logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

BAB 5 MAKAN MALAM

Arik, Naya, serta Aeera duduk di ruang tamu dalam diam. Sampai akhirnya suara salam terdengar, membuat tiga jiwa yang dirundung gelisah itu terbebas dan bisa bernapas lega.
"Waalaikumsalam." Naya, Arik, juga Aeera serempak menjawab salam dan menoleh bersamaan ke arah pintu.
Mata Arik membulat menyadari siapa yang datang.
"Abi?" ujar Arik seraya berdiri.
Abi, kakak sepupu Naya, anak tunggal Sari. Sekian detik, lelaki jangkung itu terdiam. Lalu, Abi tak dapat menyembunyikan keterkejutannya kala menyadari siapa yang tengah berdiri di hadapannya.
"Arik!" Abi berseru tak kalah terkejut.
Keduanya berangkulan, lalu menuju teras untuk membicarakan banyak hal. Baik Arik maupun Abi, sama-sama tak peduli pada dua wanita yang saling diam di ruang tamu.
Sepeninggal Arik dan Abi, tinggalllah Naya dan Aeera di ruangan itu. Keduanya benar-benar canggung dan tak tahu harus memulai dari mana. Salah satunya adalah istri sah, sedang yang satunya calon adik madu.
"Tehnya diminum, Mbak." Akhirnya, setelah sekian menit melewati hening, Naya membuka suara.
Aeera mengangguk pelan. "Terima kasih," ujarnya, lalu menyeruput teh yang sudah mulai dingin.
Sesaat setelah menyesap teh, Aeera menimbang dalam benak kalimat yang akan ia utarakan terhadap calon adik madu.
"Jadi ... kamu yang akan menikah dengan Mas Arik?" tanya Aeera pelan dan tenang.
Naya bahkan tak dapat menebak bagaimana isi hati perempuan di hadapannya kala bertanya hal yang telah dia ketahui jawabannya. Naya tidak menjawab. Ia hanya terus menunduk dan kedua tangan saling meremas.
Aeera menarik napas. "Mulai sekarang, saya harus siap-siap untuk berbagi apa pun dengan kamu. Ibu mertua, Mas Arik, juga perhatian dan kasih sayang mereka, denganmu," ujar Aeera lagi. Ia berusaha setenang mungkin mengeluarkan semua isi hati yang bisa saja membuatnya meledak.
"Saya tidak bermaksud masuk dan merusak, Mbak." Kalimat yang diucapkan Naya membuat Aeera mengangguk.
"Saya tau kamu bukan perempuan perusak. Andai saja ... andai saja ... " Aeera menengadah agar genangan dalam matanya tak tumpah. Perempuan itu juga tak sanggup meneruskan ucapannya, sebab rongga dadanya seketika menyempit.
Setelah merasa cukup tenang, Aeera menarik napas. "Saya harap kita bisa jadi teman."
Naya menatap Aeera dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin ada perempuan yang berucap demikian pada perempuan lain yang akan menjadi adik madunya?
"Saya tidak ada pilihan lain selain mengajakmu berdamai," ucap Aeera lagi, seolah-olah tengah meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Naya tersenyum senyum getir. "Maafkan saya, Mbak. Saya tidak bermaksud .... " Kalimat Naya terhenti.
Perempuan itu tiba-tiba saja kehilangan kekuatan kala membayangkan dirinya harus menjadi yang ketiga di antara sepasang kekasih yang saling mencintai.
"Ini juga salah saya yang belum bisa memberi mas Arik keturunan."
Lalu, keduanya terdiam, hingga Sandra muncul dan mengajak mereka makan malam.
"Suamimu mana, Sayang?" tanya Sandra pada Aeera.
"Tadi keluar sama temannya, Bu," jawab Aeera.
Alis Sandra bertaut. "Teman?"
"Bang Abi, Bu. Abang Naya."
Jawaban Naya membuat Sandra tersenyum.
"Kamu lembut sekali, Sayang. Yuk, kita ke dapur," ujar Sandra kepada Naya seraya mengusap kepalanya, lalu memegang pergelangan tangan wanita itu dan membawanya ke dapur.
Aeera merasa jantungnya seperti ditikam sembilu. Ia berhenti sejenak demi meraup udara sebanyak-banyaknya. Perlahan, semua memang akan berubah. Mungkin sekarang baru mertuanya saja, lambat laun suaminya pun pasti demikian. Apalagi jika Naya dan Arik menikah dan memiliki anak, sudah pasti ia akan semakin tersisihkan. Aeera menggeleng berulang kali, mencoba mengenyahkan semua kemungkinan buruk itu dari kepalanya. Namun, sekuat apa pun ia berupaya, kenyataan di depan matanya tak dapat berbohong.
.
Di meja makan, suasana tidak sekaku di ruang tamu. Ada Sandra dan Sari yang saling melempar tawa. Hanya ada empat orang perempuan di meja makan itu, tanpa Arik juga Abi.
"Mereka memang begitu dari dulu, 'kan? Suka lupa waktu kalau main," ujar Sari membuat Sandra tergelak.
"Iya. Mereka main sambil momong Naya," timpal Sandra.
Mendengar pembicaraan dua wanita di hadapannya, tiba-tiba saja Aeera tidak mengenali suaminya. Ia merasa tak mengetahui apa pun tentang masa kecil Arik. Apalagi sejak tadi Naya mengulum senyum kala pembicaraan tentang dirinya dan Arik dimulai. Hal tersebut membuat Aeera merasa asing sendiri.
Mengabaikan resah, Aeera berinisiatif mengambilkan makan untuk ibu mertuanya, sebab sejak tadi acara makan malam belum dimulai.
"Liat aja yang bisa Ibu makan, Sayang," jawab Sandra kala Aeera bertanya ia ingin memakan apa.
Aeera mengangguk dan mulai memilahkan makanan untuk ibu mertuanya.
"Hebat kamu, Mbak, punya mantu pengertian dan Cantik. Nay, nanti kamu harus belajar banyak sama mbakmu. Liat gimana cara dia ngurus mertua," ujar Sari pada panjang lebar, lalu menoleh ke arah Naya.
Naya yang sejak tadi sedikit merasakan kebahagiaan karena mengingat masa kecilnya yang tanpa beban, mendadak kembali murung. Ia tahu bahwa dirinya yang sederhana akan mulai dibandingkan dengan calon kakak madunya yang luar biasa.
Orang-orang memang tak begitu menyadari betapa tak menyenangkannya menjadi perbandingan antara satu dengan yang lain. Seolah-olah apa yang dimiliki wanita lain, akan menjadi aib bila wanita yang lainnya tidak memiliki. Mereka tak pernah tahu bahwa perbandingan-perbandingan kecil itu, bagaimana pun bentuknya, membuat jurang tak kasat mata semakin lebar di antara dua orang itu. Setidaknya, itulah yang Naya rasakan kini.
.
Usai makan malam, Sandra dan Aeera kembali duduk di ruang tamu. Meski keduanya ingin membantu membereskan piring kotor, tapi Sari menolak tegas dan meminta mereka duduk di ruang tamu.
Tinggallah Naya dan Sari di dapur itu.
"Ingat perkataan Ibu, Naya. Jangan malu-maluin keluarga kita. Ibu tidak selamanya bisa jaga kamu, apa lagi abangmu. Bersyukurlah Bu Sandra mau mengangkatmu jadi menantunya meski jadi istri kedua," ucap Sari seraya membantu Naya mengelap meja makan, dengan volume suara dipelankan.
"Kan ada Ardan, Bu. Kenapa Ibu tidak pernah mau menerima dia?" tanya Naya.
Sejak dulu, Naya tak pernah mengerti mengapa Sari tak pernah mau menerima Ardan.
"Sudah berapa kali Ibu bilang, Naya, kau berhak bahagia. Sudah cukup hidupmu melarat sejak kecil. Ibu tidak ingin setelah menikah pun kau masih melarat. Menikahlah dengan Arik dan berikan mereka keturunan."
Naya yang tengah mencuci piring, tak lagi menyahut. Beruntung posisinya membelakangi, jadi raut wajah menekuk itu tak perlu diliat Sari. Bagi Naya, percuma rasanya mendebat ibunya, wanita paling egois yang pernah ia jumpai. Sejak dulu, Naya bahkan tak pernah dibiarkan mengambil keputusan sendiri. Ada Sari di setiap pergerakan hidupnya. Seperti bulan dan matahari yang mengelilingi bumi, seperti itulah perumpamaan hidup Naya.
Bugh!
Naya tersentak kala terdengar sesuatu yang jatuh tidak jauh di belakangnya.
"Ibu!" pekik Naya, kala melihat wanita yang baru beberapa menit lalu mengomelinya terjatuh di kamar mandi yang pintunya masih terbuka.
Belakang kepala Sari membentur sisi closet, membuat darah mengucur dari sana. Seluruh dunia rasanya jatuh menimpa Naya. Tungkai perempuan itu bahkan tak mampu menahan bobot tubuhnya sendiri. Ia limbung ke lantai bersamaan dengan pandangannya yang menghitam.

Komento sa Aklat (400)

  • avatar
    DhimusEko

    bagus

    3d

      0
  • avatar
    LyAlly

    lanjutkan

    22d

      0
  • avatar
    ProbolinggoKarim

    okk

    13/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata