logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 3

Karena kasihan dan juga khawatir pada kesehatan Nenek Kinasih, Kinara akhirnya memutuskan untuk tinggal dan menemani wanita itu di rumahnya.
Awalnya, Nenek Kinasih menolak, tetapi Kinara terus memaksa.hingga dia mau menerima kehadiran Kinara di rumahnya.
Nenek Kinasih tampak lemas di atas tempat tidur. Dia terbaring dan kadang meringis menahan sakit di bagian perutnya.
"Nek, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tega melihat Nenek kesakitan seperti ini. Apa Nenek punya keluarga yang bisa aku hubungi?"
Wanita itu menggeleng. "Nenek tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Nenek begitu merindukan pelukan dan kasih sayang dari orang tua Nenek dan juga kakak Nenek yang entah ada di mana. Mungkin dengan kematian, Nenek bisa bertemu dengan mereka," ucapnya dalam kesakitan yang ditahan.
Kinara merasa kasihan. Nenek Kinasih selalu menyebut sang kakak yang entah ada di mana.
"Memangnya, siapa nama kakak Nenek?"
Wanita tua itu menatap langit-langit yang tampak memancarkan cahaya dari lubang-lubang kecil. Sejenak, dia tersenyum.
"Namanya Ikmal. Dia pemuda yang sangat tampan dan juga baik hati. Dia sangat menyayangiku dan selalu mengatakan kalau aku harus hidup bahagia. Umur kami hanya terpaut tiga tahun."
Nenek Kinasih masih mengingat dengan jelas bagaimana rupa dan gagahnya kakaknya itu. Dia masih ingat bagaimana pesona kakaknya hingga menjadi pusat perhatian dari teman-temannya.
"Kak, apa Kakak masih tetap ingin menjadi prajurit? Apa Kakak tidak takut?" tanya Kinasih saat itu.
"Untuk apa takut? Bukankah dengan menjadi prajurit, Kakak bisa melindungimu dan orang tua kita?"
"Tapi, Kak ...."
Lelaki yang tampak gagah itu lantas memeluk sang adik. Dia mencoba untuk menenangkan adiknya itu.
"Jangan khawatir, Kakak akan baik-baik saja. Tugasmu hanya mendoakan Kakak dan menjaga orang tua kita setelah Kakak pergi bertugas nanti. Mengerti?"
Kinasih mengangguk walau hatinya terasa berat untuk melepaskan kakaknya pergi.
Setelah resmi menjadi prajurit, Ikmal lalu ditugaskan ke luar daerah. Dia tampak gagah saat mengenakan seragam loreng dan bersiap meninggalkan keluarga dan kampung halamannya.
"Kakak harus berhati-hati dan jaga kesehatan. Jangan khawatirkan orang tua kita. Aku yang akan menjaga mereka. Sering-seringlah mengirim kabar," ucap Kinasih saat memeluk sang kakak.
"Terima kasih, Dik. Kakak mengandalkanmu."
"Ikmal, ambil kalung ini untukmu, Nak. Bawalah selalu agar mengingatkanmu pada kami. Jaga dirimu, Nak." Wanita paruh baya itu lantas memeluk putranya.
Ikmal ditempatkan di luar daerah. Sebagai seorang prajurit aktif, dia harus bersedia ditempatkan di mana saja dan kapan saja.
Menurut informasi, daerah itu merupakan daerah perbatasan yang dekat dengan sekelompok pemberontak di masa itu. Dari surat yang dikirimkan olehnya, Kinasih akhirnya tahu kalau daerah itu adalah daerah yang rawan dengan kekerasan.
Masa itu, mereka hanya bisa berkomunikasi lewat surat. Ikmal selalu mengabarkan keadaan dirinya pada keluarganya. Dia selalu mengatakan kalau dia baik-baik saja.
Suatu hari, Ikmal mengirimkan surat pada Kinasih. Di surat itu, Ikmal mengatakan kalau dia sedang menyukai seorang gadis yang berasal dari desa tempatnya bertugas. Katanya, gadis itu sangat cantik dan juga baik hati. Ikmal telah jatuh cinta padanya dan berharap kalau gadis itu akan menerima dirinya kelak.
Sejak saat itu, Ikmal tidak pernah mengirimkan surat lagi padanya. Itu adalah surat terakhir darinya. Tersiar kabar kalau daerah di mana Ikmal bertugas sedang dilanda pertikaian.
Dengan cemas, Kinasih dan orang tuanya menunggu kabar darinya. Namun, beberapa bulan berlalu mereka akhirnya mendapat kabar kalau Ikmal telah dinyatakan hilang.
Kinasih dan orang tuanya begitu terpukul saat mendengar kabar itu. Mereka masih tidak percaya kalau Ikmal telah meninggal. Karena memikirkan putranya, sang ibu akhirnya jatuh sakit. Tidak sampai sebulan, wanita itu akhirnya meninggal.
Kesedihan kembali melanda Kinasih. Baru saja dia kehilangan sang kakak, kini dia juga harus melepaskan kepergian ibunya. Berdua, dia tinggal bersama sang ayah.
Waktu berlalu, Kinasih dan juga ayahnya masih menyisakan harapan kalau suatu saat nanti Ikmal akan kembali. Namun, lagi-lagi mereka harus kecewa. Ikmal dinyatakan telah meninggal dan menjadi salah satu prajurit yang gugur dalam bertugas walau jasadnya tidak pernah ditemukan.
Kinasih dan ayahnya benar-benar terpukul. Sang ayah juga mulai sakit-sakitan hingga suatu hari Kinasih harus melihat ayahnya tewas saat rumah mereka dilalap si jago merah. Semua kenangan yang tersisa telah lenyap bersama kepulan asap yang menghiasi langit hitam.
Kinasih kini hidup sebatang kara. Tak menyerah, dia masih mencari tahu tentang keberadaan sang kakak hingga dia sendiri tidak memikirkan dengan keadaannya. Kinasih yang tumbuh menjadi gadis cantik hanya bisa menghabiskan hidupnya untuk mencari sang kakak. Bahkan, di usianya yang telah renta, dia masih saja tidak menyerah.
Kinara mendengar penuturan Nenek Kinasih dengan saksama. Tak terasa, dia menitikkan air mata. Penderitaan yang dialaminya ternyata tidak sebanding dengan penderitaan dari wanita yang berbaring di depannya itu.
"Kalung ini adalah kalung yang dia pakai. Hanya kalung ini saja yang menjadi petunjuk di mana kakakku berada. Namun, aku akhirnya bisa ikhlas karena semalam dia datang dalam mimpiku," ucap Nenek Kinasih dengan air mata yang membendung.
"Kinara, apa boleh Nenek meminta sesuatu padamu?"
Kinara mengangguk.
"Ambillah kalung ini dan simpanlah."
"Tapi, Nek, kalung itu milik Nenek. Mana bisa aku yang bukan siapa-siapa akan menerimanya begitu saja. Nek, kalung itu adalah warisan dari keluarga Nenek dan aku tidak berhak untuk memilikinya. Jadi, Nenek simpan saja, ya," tolak Kinara secara halus.
"Tidak, Kinara! Kalung ini adalah milikmu. Kakakku telah berpesan kalau aku harus mengembalikan kalung ini padamu. Dia bilang kalau dia ...." Nenek Kinasih terdiam. Dia lalu tersenyum sembari menggenggam tangan Kinara.
"Kinara, terima kasih karena sudah menemukan kalung ini. Mungkin kamu sudah ditakdirkan untuk menemukannya dan jika ada yang datang menemuimu kelak, maka terimalah dia dengan baik."
"Apa maksud Nenek?"
Nenek Kinasih hanya tersenyum. "Kehidupan dan kematian tidak ada yang bisa menentukan selain Sang Pencipta. Jika kematian bisa memisahkan orang yang saling mencintai, maka kehidupan pula yang mungkin akan mempertemukan mereka kembali. Jika saat itu tiba, maka gunakanlah hatimu untuk bisa melihat siapa yang lebih layak bagimu dan cobalah mengingat akan masa lalumu."
Kinara benar-benar tidak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh Nenek Kinasih. Dia tidak bertanya lagi karena kondisi Nenek Kinasih tampak kepayahan.
Kinara lalu memakai kalung itu atas permintaan Nenek Kinasih. Wanita itu tersenyum saat melihat Kinara yang terlihat cantik.
"Kakak, apa dia gadis itu? Apa kamu sungguh mencintainya? Jika demikian, datanglah dan selesaikan urusanmu dengannya. Aku percaya, kakak pasti akan bahagia bersamanya." Nenek Kinasih membatin saat dia melihat bayangan sang kakak yang kini menatapnya.
Lelaki itu tampak tersenyum dan mengangguk pelan. "Sudah saatnya kamu kembali ke pangkuan ayah dan ibu. Sudah cukup derita yang kamu alami. Terima kasih atas perjuanganmu selama ini. Sekarang, sudah saatnya kamu tidur dengan tenang dan beristirahatlah. Kakak sangat menyayangimu dan kita akan berkumpul lagi seperti dulu."
Wanita itu tersenyum. Dia melihat ke satu titik di mana bayangan ayah dan ibunya tengah menatapnya sembari tersenyum. Mereka mengulurkan tangan padanya.
"Ayo, Nak, kita pergi."
Nenek Kinasih mengangkat tangannya dan ingin meraih tangan ayah dan ibunya. Saat itu pula, matanya terpejam dengan embusan napas yang tak lagi ada. Dia telah damai dalam pelukan ayah ibunya.
"Nek! Nenek!" seru Kinara yang menyadari kalau wanita itu sudah tidak bergerak. "Nenek! Bangun, Nek!"
Beberapa warga yang dari awal menemani mereka lantas bergegas memeriksa tubuh yang telah kaku itu. Mereka akhirnya sadar kalau Nenek Kinasih telah tiada.
Kinara menangis saat menyadari kalau wanita itu telah meninggal dunia. Sementara di ruangan itu, tampak bayangan Nenek Kinasih yang sedang bergandengan tangan dengan ayah ibunya.
Wajahnya tampak cantik. Dia bukan lagi wanita tua yang lemah, tetapi dia telah menjadi wanita muda yang cantik dan periang.
"Kinara, terima kasih."
Bayangan itu pun menghilang. Mereka telah kembali ke tempat di mana hidup abadi dan akan selalu bersama.
Hari itu juga, mereka melakukan prosesi pemakaman. Jasad yang telah tertutup tanah basah kini telah damai dalam tidur panjangnya. Kinara masih menangis dan hanya bisa menatap timbunan tanah yang dihiasi taburan bunga.
"Nenek, beristirahatlah dengan tenang. Sekarang, Nenek sudah tidak perlu khawatir lagi. Nenek pasti telah bertemu dengan kakak dan juga orang tua Nenek. Bahagialah di sana, Nek."
Kinara menyeka air matanya seraya memegang liontin yang kini melingkar di lehernya.
"Aku akan menjaga kalung ini. Terima kasih karena Nenek sudah memercayakanku untuk menyimpannya. Nek, aku pamit, ya."
Kinara lalu bangkit. Sejenak, dia menatap pusara. Tak lama, dia pun pergi.
Di kamar, Kinara menatap wajahnya di cermin. Dia lalu melihat liontin yang melingkar di lehernya itu.
"Liontin yang sangat indah. Ikmal, di mana pun kamu berada, semoga kamu damai di sana. Maafkan aku karena aku telah memakai liontin yang seharusnya menjadi milik wanita yang kamu cintai. Wanita itu sangat beruntung karena dicintai oleh lelaki sepertimu. Semoga saja cintamu padanya akan selalu abadi dan kalian akan bersama selamanya."
Kinara hanya bisa mendoakan agar Nenek Kinasih bahagia di alam sana bersama orang-orang yang dicintainya.
Setelah beberapa hari menganggur, Kinara kembali memutuskan untuk mencari pekerjaan. Bagaimanapun, dia harus bisa mendapatkan pekerjaan karena dia tidak ingin paman dan bibinya khawatir padanya.
Siang itu, Kinara bermaksud untuk keluar mencari pekerjaan. Namun, Riana tiba-tiba menghubunginya. Gadis itu menawarkan pekerjaan untuknya.
"Kinara, apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan?"
"Belum, aku masih mencari."
"Kalau begitu, kamu mau tidak bekerja di rumah Bu Tri? Dia menanyakanmu saat datang ke sini dan aku bilang kalau kamu sudah dipecat. Karena itu, dia menyuruhku menghubungimu dan menawarkan pekerjaan padamu. Kamu mau tidak?"
"Memangnya, pekerjaan apa yang dia tawarkan padaku?"
"Menjaga cucunya. Katanya, hanya untuk beberapa bulan saja. Setelah tugas orang tuanya selesai di luar negeri, mereka akan mengambilnya. Bagaimana, kamu bersedia, kan?"
Kinara tampak berpikir.
"Tidak usah berpikir lagi. Sekarang kamu pergi ke rumahnya. Nanti aku kirimkan alamat rumahnya padamu. Sudah, ya."
Kinara mengembuskan napas pelan. Dia memutuskan untuk menerima tawaran itu. Dia segera menuju ke alamat yang dimaksud.
Di depan sebuah rumah yang megah, Kinara berdiri. Dia tampak ragu untuk masuk ke rumah itu hingga dia terkejut saat bunyi klakson membuyarkan lamunannya.
Sebuah mobil hitam masuk ke halaman rumah itu. Tampak seorang lelaki keluar dari mobil dan berjalan menghampirinya.
"Kamu siapa? Kenapa kamu berdiri di depan rumahku?" tanya lelaki itu.
"Maaf, aku ...."
"Kinara! Ayo, cepat masuk!" Bu Tri, wanita paruh baya yang dikenal Kinara saat masih bekerja di hotel seketika memanggilnya. Wanita itu lalu menghampiri mereka.
"Ayo, masuk!" ajaknya sembari meraih tangan Kinara dan membawanya ke dalam rumah.
Lelaki itu hanya melihat ibunya yang tampak senang saat bersama Kinara. Tanpa bertanya, dia lalu mengikuti mereka.
"Maaf, Nak Kinara. Ini putra Ibu, Nathan. Dia tidak tahu kalau kamu akan datang ke sini," ucap Bu Tri memperkenalkan putranya itu pada Kinara.
"Bu, memangnya ada apa?"
"Nathan, Kinara akan bekerja di sini. Dia akan menjaga dan mengasuh Putri. Kamu tidak keberatan, kan?"
Nathan hanya diam. Dia tahu, ibunya sangat kerepotan karena harus menjaga keponakannya itu. Di usianya yang sudah senja, dia malah harus menjaga cucunya. Sementara dirinya, tidak punya waktu untuk membantu karena harus bekerja.
"Kalau itu keinginan Ibu, aku ikut saja, tapi kamu bisa 'kan menjaga keponakanku? Maaf, aku hanya tidak ingin memperkerjakan orang yang salah. Karena itu, aku butuh orang yang sabar dan telaten. Apa kamu sanggup?"
Kinara mengangguk pelan. "Insya Allah, aku sanggup, Pak," jawab Kinara singkat.
"Baiklah. Kalau begitu, apa kamu bisa bekerja hari ini juga? Untuk gajimu, aku rasa tidak akan ada masalah. Kalau kinerjamu baik, aku akan memberikan gaji yang pantas untukmu. Namun, jika dalam tiga hari kamu tidak bisa bekerja dengan baik, maka kamu harus bersiap untuk meninggalkan rumah ini," ucap Nathan.
"Baiklah, aku setuju."
Hari itu juga, Kinara mulai berkerja di rumah itu. Setelah sepakat, dia akhirnya dipersilakan untuk tinggal di sana. Dia akan menempati sebuah kamar di bagian belakang yang dikhususkan untuk asisten rumah tangga.
Kinara masuk ke kamar yang dua kali lebih luas dari kamar kostnya itu. Dia cukup kagum karena di kamar itu sudah tersedia beberapa perlengkapan yang dibutuhkan. Sebuah lemari kayu dan meja rias kecil tampak berada di sisi ruangan. Springbed dengan ukuran sedang tampak rapi dengan seprai yang menutupinya.
"Apa masih kurang?" tanya Bu Tri yang kini berdiri di samping Kinara.
"Tidak, Bu. Kamar ini sudah sangat mewah bagiku," jawab Kinara sambil meletakkan tas yang berisikan beberapa pakaiannya.
"Ya, sudah kalau begitu. Setelah ini temui Ibu di ruang tengah, ya. Ibu akan memperkenalkanmu pada cucu Ibu."
"Baik, Bu."
Bocah perempuan berusia 4 tahun tampak duduk di samping Bu Tri ketika Kinara datang menemui mereka. Gadis kecil berparas cantik itu sementara memegang sebuah boneka barbie di tangannya.
"Putri, ini Kak Kinara yang akan menjaga Putri sampai Papa dan Mama Putri kembali.  Ayo, beri salam, Nak," ucap Bu Tri.
Gadis kecil itu menatap Kinara yang mengulurkan tangan untuk bersalaman. Sesaat, dia hanya menatap dan setelah itu dia pun menerima uluran tangan Kinara dengan ekspresi yang datar.
"Nenek tinggal dulu, ya. Putri main sama Kak Nara."
Bu Tri lantas meninggalkan mereka. Kinara lalu duduk di depan Putri. "Apa Kakak bisa ikut main bersama Putri?"
Gadis kecil itu hanya diam. Dia memeluk boneka barbie dengan erat.
"Kakak dulu juga punya boneka seperti ini. Bukankah dia akan semakin cantik jika kita dandani?"
Putri menatapnya. Kinara bisa melihat ekspresi wajah gadis kecil itu yang mulai berubah.
"Apa Kakak mau main denganku?"
"Tentu saja. Memangnya, Putri mau main apa?"
Seketika Putri berdiri. Dia meraih tangan Kinara dan mengajaknya ke sebuah ruangan.
Tampak aneka mainan dan boneka yang teronggok di lantai ruangan itu. Namun, Putri tidak mengambil mainan-mainan itu, melainkan dia mengambil pigura dan menunjukkannya pada Kinara.
"Bisakah aku bertemu dengan mama dan papa?"
Kinara tidak bisa menjawab. Dia berdiri mematung karena dia tidak tahu harus menjawab apa.
"Apa Putri merindukan mama dan papa?"
Kinara mengalihkan pandangan pada Nathan yang kini menghampiri Putri. Lelaki itu tampak sabar saat membujuknya. Putri kini diam dalam gendongannya.
Setelah Putri mulai tenang, Nathan memerintahkan Kinara untuk ikut dengannya.
Di ruang tengah, Kinara duduk di depan lelaki itu. Dia menatap Kinara dengan lekat. Tatapannya membuat Kinara merasa kalau tatapan itu pernah dia lihat sebelumnya.
"Ah, tatapan itu. Kenapa aku merasa kalau tatapan itu tidak asing bagiku?" batin Kinara.
Nathan lantas menjelaskan tentang sikap keponakannya itu. "Maaf, seharusnya dari awal aku menceritakan hal ini padamu. Sebenarnya, Putri telah kehilangan orang tuanya beberapa bulan yang lalu."
"Apa maksudmu?"
"Kakak perempuanku dan suaminya tewas saat perjalanan pulang ke Indonesia dalam kecelakaan pesawat yang mereka tumpangi. Kami sengaja tidak memberitahukan Putri karena kami khawatir dia akan bersedih. Karena itu, aku mohon tolong bantu dia agar bisa menerima kenyataan ini dan membantunya agar bisa ceria kembali. Kamu bisa, kan?"
Kinara menatap Nathan yang kini menitikkan air mata. Kinara bisa melihat ada kecemasan dan kesedihan dari tatapan matanya itu.
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Kinara yang menyanggupi permintaan Nathan.
Lelaki itu tersenyum walau air mata jatuh membasahi pipinya. Air mata yang membuat Kinara kembali merasakan sesuatu yang pernah dia rasakan sebelumnya.
"Perasaan apa ini? Kenapa saat melihatnya aku merasa sangat sedih?" batin Kinara yang tanpa terasa ikut menitikkan air mata.
To Be Continued ...

Komento sa Aklat (190)

  • avatar
    Jemris

    novel ini adalah salah satu novel terbaik selama saya membaca di NOVELAH. Alur ceritanya rapih tidak tumpang tindih, setiap alur cerita mampu menggugah pembaca. Terimakasih "Mak Halu" buat karya yang satu ini👍

    06/03/2022

      5
  • avatar
    adhityakeefa

    makasih jj

    2d

      0
  • avatar
    SantosoAgung

    keren

    8d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata