logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

BAB 7 PESAN

Perjalanan menyedihkan bagi Aeera itu akhirnya berakhir, setelah mobil mereka berbelok masuk ke gerbang rumah sakit. Saat Arik hendak memarkirkan mobil, Aeera dan Sandra turun lebih dulu dan langsung menuju ICU.
"Bu, ibu Naya ingin bicara?" ucap Naya pada Sandra yang baru saja tiba.
Sandra mengangguk, lalu meraih pergelangan wanita muda itu dan mengajaknya masuk ke ruangan.
Tinggallah Aeera seorang diri. Berada di tengah-tengah mereka, membuat Aeera terkadang merasa asing sendiri.
.
Sandra masuk ke ruang ICU, dan bersukur dalam hati sebab hanya Sari dan seorang pasien lainnya di sana. Setidaknya, keberadaan mereka tak akan mengganggu pasien lain jika Sandra atau pun Naya tinggal lebih lama di ruangan itu.
Usai memakai jubah khusus, Sandra mendekati ranjang Sari dan tertegun mendapati keadaan sahabatnya yang menyedihkan.
"Mbak," panggil Sari dengan suara lemah. Hanya matanya yang mampu bergerak. Benturan semalam membuat kepalanya belum bisa digerakkan sama sekali.
Sandra mendekat, lalu menggenggam salah satu telapak tangan Sari.
"Aku titip Naya, ya," ucap Sari dengan binar mata penuh harap.
"Ibu ...." Tangis Naya pecah. Wanita muda itu menggeleng.
Sementara Sandra berupaya sekuat mungkin mencegah air matanya.
"Jangan ngomong gitu, Sari. Jangan ngomong gitu. Kamu pasti sembuh. Pasti," ucap Sandra sembari mengusap sudut mata.
Entah mengapa, mengetahui Sari menitipkan Naya padanya mendadak ia seperti terdampar pada puluhan tahun lalu, kala suaminya berkata hal yang sama, sesaat sebelum berpulang. Lelaki itu menitipkan Arik untuk Sandra jaga baik-baik.
"Aku nggak bakal lama. Tolong perlakukan Naya seperti anakmu sendiri, Mbak. Naya nggak punya siapa-siapa selain aku," ucap Sari dengan suara lemah.
Naya melipat lengannya di sisi ranjang, lalu menenggelamkan wajah di sana. Meski Sari begitu egois dalam memperlakukannya, meski Sari kerap memaksakan kehendak atasnya, tapi ia tahu bahwa wanita itu begitu menyayanginya dan hanya berupaya melakukan yang terbaik untuknya.
Usai berbicara dengan Sandra, Sari melepas tautan tangan mereka, lalu membelai kepala Naya yang terpekur di sisi kanannya.
"Nay," panggilnya.
Naya mendongak, memperlihatkan mata dan hidungnya yang memerah. Sari tersenyum, dalam hati ia bersukur telah berhasil membesarkan Naya meski tertatih. Gadis kecil yang dulu sering menangis itu kini menjelma wanita dewasa yang menawan.
"Jangan bandel, ya."
Naya tak menjawab. Ia tak kuasa menahan laju air mata yang terlihat seperti untaian benang di pipinya.
Usai memastikan bahwa tak ada apa pun pesannya yang terlewat, Sari memilih beristirahat. Naya merapihkan selimut bibinya, lalu ke luar menyusul Sandra yang lebih dulu undur diri kala Sari menyampaikan banyak hal pada Naya tadi.
Di luar, Sandra, Arik, Abi dan, Aeera terlihat mengelilingi dokter yang hendak melakukan visit terhadap Sari.
"Semoga perkembangannya terus stabil dan ini akan jadi kabar yang cukup menggembirakan," ucap dokter itu.
Mereka menghela napas lega.
"Nay, kamu pulang istirahat dulu, ya?" ucap Abi kala melihat keadaan Naya yang begitu berantakan.
Naya menggeleng cepat. Ia sungguh tak ingin meninggalkan bibinya barang sejenak.
"Aku di sini aja, Bang. Aku jagain Ibu saja," ucap Naya.
"Bener kata abangmu, Nay. Kamu pulang mandi sama istirahat dulu, ya. Nanti sore ke sini lagi," pinta Sandra membuat Naya tak berkutik. Biar bagaimana pun, ia telah berjanji pada bibinya bahwa akan mematuhi semua perintah Sandra.
Naya menarik napas, lalu mengangguk kecil.
"Rik, antar Naya," pinta Sandra seraya menoleh pada putranya.
Jantung Aeera mendadak berdegup kencang kala mendengar perintah mertuanya. Bahkan, ia masih di sini dan sudah tak dianggap sama sekali. Secepat itukah kasih sayang untuknya menguap? Batinnya.
Sudut hati Aeera menahan nyeri, mengetahui bahwa suaminya akan berada satu mobil dengan calon adik madu tanpa dirinya.
"Aeera, kamu juga pulang, kelarin masakan kita tadi pagi."
Aeera bersorak dalam hati. Betapa ia telah salah sangka pada mertuanya. Aeera paham bahwa mertuanya tahu batasan. Meski Arik dan Naya akan menikah, mertuanya tak mungkin membiarkan mereka berdua-duaan.
.
Di dalam mobil, ketiganya diliputi hening.
Naya duduk di belakang, sedang Aeera duduk di samping Arik yang berada di balik kemudi.
Hingga tiba di depan rumah, Naya melihat para tetangga mereka telah berkumpul.
"Naya, ibumu masuk rumah sakit?"
"Gimana keadaannya?" timpal yang lain.
"Kok bisa?"
Pertanyaan-pertanyaan itu ditanggapi Naya dengan sabar. Ia menjawab satu per satu, lalu meminta para tetangga mendoakan kesembuhan bibinya.
.
Naya berada di sabana yang anginnya berembus pelan. Ia begitu menikmati kesendirian sampai tak sadar langit mendadak gelap. Guntur bersahutan dan kilat menyambar di kejauhan. Kebahagiaan yang sempat dirasakan Naya mendadak berubah menjadi ketakutan.
Langit yang tadi cerah berubah kelam. Meski hujan tak turun dan tak ada lagi petir atau kilat, tapi sesuatu dalam dadanya mendadak hilang. Ia seperti disergap oleh perasaan yang entah.
"Ibu," panggil Naya, sebab dilihatnya punggung ibunya di kejauhan.
Naya berlari mengejar bibinya yang berjalan seperti embusan angin.
"Ibu!" teriaknya, sebab Sari tak juga menoleh.
Sari terus menjauh, hingga meninggalkan setitik cahaya kecil yang tak bisa Naya jangkau. Naya terjatuh, lalu meraung sebab cahaya itu pun mendadak raib.
"Naya."
"Naya, bangun!"
Naya membuka mata dengan sesengguk tangis yang tersisa.
Mimpi. Ternyata hanya mimpi, tapi terasa nyata bagi Naya.
"Naya." Aeera tiba-tiba saja memeluknya erat.
Ada apa? Apa terjadi sesuatu? Batin Naya.
Di luar kamar, dapat Naya dengar bising percakapan banyak orang.
"Ibu," bisik Aeera.
Dipelukan Aeera, Naya menautkan alis. Ia masih berupaya mencerna dengan baik apa yang terjadi.
"Ibumu, Nay," ucap Aeera lagi. Ucapannya lebih jelas, tapi dengan suara bergetar.
Gegas, Naya melerai pelukan dan berlari ke luar kamar.
Di luar, lututnya mendadak lemas. Ia terjatuh karena tungkainya kehilangan kekuatan menopang tubuhnya sendiri.
Bagaimana mungkin ibunya pergi begitu saja? Bahkan ia masih tidur. Bukankah kata dokter kondisinya cukup stabil? Kenapa perempuan itu tak menunggunya?
Naya tergugu dan tak kuasa mendekat pada jenazah yang terbujur kaku di depan sana.
Dalam benak, Naya lalu merangkai kepingan puzzle yang terserak. Apakah selama ini firasat itu telah sampai pada Sari? Sari yang ingin agar Naya segera menikah dengan orang yang tepat. Sari yang akhir-akhir ini selalu berpesan padanya agar menjadi wanita yang tegar, Sari yang senantiasa memberi wejangan soal hidup. Apakah semua itu firasat yang telah dirasakan oleh Sari sendiri? Tapi, kenapa? Kenapa justru Naya berburuk sangka dengan mengatakan Sari terlalu egois?
Meski rasanya seperti disayat, lalu ditikam, lalu dicincang, dan diremuk redamkan, tapi hanya air mata yang keluar dari sudut mata Naya. Tak ada raungan, meski ia begitu ingin.
"Nanti, kalau Ibu meninggal jangan meraung belebihan, Naya. Nanti jalan Ibu akan sulit, "
"Mengapa Ibu bilang begitu? Aku tidak mau Ibu pergi."
"Kematian adalah sesuatu yang pasti, Naya. Tidak ada yang dapat memaju atau mundurkan."
Percakapan-percakapan mereka terngiang di telinga Naya. Membuat tangis pilu keluar dari bibir gadis itu, mematahkan setiap hati yang mendengar.

Komento sa Aklat (400)

  • avatar
    DhimusEko

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    LyAlly

    lanjutkan

    22d

      0
  • avatar
    ProbolinggoKarim

    okk

    13/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata