah, bola mata sebiru lautan dan bulu mata lentik yang berjajar. Ditambah rambut coklat keemasan yang tergerai panjang membingkai wajahnya. Tubuh rampingnya memiliki lekuk yang pas di setiap bagian. Sudah dipastikan naluri kaum adam akan meronta-ronta bila melihat penampilan Megan.
Puas berendam, Megan beranjak dari bathtub. Ia mengelap kulitnya yang halus dan sebening salju dengan handuk tebal berwarna putih. Megan menggunakan bathrobe lalu berjalan menuju ke lemari baju.
Saat lemari berpintu empat itu terbuka, terpampanglah sederetan baju yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagai putri tunggal CEO Skyland, Megan sanggup membeli ratusan baju bermerk. Bahkan jika mau, ia bisa mengganti bajunya hanya dalam waktu satu jam.
Megan menyibak koleksi baju dan gaunnya. Sejenak ia memikirkan mana yang akan dipakainya untuk mengikuti kelas akuntansi manajemen hari ini.
Setelah menimbang-nimbang, Megan memilih blouse berwarna caramel dipadu dengan celana jeans biru tua.
Selesai berpakaian, Megan mulai merias wajahnya. Ia punya kemampuan di atas rata-rata dalam hal make up. Kerap kali Megan memamerkan bakatnya ini melalui unggahan video di sosial media. Tak heran bila Megan memiliki banyak follower di dunia maya.
"Sudah selesai. Tinggal menyisir rambut," gumam Megan puas dengan riasan wajahnya.
Sebelum meninggalkan kamar, Megan mengambil tas yang berwarna senada dengan bajunya. Kemudian ia melangkahkan kaki jenjangnya ke ruang makan.
"Pagi, Nona. Sarapannya sudah siap," sapa Carla pelayan setia keluarga Daverson.
"Carla, dimana Daddyku? Sudah berangkat ke kantor?" tanya Megan sembari meminum segelas jus lemon.
"Iya, Nona. Tuan mengatakan hari ini ada rapat penting dengan investor, jadi harus berangkat pagi-pagi."
Megan hendak mengambil sepotong sandwich yang disajikan Carla, tapi ponsel di dalam tasnya berdering nyaring.
"Megan, kamu dimana? Dari tadi Felix membuntuti kami. Dia menanyakanmu terus," ucap Gillian dari balik telpon.
"Calm down, Baby. Aku sedang sarapan. Sebentar lagi ke kampus."
"Please, jangan lama-lama. Aku dan Gilian merasa risih diikuti oleh Felix. Sepertinya dia sudah tergila-gila padamu sehingga hilang akal," tambah Emma.
"Okey, biar aku yang menangani Felix," jawab Megan menutup panggilan dari sahabatnya.
"Carla, apa mobilku sudah siap? Aku harus berangkat sekarang," tutur Megan. Ia sudah tidak sabar membuat Felix menjauh dari dirinya. Felix pemuda yang cukup tampan dan merupakan pewaris kekayaan Smith Corp. Namun sayang sekali, playboy bodoh seperti Felix bukanlah tipenya.
"Sudah, Nona."
"Sampai jumpa nanti sore, Carla," kata Megan berdiri dari kursinya.
Dengan tergesa-gesa, Megan menuju ke pintu depan. Matanya mengarah ke layar ponsel untuk membaca obrolan di grup mahasiswa. Megan tidak menyadari kehadiran seorang pria yang sedang berjalan berlawanan arah dengannya.
Tubuhnya pun berbenturan cukup keras dengan dada bidang pria itu. Karena bersentuhan langsung, Megan bisa mencium aroma parfum musk yang digunakan pria tersebut.
"Aduh, hati-hati!" hardik Megan mendongakkan kepalanya. Matanya beradu pandang dengan manik abu-abu gelap yang menghanyutkan.
Semula Megan ingin melotot, namun wajah tampan pria itu membuat kemarahannya mereda.
"Maaf, Nona Megan, seharusnya Nona yang berhati-hati. Jangan berjalan sambil bermain ponsel," ucap Liam tenang.
Dalam hati Megan mengumpat arsitek muda itu. Bukannya meminta maaf, Liam justru berani menceramahinya. Baru tiga bulan Liam menjadi asisten ayahnya, namun lelaki itu sudah besar kepala. Untung saja ia berwajah tampan dan bertubuh atletis. Kalau tidak, ia pasti akan menyuruh sang ayah untuk segera memecatnya.
"Seharusnya aku yang bertanya kenapa kamu ada di rumahku?" tanya Megan menaikkan suaranya.
Senyuman tipis tersungging di sudut bibir Liam. Dan sialnya senyum itu membuat ketampanannya makin bertambah. Sesaat Megan bagai tersihir, tapi ia segera menguasai diri.
Seorang Megan Daverson tidak akan takluk di bawah kuasa pria manapun. Yang terjadi selama ini justru para pria yang rela mengemis cinta padanya. Sementara dengan kejam ia akan mencampakkan mereka satu per satu. Hingga detik ini, belum ada pria yang pantas untuk menjadi kekasihnya.
"Saya kesini karena diperintahkan Tuan Andrew untuk mengambil berkas yang tertinggal. Tidak mungkin Tuan Andrew meminta Nona yang membawakan, karena Nona pasti tidak tahu," sindir Liam.
"Jangan menghinaku. Aku mengetahui semua tentang pekerjaan ayahku. Aku bahkan lebih pintar darimu!" sentak Megan. Ia merasa Liam sudah melewati batas karena berani mengejeknya.
"Lebih baik Nona berangkat ke kampus daripada berdebat dengan saya. Nanti Nona terlambat. Saya permisi," kata Liam melangkah pergi ke ruang kerja bosnya.
Megan mengepalkan tangan. Seandainya waktunya masih panjang, ia ingin memberi pelajaran pada pria menyebalkan ini. Tapi sekarang ia harus menundanya dulu demi melakukan hal yang lebih penting.
****
Kedatangan Megan di kampus selalu menarik perhatian para mahasiswa. Tak terkecuali hari ini, dimana ia sukses membuat teman-teman sekampusnya berdecak kagum.
"Akhirnya kamu datang juga," sambut Gillian senang.
Lengan Megan diapit oleh kedua sahabat baiknya, Gillian dan Emma. Kedua gadis itu ibarat dayang setia yang menyanjung dan mengikuti tuan putrinya kemanapun ia pergi.
"Meg, Felix menunggumu di cafetaria," bisik Emma.
"Don't worry. Kita akan kesana sekarang," balas Megan penuh percaya diri.
Ketiga gadis itu berjalan beriringan menuju kantin.
Di tengah jalan, mereka dihentikan oleh empat orang pemuda. Salah satu dari pemuda itu terlihat paling tampan dengan anting hitam yang menghiasi telinganya. Tangan kanannya memegangi sekuntum bunga mawar merah.
Dengan wajah yang siap menaklukkan, lelaki itu berjalan ke arah Megan.
"Good morning, Babe. Mawar merah untuk gadisku yang paling cantik," rayu Felix sambil tersenyum.
Megan memutar bola matanya dengan malas. Entah sudah keberapa kalinya, ia mendapatkan bunga sebagai pernyataan cinta dari pria. Bukannya senang ia justru menjadi muak. Apalagi bila yang memberikannya adalah lelaki cassanova seperti Felix.
"Thank you," jawab Megan menerima mawar merah itu.
Felix tersenyum senang. Sengaja ia meninggikan suaranya agar semua orang di kampus menyaksikan bagaimana dirinya menaklukkan Megan Daverson.
Felix berjongkok di depan Megan, lalu mengulurkan tangannya. Gayanya sudah seperti tokoh utama dalam film romantis.
"Hari ini aku ingin semua orang tahu bahwa aku jatuh cinta padamu. Aku ingin kamu menjadi gadisku. Maukah kamu menerima cintaku, Megan?"
Suasana hening sejenak. Mahasiswa yang lewat buru-buru berhenti karena ingin melihat kelanjutan drama yang diperankan Felix.
Mereka penasaran apakah Felix akan menjadi korban patah hati untuk kesekian kalinya. Pasalnya belum pernah ada pria yang sanggup mendapatkan Megan, sang ratu kampus yang cantik dan berotak brilian.
Senyum remeh tercetak di bibir mungil Megan. Ia tidak ingin berbasa basi terlalu lama dengan pemuda tak berguna ini.
Dengan angkuh, Megan menepis tangan Felix yang masih terulur.
"Maaf, Felix, tapi aku tidak pernah suka padamu. Dengan kata lain aku tidak tertarik sama sekali karena kamu bukan tipeku. Buang saja harapanmu jauh-jauh. Carilah gadis lain yang bersedia menjadi korban cintamu," ucap Megan tanpa perasaan. Ia sudah mengetahui reputasi Felix yang kerap terlibat cinta satu malam.
Ditolak secara terang-terangan, membuat harga diri Felix terkoyak. Wajahnya merah padam karena merasa dipermalukan oleh Megan. Apalagi begitu banyak pasang mata yang memperhatikannya.
Spontan, Felix berdiri sambil menatap nyalang kepada Megan.
"Dengar, Megan, kamu tidak akan menemukan pria yang sempurna seperti aku. Aku tampan, kaya, dan digilai banyak wanita. Seharusnya kamu bersyukur karena aku menginginkanmu," ucap Felix mencoba bersabar.
"Ckckcck, kamu terlalu percaya diri, Felix. Sayangnya kamu punya satu kekurangan, yaitu daya tangkapmu di bawah rata-rata. Aku adalah mahasiswi dengan nilai tertinggi di fakultas akuntansi. Mana mungkin aku berpacaran dengan calon mahasiswa abadi sepertimu," desis Megan.
Ejekan Megan membuat Gillian dan beberapa mahasiswa tertawa geli.
"Beraninya kamu menghinaku, Megan! Kamu pikir cuma kamu satu-satunya gadis cantik di kota ini???" tukas Felix memegang lengan Megan.
Dengan wajah tenang, Megan menghempaskan cengkeraman tangan Felix.
"Aku hanya mengungkapkan kenyataan. Nilaimu selalu buruk karena kamu hanya sibuk mengejar wanita. Saranku belajarlah dengan baik. Wanita melihat pria bukan hanya dari fisik semata atau harta orang tuanya, tapi juga dari otaknya."
Setelah berkata demikian, Megan membuang mawar pemberian Felix ke lantai.
"Ayo girls, kita ke kelas," ajak Megan kepada Gillian dan Emma.
Dengan senang hati, Gillian mengikuti Megan. Namun berbeda dengan Emma. Ia berbalik dan menoleh ke arah Felix, seolah mengasihani pria itu.
"Emma, ayo," ucap Gillian menarik tangan Emma.
"Eh, iya..." jawab Emma gugup.
Darah Felix serasa naik ke ubun-ubun. Ia mengusir semua mahasiswa yang masih berkerumun untuk menatap kegagalannya.
"Pergi kalian! Bubar!!!" hardik Felix.
Ketiga teman Felix merasa prihatin. Mereka berusaha menghibur dan menenangkan amarah pemuda itu.
"Sabar, Felix. Lupakan saja gadis sombong seperti Megan."
Sambil menggertakkan gigi, Felix mengucapkan ikrarnya.
"Aku tidak akan melupakan penghinaan ini! Aku akan membuat Megan menyesal seumur hidup karena berani mempermalukan Felix Smith."
BERSAMBUNG

Komento sa Aklat (54)

  • avatar
    m******n@gmail.com

    this so amazing semangat ya buat nulisnya👍👍👍 ditunggu kelanjutannya

    03/05/2022

      0
  • avatar
    Trivnsymlli

    yes

    24d

      0
  • avatar
    Viina Siagian

    bagus ceritanya

    23/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata