logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Dua Peran

Tidak ada perbedaan dengan adab makan zaman dulu dan sekarang. Bedanya hanya zaman dulu tidak boleh ada suara sendok yang bergesekan dengan piring. Di ruang makan dan ketika makan suasananya harus hening dan khidmat. Suara kunyahan pun jangan sampai terdengar.
Ketika makan pun cara mengunyahnya harus perlahan-lahan seperti sedang makan bubur.
Pegel banget, batin Claretta.
Menur berdecak kagum karena Claretta mudah untuk diajari. Hanya saja cara bicaranya yang masih tercampur-campur antara bahasa gaul dan baku.
Malam harinya, setelah selesai makan, sesuai rencana Pangeran Nagata memperkenalkan Claretta sebagai calon istrinya. Para Ratu dan selir tidak setuju (kecuali ibunya Pangeran Gandara) dengan pilihan Pangeran Nagata, yang nantinya akan meneruskan takhta kerajaan.
Terjadilah perdebatan antara Pangeran Nagata dan para Ratu.  Claretta memilih untuk mengalah daripada suasananya makin runyam.
Esok harinya, Claretta harus angkat kaki dari Puro Utama. Barang-barang yang dari masa depan sengaja tidak dibawa atas perintah Pangeran Nagata.
Claretta untuk sementara waktu akan tinggal di tempat Empu Wiro, tukang pembuat pedang dan alat-alat perkakas yang lain.
"Aku janji akan segera membawamu kembali ke sini, Arawinda," ucap Pangeran Nagata dengan bersungguh-sungguh.
"Gak usah janji. Gue gak mau ke istana lagi. Oh ya, jangan sampe barang-barang gue dibuang."
Pangeran Nagata mengerutkan kening. Claretta mengulang lagi ucapannya menggunakan bahasa baku. Barulah Pangeran Nagata mengerti.
"Aku akan mengantarmu ke tempat Empu Wiro."
Rombongan Pangeran Nagata pergi meninggalkan istana.
Ki Purwagalih yang sedari tadi mengamati mereka hanya tersenyum kecil. "Kau terlalu cepat mengambil tindakan yang berisiko, Pangeran." Ki Purwagalih lalu masuk ke dalam Puro Utama. Ia melihat-lihat barang bawaan Claretta yang sedang diulik oleh Menur.
"Pakaian yang aneh," ucap Menur.
Ki Purwagalih mengambil buku Aksara Kawi yang tertinggal di kamar Claretta. Ia meminta ijin kepada Menur untuk mengambil buku itu dan di-iya-kan oleh Menur karena Ki Purwagalih ini salah satu orang kepercayaan Pangeran Nagata. Jadi Menur tidak masalah jika Ki Purwagalih mau mengambil apa pun.
Sementara itu, Pangeran Nagata dan Claretta sudah tiba di kediaman Empu Wiro. Mereka disambut dengan ramah, apalagi Claretta, ia langsung dipeluk oleh istrinya Empu Wiro, Empu Gendhis.
"Maaf jika saya merepotkan Empu," ujar Pangeran Nagata.
"Tidak apa-apa, Gusti Pangeran. Saya senang mendapat tamu apalagi akan tinggal di sini. Rasanya saya seperti mempunyai anak sendiri. Iya, kan, Kakang?"
Empu Wiro mengangguk.
"Terima kasih, Empu Eyang." Pangeran Nagata dan Claretta membungkuk sedikit.
"Kalau begitu Empu, saya pamit dulu. Ada urusan di kerajaan yang belum saya bereskan. Arawinda, aku pulang dulu. Besok aku akan ke sini untuk menemuimu."
"Kalau begitu hati-hati Kanjeng Gusti Pangeran," balas Claretta.
Pangeran Nagata tersenyum sambil mengelus kepala Claretta. Diperlukan dengan cara seperti itu membuat hati Claretta baper parah.
Claretta membayangkan kalau orang yang melakukannya itu Vito. Ah, memang wajah Pangeran Nagata itu mirip sekali dengan Vito, sih.
Saat diajak alias disuruh pura-pura menjadi calon istri Pangeran Nagata sebenarnya Claretta senang bukan main. Jika di masa depan ia tidak bisa mendapatkan Vito, berarti di masa lalu ia harus berjuang untuk mendapatkan Vito yang versi Pangeran meskipun rintangannya sangat banyak.
Contohnya sekarang, Claretta ditolak mentah-mentah oleh para Ratu dan selir raja. Belum apa-apa saja sudah diperlakukan seperti itu, bagaimana nanti kalau mereka sudah menikah? Pasti Claretta diejek dan dikucilkan.
***
Tadi pagi Claretta mendapatkan tamu tak terduga yaitu Gusti Raden Ajeng Padmasari, anak pertama dari ratu keempat, Gusti Kanjeng Ratu Sriwati Kancana.
Putri Padmasari memperingatkan kepada Claretta untuk menjauhi Pangeran Nagata karena calon istri yang sebenarnya menurut Putri Padmasari adalah dirinya sendiri. Padahal setahu Claretta, Pangeran Nagata sudah mau dijodohkan dengan anak Adipati Madaharsa, hanya saja Pangeran Nagata menolaknya.
"Rakyat jelata sepertimu tidak cocok menjadi pendamping Putra Mahkota kerajaan," ucap Putri Padmasari.
"Jika Tuhan berkehendak lain, saya bisa saja menjadi satu-satunya wanita yang ada di samping Pangeran Nagata," balas Claretta tak kalah angkuhnya.
Claretta berbicara seperti itu karena sejak dirinya tinggal di Puro Utama, Tuan Putri itu seperti yang paling membenci dirinya, apalagi saat acara makan malam ketika Pangeran Nagata memperkenalkan Claretta sebagai calon istri sah. Hanya Putri Padmasari yang ikut campur diantara perdebatan ratu dan selir vs Pangeran Nagata. Anak-anaknya yang lain hanya diam, termasuk Pangeran Gandara.
"Tuhan?"
Ah, Claretta keceplosan. Harusnya ia menyebut Dewa atau Sang Hyang Widhi.
"Kita lihat saja yang akan memenangkan gelar istri Pangeran Nagata," ucap Claretta lagi.
Putri Padmasari terlihat kesal mendengar ucapan Claretta yang penuh percaya diri itu. Ia kemudian buru-buru pulang karena takut berpapasan dengan Pangeran Nagata. Soalnya ia tahu betul kalau Pangeran Nagata—ketika Claretta masih tinggal di Puro Utama—setiap hari selalu menempeli gadis dari abad keduapuluh satu itu. Makanya Putri Padmasari cemburu berat.
"Kenapa kau melamun?" tanya Pangeran Gandara.
Claretta sedikit terlonjak tapi kemudian sadar dengan pertanyaan dari Pangeran Gandara. "Saya hanya merasa sedikit aneh ketika harus mengenakan pakaian laki-laki. Saya tidak terbiasa dengan pakaian seperti ini."
"Untuk sementara waktu jika kau sedang berkeliling bersama kami, kau harus memakai pakaian laki-laki. Itu demi keselamatanmu."
Benar apa yang dikatakan Pangeran Gandara, jika ada orang yang tahu kalau Claretta adalah calon istri dari Pangeran Nagata, maka keamanan dan keselamatannya akan terancam. Selain itu, jika ada pemuda yang bertemu di dalam hutan, pasti Claretta akan digombali atau diperlukan dengan tidak baik, sama ketika dirinya tidak sengaja menampakkan diri di depan rumah Empu Wiro. Orang-orang yang datang ke sana tiba-tiba mengajak Claretta untuk menikah.
Empu Gendhis sampai kewalahan menolak lamaran mereka.
"Kisanak, kau kenapa?" Pangeran Nagata berlari menghampiri seorang penduduk yang tengah terbaring di bawah pohon.
"To-tolong kami, Pengelana. Kami diserang oleh sekolompok bandit," jawab penduduk itu dengan terbata-bata.
Kedua pangeran itu terkejut. Mereka saling menatap kemudian mengangguk.
"Siapa saja orang-orang yang diserangnya?"
"Rombonganku, lima orang dari Desa Awi Kulon. Empat laki-laki dan satu perempuan. Kami sehabis pulang dari Pasar Legi."
"Kisanak, ikutlah denganku. Di sana ada desa yang tidak jauh dari sini." Pangeran Gandara menggendong orang itu. Claretta mengikutinya dari belakang sedangkan Pangeran Nagata sudah berlari ke tempat para bandit itu.
Sepanjang perjalanan Claretta bimbang. Jika nanti sudah sampai di desa tujuan, apakah Claretta harus ikut Pangeran Gandara ke tempat para bandit atau ia tetap di desa itu?
Sesampainya di desa tujuan, para warga membantu Pangeran Gandara dan orang itu. Mereka mengobati orang itu dengan bahan seadanya. Pangeran Gandara pamit lalu berlari lagi kembali ke hutan.
Claretta berhenti di tengah jalan. Napasnya begitu pendek seolah kehabisan napas. Claretta benar-benar lelah harus berlarian ke sana ke mari.
"Ampun, dah," keluh Claretta. Sekarang ia tidak berlari melainkan berjalan kaki. Tidak peduli kalau nanti ia tersesat asalkan lelah di tubuhnya menghilang walaupun hanya sedikit.
Samar-samar Claretta mendengar suara gaduh dari arah Selatan. Buru-buru Claretta berlari. Ia bersembunyi di balik pohon yang besar ketika melihat perkelahian beberapa warga. Dalam hati ia tidak percaya kalau perkelahian itu nyata, soalnya perkelahian itu seperti di dalam sinetron laga. Benar-benar mirip.
Sedikit saja Claretta menampakkan diri, maka ia tidak akan selamat.
Sekarang Claretta bingung harus apa. Claretta merasa kasihan melihat kedua pangeran itu melawan sepuluh bandit.
"Ternyata orang dari abad dua puluh satu gak guna banget kalau hidup di zaman feodal," gumam Claretta.
Claretta melihat perlengkapan panah milik Pangeran Nagata yang tergeletak di pohon yang jaraknya tujuh meter dari pohon tempat persembunyiannya. Claretta berlari mengambil panah itu. Dengan ragu-ragu, Claretta membidik salah satu orang dari kelompok bandit itu.
Seluruh tubuhnya gemetaran. Baru kali ini Claretta membidik target dengan menggunakan makhluk hidup langsung. Claretta mempelajari panahan bukan bermaksud untuk membunuh orang. Sungguh, Claretta tidak bermaksud seperti itu.
Sambil membidik, Claretta berpikir keras. Mempertimbangkan mana yang baik untuknya.
Dengan satu tarikan napas panjang, anak panah itu melesat dari busurnya, mengores lengan seseorang kemudian menancap di batang pohon.
Orang-orang yang tengah berkelahi itu terdiam, mereka menatap Claretta dengan ekspresi muka tak percaya.
"Berani-beraninya kau memanahku!" teriak orang yang wajahnya penuh dengan janggut.
Pangeran Nagata menyilangkan pedangnya ke leher orang itu. "Jika kau mendekatinya, maka akan aku tebas kepalamu!"
Orang itu—yang ditodongkan pedang—menyuruh kawanannya untuk mundur karena Claretta sudah mengacungkan lagi panahnya.
Para bandit itu pergi tanpa membawa apa-apa.
Claretta jatuh terduduk. Tubuhnya belum juga berhenti bergetar.
"Arawinda, kau tidak apa-apa?" Pangeran Nagata memegang kedua pundak Claretta.
"Saya tidak apa-apa, Pangeran. Saya baik-baik saja," jawab Claretta dengan terbata.
"Syukurlah. Untung kau memanah pemimpin bandit itu, kami jadi tertolong."
Claretta tiba-tiba jatuh pingsan. Serangan panik membuatnya tidak karuan. Claretta masih tidak bisa menerima dan shock dengan apa yang terjadi.

Komento sa Aklat (108)

  • avatar
    AlzahraNamira

    mayan.

    1d

      0
  • avatar
    DesfiantorHaikal

    terimakasih

    15/08

      0
  • avatar
    YanaKadek tisna

    seruu banget

    15/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata