logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Istriku Tak Pantas Mendampingiku

'Masih pantaskah aku menjadi teman hidup untuk terus mendampingimu?' kenapa kalimat itu yang terus diulang ditanyakan oleh Yasmin setiap aku mencoba memperbaiki kerenggangan antara dia dan aku. Lama-lama bosan juga aku mendengarnya.
Komunikasi diantara kami benar-benar buruk, Yasmin sudah enggan berbicara langsung pada masalahnya, berbelit mengulur waktu. Apa dia tak takut kehilanganku jika aku sampai tak sabar lagi menghadapi sikap berbelitnya itu?
Ataukah istriku itu merasa sudah tak pantas mendampingi setelah aku menjadi seorang manajer? Apa dia sudah merasa siap jika harus berpisah dariku hanya karena aku menginginkan dia berpenampilan seperti yang kuinginkan?
Aku merunut waktu yang telah berlalu, mengingat kembali saat aku baru pulang kerja lalu menyampaikan berita kenaikan karirku pada istriku dulu.
"Aku punya kabar baik, kita akan pindah kota. Awal bulan besok aku diangkat menjadi manajer." Aku merengkuh Yasmin ke dalam pelukan, larut dalam rasa bahagia.
"Alhamdulillah, selamat, ya, Mas."
"Semua orang di kantor memuji, aku layak menjadi manajer karena kerjaku bagus." Aku memeluk Yasmin lebih erat.
"Semua karena kuasa dan kehendak Allah, Mas." Yasmin berujar.
"Kalau bukan karena jerih payah dan keuletanku gak akan bisa aku dapat promosi secepat ini." Kuurai pelukan, berkata sambil menatap istriku dengan pongah.
"Jangan lupa juga untuk panjatkan syukur, Mas."
"Kamu tahu, semua teman supervisor mengakui kehebatan strategi pemasaranku. General manager juga menganggap kerjaku lebih unggul dari manajerku." Aku berujar lagi.
"Iya, semua karena pertolongan Allah semata, Mas."
Apa lah kata Yasmin itu, seolah aku naik jabatan hanya karena faktor keberuntungan dari Yang Maha Kuasa saja, jelas-jelas aku sangat gigih bekerja mengatur strategi mengejar target penjualan.
"Ya sudah lah, bersiap! kita akan makan di luar malam ini. Kita wujudkan rasa syukur dengan makan bersama." Aku mengakhiri perdebatan kami.
"Aku sudah masak untuk makan malam."
"Masukkan kulkas saja bisa buat sarapan besok," kataku menengahi.
Kupandangi rumah kontrakan kami yang sempit saat itu. Meski aku sudah punya tabungan tapi belum cukup untuk membeli sebuah rumah yang bagus, jadi kutunggu saja tabunganku sampai cukup meski harus mengontrak dulu.
Kenaikan gajiku yang berlipat saat ini, nanti akan mewujudkan keinginanku untuk segera memiliki rumah yang megah.
Kuabaikan keinginan Yasmin yang berulang kali menganjurkan membeli rumah yang biasa saja, dia lebih suka jika kami membuka tabungan haji dulu saja daripada membeli rumah yang bagus.
"Rumah sederhana sudah cukup nyaman bagiku, Mas. Yang penting bersih dan rapi bisa kita tempati untuk membina keluarga hingga ujung usia. Tak perlu menghambur uang, ayolah kita utamakan mendaftar pergi haji dahulu." Yasmin berpendapat begitu kala itu.
"Rumah itu melambangkan kesuksesan seseorang. Bangga 'kan jika ada teman berkunjung ke rumah megah kita dan menganggap kita sudah sukses." Aku menyanggah pendapat Yasmin.
"Astaghfirullah, Mas. Tak perlu kita mengejar penilaian orang lain begitu. Allah akan memuliakan derajat seseorang sesuai dengan akhlak dan kebaikannya, bukan karena harta semata. Begitu suamiku sayang, tolong pahami maksudku." Yasmin meraih tanganku dan menggegamnya sambil menatapku lembut.
"Mmm, sudahlah! Aku hanya ingin mempunyai rumah yang bisa kubanggakan dari jerih payahku bekerja."
Sering sekali perdebatanku dengan Yasmin berakhir dengan ganjalan di hati kami masing-masing serupa itu. Lalu kami akan kembali bersikap biasa seolah tak ada perbedaan, berharap tak akan timbul perdebatan lagi di lain waktu. Tapi ... Bukankah itu seperti halnya memeram bom yang suatu ketika bisa meledak saat timbul pemicu perdebatan itu lagi?
Sekarang aku mendapat fasilitas rumah dinas mewah untuk kutempati selama menjabat manajer. Masih ada cukup waktu menambah pundi-pundi tabungan untuk mewujudkan mimpiku mempunyai rumah mewah sendiri.
"Rumah seperti ini yang ingin kubeli nanti, Yasmin." Aku memberi tahu saat kami menginjakkan kaki pertama kali di rumah dinas dari kantorku.
"Bagus sih, Mas. Tapi jangan terlalu memaksakan diri, ya." Lagi-lagi Yasmin tak sepenuhnya mengiyakan pendapatku. Huft, keras kepala sekali dia 'kan?
Aku menguap, rasa kantuk dan lelah mulai menyergapku. Anganku tentang Yasmin menambah rasa penat setelah seharian berkutat dengan beban pekerjaan di kantor.
Kutinggalkan teras rumah lalu beranjak masuk rumah untuk istirahat. Aku sampai terlupa belum salat isya, biasanya Yasmin yang selalu bertanya memastikan hal itu setiap aku pulang selewat waktu isya. Tak ada sosoknya membuatku merasa sangat kehilangan.
Kulihat ponsel sembari berbaring di tempat tidur menjemput rasa kantukku. Berharap ada pesan dari Yasmin menanyakan untuk memastikan apakah aku sudah makan, apakah sudah salat isya atau kah mengucapkan selamat tidur. Tak ada pesan darinya! Dia sungguh ingin membuatku merenung sendirian.
[Yasmin, aku juga ingin kamu renungkan! Pantaskah kamu meninggalkan kewajibanmu mengurusku dengan pergi saat ada masalah!]
Kukirimkan pesan WA untuk Yasmin. Tak adil jika hanya aku saja yang disudutkannya, dia juga bertindak tidak benar.
[Aku akan datang ke rumah ibu hari minggu besok. Kita harus berbicara langsung untuk mengurai apa masalahnya. Aku tak sabar kembali bersama Nuna]
Sebuah pesan kukirimkan lagi. Kerinduanku pada Nuna bisa menjadi alasan untuk menutupi harga diriku karena ingin menemuinya lebih dulu sebelum dia meminta.
***
Aku terlambat bangun pagi ini. Bunyi dering panggilan telepon dari Pak Marno membangunkan tidurku. Supir kantorku itu telah menunggu di pintu gerbang bersama Bik Rum, pagar rumah belum kubuka.
Astaghfirullah, aku juga belum salat subuh. Bergegas kutunaikan salat, biarlah mereka berdua menunggu di luar pagar beberapa waktu.
Tak sempat lagi sarapan, Bik Rum mengantar kepergianku dengan kata maaf karena belum sempat masak. Bik Rum memang tak menginap di rumah, Dia pulang mengikuti jam kantor karena dia digaji oleh perusahaan.
Dengan lincah Pak Marno mengemudi mengejar waktu agar aku tak terlambat. Tergesa kunaiki lift menuju ruanganku. Hari ini sudah kuajukan permintaan staf administrasi yang baru untuk bertukar tempat dengan Riani.
Seorang bapak seumuran denganku sudah menunggu di ruangan saat aku tiba.
"Assalamu'alaikum. Pagi, Pak. HRD meminta saya untuk menggantikan Mbak Riani. Saya Imam, sebelumnya di staf administrasi akunting.
Pak Imam tampak begitu rapi penampilannya. Jenggot di dagunya membuatnya tampak bersahaja. Aku jadi merasa sungkan menjadi atasannya. Tapi di kantor haruslah bersikap sesuai profesi, aku tetap menjaga wibawaku sebagai manajer.
"Wa'alaikumussalam. Selamat bergabung menjadi staf saya, Pak Imam."
Kami pun mulai berdiskusi merunut pekerjaan Riani yang harus dilanjutkan Pak Imam.
Setelah paham dengan arahanku, Pak Imam pamit kembali ke ruangannya. Ada kesan mendalam saat aku berbincang dengan pria yang tampaknya alim itu.
Kubuka file laptop dan mulai berkutat dengan pekerjaan. Beberapa jam berlalu, terdengar notifikasi pesan WA masuk dari ponselku. Pesan dari Yasmin, dia membalas pesanku semalam.
[Bismillah, Bik Rum sudah kutitipi untuk mengurus semua kebutuhan Mas. Aku pergi dengan ijin Mas Yudha meski aku tahu mungkin Mas gak ridho. Tujuanku juga sudah kujelaskan, aku butuh ruang untuk merenung. Nilai kehidupan yang kita pahami sudah berbeda, aku menyadari itu. Haruskah kita paksakan berjalan jika tak lagi nyaman?]
Kubaca berulang kali pesan dari Yasmin. Ada rasa hampa saat membaca pesan itu. Benarkah kami sudah tak seiring tujuan lagi? Salahku apa? Aku tak ingin kehilangan Yasmin. Susah payah dulu kutaklukkan hatinya agar bersedia menikah denganku. Aku mencintai wanita lembut itu meski dia juga keras kepala. Aku harus segera menemui Yasmin!

Komento sa Aklat (128)

  • avatar
    123Mawan

    Bang. toapin. aku. bang

    3d

      0
  • avatar
    NurleliNunik

    keren menghayati banget

    6d

      0
  • avatar
    canwil

    yes

    17/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata