logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 5

Sikap Putri yang tidak menerima Kania sebagai kekasihnya membuat Nathan terusik. Sebagai pamannya, Nathan ingin Putri dekat dengan kekasihnya itu. Bagaimanapun, dia harus mampu membuat Putri menyukai Kania.
"Putri, ayo kita jalan-jalan!" ajak Nathan. Namun, Putri menggeleng.
"Putri tidak mau pergi kalau tidak dengan Tante Kinara," jawab Putri yang terlihat tak acuh.
Setiap kali diajak, Putri selalu ingin pergi jika dengan Kinara dan itu membuat Kania tidak tenang.
Melihat Kinara yang dekat dengan Putri membuat Kania merasa tersaingi. Dia merasa sulit untuk meraih perhatian keponakan kekasihnya itu.
Setiap dia mengajak Putri, gadis kecil itu selalu saja menolaknya. Dia hanya dekat dengan Kinara.
"Nathan, kenapa begitu sulit bagi Putri untuk menerimaku? Tidakkah ada cara untuk membuatnya dekat denganku? Masa iya aku tersaingi dengan pengasuhnya itu?" tanya Kania yang tampak manja di depan Nathan.
Nathan menggenggam tangannya. Dia berusaha menenangkan kekasihnya itu. "Semua perlu proses, Kania. Karena itu, kamu jangan cepat menyerah. Aku yakin, Putri akan dekat denganmu jika kamu sering-sering mengunjunginya. Dia dekat dengan Kinara karena gadis itu mampu meraih hatinya dan kamu juga harus seperti itu," jawab Nathan sembari mengelus lembut sudut wajah Kania.
Rania mengangguk. Bagaimanapun, dia harus bisa dekat dengan Putri karena dia tidak ingin kehilangan Nathan. Kania sangat mencintai lelaki itu. Lelaki yang sudah membuatnya jatuh cinta sejak pandangan pertama.
Suatu hari, Kania memutuskan untuk mengajak Putri pergi dengannya. Dia bermaksud untuk mengajaknya jalan-jalan ke mal. Dengan begitu, dia berharap Putri akan dekat dengannya.
Sebelum itu, Kania sudah menghubungi Kinara. Dia bermaksud meminta bantuan Kinara untuk mempertemukannya dengan Putri. Kinara lalu menyanggupinya.
"Kinara, aku memercayakan Putri padamu. Kania itu gadis yang baik. Kamu harus memberikan kesempatan baginya untuk dekat dengan Putri. Kamu bisa, kan?" tanya Nathan saat Kinara meminta izin untuk menemui Kania.
Kinara mengangguk. "Baik, Pak."
Nathan memerintahkan supirnya untuk mengantar Kinara dan Putri ke mal di mana Kania sudah menunggu. Putri tampak antusias saat mereka pergi.
Setibanya di mal, Kania sudah menunggu. Di tangannya, dia memegang sebungkus permen rambut nenek yang berwarna pink. Saat melihat Putri, dia lalu menghampiri sembari memberikan permen itu.
"Putri, ayo ambil!" ucap Kinara.
Gadis kecil itu tampak ragu. Kania lalu duduk di depannya. Dia lantas tersenyum. "Apa Putri marah sama Tante? Tante hanya ingin mengajak Putri bermain, tapi kalau Putri tidak mau ...."
Melihat Kania yang tampak sedih, Putri kemudian menerima permen itu. Kania lantas tersenyum. Dia lalu meraih tangan gadis kecil itu. "Ayo, kita main!" ajak Kania.
Putri lantas mengikutinya. Melihat mereka mulai akrab, Kinara tersenyum. Dia lalu memperhatikan mereka yang sedang bermain di arena permainan.
Saat memperhatikan mereka, ponselnya tiba-tiba berdering. Nathan menghubunginya sekadar untuk menanyakan perihal Kania dan Putri.
"Apa mereka sedang bermain?"
"Iya, Pak. Mereka tampaknya mulai akrab," jawab Kinara.
"Ah, syukurlah. Kinara, terima kasih, ya. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjaga Putri dan membuatnya dekat dengan Kania. Terima kasih," ucap Nathan dengan tulus.
Kinara lantas tersenyum. "Sama-sama, Pak."
Kinara masih memperhatikan Putri dan Kania yang tengah asyik bermain. Putri mulai nyaman dengan gadis itu. Bahkan, dia mulai  bercengkerama tanpa ragu.
Kinara duduk sambil memperhatikan mereka. Tiba-tiba, dia memegang dadanya yang terasa sakit. "Ah, ada apa denganku? Kenapa akhir-akhir ini aku sering merasakan sakit di dadaku?" batin Kinara.
"Kinara, kamu kenapa?"
Kinara menoleh ke arah suara. Samar-samar, dia melihat sosok di depannya itu. Kinara memegang pelipisnya yang kini berdenyut hebat.
"Kinara, apa kamu sakit?"
Kinara menggeleng. Dia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. "Tidak, Pak. Aku hanya sakit kepala saja."
"Apa benar kamu hanya sakit kepala? Sebaiknya kita ke dokter."
"Tidak usah, Pak. Aku baik-baik saja," tolak Kinara.
Melihat Nathan datang, Kania dan Putri lantas menghampirinya. Kania tampak tersenyum saat melihat kekasihnya itu.
Melihat mereka mulai akrab, Nathan tersenyum. "Apa Putri senang diajak main sama Tante Kania?"
Putri mengangguk. Kania tersenyum saat melihat Putri yang mulai dekat dengannya.
"Kalau sudah selesai main, bagaimana kalau kita makan es krim? Putri mau, kan?" tanya Nathan. Putri kembali mengangguk.
"Maaf, aku ke toilet sebentar," ucap Kinara yang berlalu pergi.
"Ada apa dengannya? Sepertinya dia sedang sakit," ucap Kania saat melihat Kinara yang tampak pucat.
Nathan melihat ke arah Kinara yang menghilang di tikungan. Dia tampak khawatir dengan keadaan gadis itu.
Di dalam toilet, Kinara menatap wajahnya di depan cermin. Dia tampak pucat. "Ah, ada apa denganku? Kenapa bayangan-bayangan itu kembali muncul?"
Kinara lalu mengusap wajahnya. Dia mencoba mengingat kembali apa yang sudah dialaminya.
Samar-samar, dia melihat sosok yang tidak dikenalnya. Sosok lelaki yang membelakanginya. Sosok yang tiba-tiba terjatuh di depannya dengan bersimbah darah.
Kejadian itu sudah dialaminya sejak beberapa hari yang lalu. Semua berawal dari mimpi yang membuatnya tidak tenang. Sejak memimpikan hal itu, dia selalu dibayang-bayangi dengan kejadian buruk itu.
Sejak itu pula, dia mulai merasakan sakit di bagian dadanya. Sakit yang membuatnya tak tahan, hingga menitikkan air mata.
"Kinara, apa kamu baik-baik saja?"
Kinara menoleh ke arah Kania yang datang menghampirinya.
"Apa kamu sakit? Wajahmu pucat, Kinara."
"Aku tidak apa-apa. Mungkin aku masuk angin."
"Ya sudah, kalau begitu kita temui mereka. Mereka sudah menunggu dari tadi. Sebaiknya, kamu makan makanan yang hangat biar tidak masuk angin lagi. Ayo!"
Mereka kemudian menemui Nathan dan Putri yang sudah menunggu di kafe. Namun, bukan hanya mereka berdua saja, tetapi ada seseorang yang tampak bercengkerama dengan Nathan.
"Revan?" Kania tersenyum sembari menghampiri lelaki itu.
Kinara terkejut saat melihat sosok lelaki yang pernah menjadi bosnya itu. Revan yang melihat Kinara terlihat tak acuh.
"Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Kania.
"Aku hanya jalan-jalan dan tidak sengaja bertemu dengan pacarmu. Apa aku mengganggu kalian?"
"Kenapa bicara seperti itu? Ayo, sebaiknya kita pesan makanan dan es krim buat Putri. Kinara, kamu mau pesan apa?"
Semua mata kini tertuju padanya. Kinara tampak bingung.
"Ada apa? Apa kamu sakit?" tanya Nathan.
Kinara menggeleng. "Maaf, sebaiknya aku pulang duluan saja. Aku tidak ingin mengganggu kebersamaan kalian."
Kinara lantas bangkit, tetapi Putri menahannya. "Tante mau ke mana? Apa Tante mau meninggalkan Putri?"
"Kinara, duduklah. Apa kamu terganggu dengan kehadiranku?" tanya Revan yang kini menatapnya.
"Apa kalian saling mengenal?" tanya Kania yang tampak heran.
"Tentu saja. Kinara adalah mantan karyawan di hotelku."
"Ah, jadi begitu. Kinara, duduklah. Sekarang, kamu bukan lagi karyawan Revan melainkan orang yang bekerja padaku. Jadi, duduklah kembali," pinta Nathan.
"Tidak usah, Pak. Sebaiknya aku menunggu di mobil saja. Maaf, aku pergi dulu."
Kinara lantas pergi dengan menahan perasaan yang tidak biasa. Bersama mereka, dia merasa sangat terbebani.
Revan hanya bisa menatap kepergiannya. Melihat Kinara, dia benar-benar terusik.
"Kapan kalian akan menikah?" tanya Revan pada Nathan.
Kania lalu menatap Nathan seakan menginginkan jawaban dari kekasihnya itu.
"Secepatnya. Lalu, kamu sendiri, apa sudah punya kekasih?"
Revan hanya tersenyum sambil menyeruput kopi yang baru diletakkan oleh pelayan kafe.
"Jangan bilang kalau kamu belum punya kekasih. Revan, sampai kapan kamu akan sendirian seperti ini?" tanya Kania. "Kalau begitu, aku akan mencarikan kekasih untukmu. Kamu mau, kan?" lanjut Kania.
"Tidak perlu. Aku masih ingin sendirian dulu. Kalau sudah waktunya, aku pasti akan bertemu dengan jodohku."
Kania dan Nathan tersenyum mendengar jawaban Revan. Mereka bertiga tampak akrab. Sementara Putri sudah mulai bosan.
"Paman, aku mau menemui Tante Kinara," ucapnya manja.
"Iya, Sayang. Sebentar lagi kita temui Tante."
Nathan lalu membawa Putri pada Kinara  yang menunggu di mobil.
"Kania, memangnya Kinara bekerja sebagai apa di rumah Nathan? Kenapa keponakan Nathan memanggilnya Tante?" tanya Revan.
"Dia itu bekerja sebagai pengasuh dari keponakan Nathan. Aku juga sebenarnya tidak suka kalau dia dipanggil tante oleh gadis kecil itu, tapi aku bisa apa?" keluh Kania.
"Apa kamu tidak khawatir?" tanya Revan yang membuat Kania menatapnya. "Kinara itu gadis yang cantik. Bagaimana kalau ...."
"Tidak mungkin!" sanggah Kania yang mengerti dengan arah pembicaraan Revan. "Aku tahu siapa Nathan. Dia tidak akan tertarik dengan wanita seperti Kinara. Lagi pula, Kinara hanya seorang pengasuh, tidak lebih!" ucap Kania tegas.
Revan menahan senyum saat melihat Kania yang cemberut. Dia lalu tertawa.
"Apa yang kamu tertawakan?" tanya Kania kesal.
"Ternyata kamu sangat mencintai Nathan. Kalau begitu, segera bujuk dia agar segera menikahimu biar kamu bisa aman. Kalau masih seperti ini, bisa saja dia akan menduakan hatinya."
"Revan, kamu bisa diam tidak! Kalau kamu terus menggodaku, aku akan adukan pada mama dan papa!"
Revan kembali menahan tawa. Nathan yang baru datang seketika duduk di samping Kania yang tampak kesal.
"Ada apa? Apa Revan mengganggumu lagi?" tanya Nathan saat melihat kekesalan di wajah kekasihnya itu. Kania mengangguk kesal. Nathan hanya tersenyum.
"Sebaiknya aku pergi. Aku tidak ingin mengganggu kebersamaan kalian." Revan lantas bangkit.
"Nathan, kapan kamu akan menikahi adik sepupuku ini? Jangan lama-lama, sepertinya dia sudah tidak tahan untuk menjadi istrimu," lanjut Revan sambil melirik Kania yang menatap ke arahnya.
Nathan hanya tersenyum. Begitu pun dengan Revan yang memilih pergi saat melihat kekesalan di wajah Kania.
"Jangan marah, dia hanya bercanda," bujuk Nathan sambil menggenggam tangan Kania. "Ayo, temani aku beli sesuatu untuk Putri," ajak Nathan.
Sementara Revan, sedang menuju ke parkiran. Tiba di sana, dia terkejut saat melihat beberapa orang sedang berkerumun. Karena penasaran, dia lalu mendekat.
"Apa apa, Pak?"
"Ada kecelakaan," jawab seorang lelaki paruh baya.
Dari kerumunan, Revan melihat Kinara yang berjalan sambil memegang lengannya yang berdarah. Pelipisnya pun robek dan berdarah.
"Kinara?"
Revan lalu menghampirinya.
"Kinara, apa yang terjadi? Apa kamu ditabrak? Sebaiknya kita ke rumah sakit. Ayo, biar aku mengantarmu ke rumah sakit!"
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja," tepis Kinara sambil terus berjalan.
"Kalau Putri melihatmu seperti ini, tentu dia akan ketakutan. Sebentar, aku hubungi Nathan dulu."
Kinara menghentikan langkah dan menyandarkan punggungnya di tiang penyangga. Dia lalu memegang lehernya untuk memastikan kalung yang dipakainya tidak terjatuh. Namun, dia terkejut saat menyadari kalau kalung itu tidak ada di lehernya.
Dengan panik, Kinara lalu pergi ke tempat di mana kejadian itu terjadi. Matanya liar mencari keberadaan kalung itu. Sambil menahan air mata, dia masih mencarinya.
"Apa yang kamu cari? Apa ada sesuatu yang hilang?" tanya Revan.
"Kalungku. Kalungku telah hilang. Aku mohon, bantu aku untuk menemukannya. Aku mohon," pinta Kinara yang kini menitikkan air mata.
Revan terdiam saat melihat Kinara menangis. Dia lalu ikut mencari kalung itu. Tak lama, Nathan dan Kania muncul di tempat itu.
"Apa yang kalian cari?" tanya Kania.
"Kalung milik Kinara terjatuh. Cepat bantu kami mencarinya," pinta Revan sambil mencari.
"Apa kalung ini yang kalian cari?" tanya Nathan sambil menunjukkan sebuah kalung bermata batu zamrud.
Sambil menahan sakit, Kinara menghampirinya. Melihat kalung di tangan Nathan, Kinara lalu terduduk sembari menangis.
Nathan memperhatikan kalung itu dengan saksama. Dia menatap batu zamrud tanpa kedip. Begitu pun dengan Revan yang menatap kalung itu.
"Apa kalung ini milikmu?" tanya Nathan sambil duduk berjongkok di depan Kinara.
Kinara menatapnya dan mengangguk.
Nathan lantas memakaikan kalung itu di leher Kinara. Kinara hanya diam saat Nathan memakaikan kalung itu di lehernya.
Nathan lalu bangkit. Dia tampak kebingungan.
"Kinara, apa kamu bisa berdiri? Ayo, sebaiknya kita ke rumah sakit untuk mengobati lukamu itu. Ayo!"
Kania lalu membantu Kinara berdiri. Nathan melihat luka gores di pergelangan tangan dan juga luka robek di pelipis Kinara.
"Apa yang kamu lakukan sampai bisa terluka seperti itu? Apa kamu ingin bunuh diri?" Nathan tampak marah.
Kinara hanya diam.
"Sudahlah, sebaiknya kita bawa dia ke rumah sakit."
"Sebaiknya kamu ikut di mobil Revan. Kalau Putri melihatmu seperti ini, dia pasti ketakutan. Jangan khawatir, Revan akan menjagamu," ucap Kania sambil membawa Kinara ke mobil kakak sepupunya itu.
Revan tidak menolak. Dia membiarkan Kinara duduk di sampingnya.
"Apa kamu harus senekat itu? Apa nyawa orang lain lebih penting dari nyawamu sendiri?" tanya Revan saat menjalankan mobilnya.
"Lalu, apa aku harus diam saja saat melihat anak itu hampir ditabrak? Apa kamu akan membiarkannya kalau kamu berada di posisiku?"
Revan terdiam. Dia sudah mengetahui kronologis kecelakaan itu dari saksi mata yang ditanyainya. Mereka mengakui keberanian Kinara yang rela mengorbankan diri untuk menyelamatkan gadis kecil itu.
Revan tidak lagi bertanya. Dia hanya melihat Kinara dari kaca spion. Wajahnya yang tampak lelah dan menahan sakit membuat Revan melajukan mobilnya.
Setibanya di rumah sakit, Kinara lantas menerima perawatan. Hari mulai malam saat dokter selesai mengobati luka-luka yang dideritanya.
"Sebaiknya Kinara jangan pulang dulu. Malam ini, biar dia istirahat saja di rumah sakit. Kebetulan, ada temanku yang bekerja di sini," ucap Revan pada Nathan.
"Aku juga berpikir seperti itu, tapi apa dia mau?"
"Tentu saja dia mau. Biar aku yang bicara dengannya."
Revan lalu menemui Kinara. "Sebaiknya malam ini kamu menginap saja di sini. Lukamu itu masih butuh penanganan," ucap Revan.
Kinara menatapnya. Dia mengernyit. "Kenapa kamu peduli padaku? Bukankah waktu itu kamu sangat membenciku?"
Revan lalu duduk. Dia memahami sikap Kinara terhadapnya.
"Sebenarnya, aku ingin meminta maaf atas sikapku waktu itu. Aku ternyata salah menilaimu. Wanita itu rupanya hanya ingin mengambil keuntungan dari kepolosan kalian. Kinara, aku minta maaf," ucap Revan yang terdengar tulus.
Kinara terdiam.
"Untuk biaya rumah sakit, kamu tidak usah mengkhawatirkan hal itu. Aku sudah menanganinya. Anggap saja ini sebagai permintaan maafku padamu."
Kinara tiba-tiba meringis sambil menahan sakit di pelipisnya. Tak hanya itu, dia tiba-tiba merasakan sakit di bagian dadanya.
"Kamu kenapa?" Revan menghampirinya. Kinara menatapnya lekat. Kembali, dia menahan pelipisnya saat kilasan kejadian seakan diputar kembali di depannya.
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Kinara yang tanpa sadar menitikkan air mata.
To Be Continued ....

Komento sa Aklat (190)

  • avatar
    Jemris

    novel ini adalah salah satu novel terbaik selama saya membaca di NOVELAH. Alur ceritanya rapih tidak tumpang tindih, setiap alur cerita mampu menggugah pembaca. Terimakasih "Mak Halu" buat karya yang satu ini👍

    06/03/2022

      5
  • avatar
    adhityakeefa

    makasih jj

    2d

      0
  • avatar
    SantosoAgung

    keren

    8d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata