logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 2

Wanita yang berumur 70 tahun itu menatap  kalung yang berada di tangan salah satu petugas kepolisian. Matanya yang mulai rabun menatap dengan intens pada kalung itu. Karena penasaran, dia lalu mendekat. Sontak, dia terkejut seakan mengenali kalung itu.
"Berikan kalung itu padaku! Kalung itu milikku!" serunya.
"Maaf, Nek. Jangan mengganggu penyelidikan kami. Ini bukan kalung Nenek!" bantah petugas itu.
"Tidak mungkin! Aku tidak mungkin salah. Itu adalah kalung ibuku. Kalung itu diberikan pada kakak lelakiku untuk diberikan pada calon istrinya kelak. Aku tidak mungkin salah."
"Hei, wanita tua! Jangan asal mengaku saja. Kalung itu milikku!" seru wanita itu tidak mau kalah.
"Milikmu? Apa buktinya kalau kalung itu milikmu?"
"Lalu, apa kamu sendiri bisa membuktikan kalau kalung itu milikmu?"
"Tentu saja aku bisa membuktikannya. Pak polisi, coba lihat liontin itu baik-baik. Bukankah ada patahan di sampingnya?"
Petugas itu lantas melihat ke bagian liontin seperti yang diucapkan wanita tua itu. Memang benar, ada sedikit patahan di ujung liontin itu.
"Liontin itu patah saat kakakku mengalami kecelakaan waktu itu. Dan ini adalah sambungannya."
Mereka terkejut saat wanita itu mengeluarkan serpihan kecil batu zamrud yang serupa dengan warna liontin itu.
"Nona, di mana kamu menemukan liontin ini? Apa kamu tahu di mana kakakku sekarang?" tanya wanita itu sembari menitikkan air mata.
"Maaf, Nek. Aku menemukan liontin itu di pesisir pantai saat berkunjung ke desa dan aku sama sekali tidak tahu tentang pemilik kalung itu," jawab Kinara yang terlihat sedih saat melihat wanita itu menangis.
Wanita itu kini terduduk dan menangis. Dia terlihat begitu putus asa. "Kakak, kakak ada di mana? Kenapa kakak pergi tanpa mengatakan apa pun padaku?" ucap wanita itu sambil menangis.
Kinara lantas menghampirinya. Dia lalu meraih tangan wanita itu dan menggenggamnya erat.
"Jika kalung itu memang milik Nenek, maka aku akan mengembalikannya. Nenek yang lebih berhak memilikinya. Karena itu, Nenek jangan menangis lagi, ya."
Wanita itu lalu menatapnya. Dia tersenyum sembari menyentuh wajah Kinara dengan lembut. "Terima kasih, Nak. Setidaknya, aku sudah menemukan kalungnya. Namun, hingga saat ini jasad kakakku tidak pernah ditemukan. Sudah puluhan tahun aku mencari dan bertanya di setiap kantor polisi, tapi hasilnya selalu nihil. Mereka tidak tahu keberadaannya," ucap wanita itu sambil menyeka air matanya.
Kinara lalu memeluknya. Dia sangat memahami kesedihan wanita itu. Dia pernah merasakan bagaimana sedihnya kehilangan orang-orang yang disayangi.
Kinara lalu memberikan kalung tersebut pada wanita tua itu. Dengan tangan gemetar, wanita itu menerima kalung tersebut seraya menciumnya dengan derai air mata.
"Kakak, maafkan aku. Semoga kakak tenang di mana pun kakak berada. Maaf, aku tidak bisa menemukanmu."
Wanita itu kembali menangis. Karena kasihan, Kinara memutuskan untuk mengantarnya pulang.
"Riana, kamu kembali saja dulu. Aku akan mengantarnya pulang. Kasihan, aku tidak mungkin membiarkannya pulang sendiri dengan keadaan seperti ini."
"Tapi Kinara, Pak Yunus tidak akan mau tahu dengan alasanmu itu. Dia pasti akan menghukummu."
"Tidak usah khawatir. Sebaiknya kamu pergi saja. Aku tidak akan lama. Setelah mengantarnya sampai di rumah, aku langsung kembali ke hotel."
Riana akhirnya kembali ke hotel. Sementara Kinara mengantar wanita itu kembali ke rumahnya.
Wanita itu ternyata tinggal seorang diri. Di sebuah rumah sederhana, dia tinggal dan menjalani masa tuanya tanpa seorang pun di sisinya. Kinara begitu prihatin saat mengantarnya masuk ke kamar yang hanya bisa ditempati oleh satu orang saja.
"Nenek istirahat, ya," ucap Kinara saat wanita itu sudah berbaring.
"Namamu siapa, Nak?"
"Namaku Kinara, Nek."
"Ah, nama yang sangat cantik. Kamu pasti suka ke pantai. Iya, kan?"
"Iya, Nek. Aku sangat suka dengan pantai. Karena itulah, aku menemukan kalung itu."
Wanita itu lalu melihat kembali kalung di tangannya. Dia tersenyum getir dengan air mata yang perlahan jatuh.
"Kalung ini adalah kalung peninggalan ibuku. Dia memberikannya pada kakakku untuk diberikan nanti pada wanita yang dicintainya. Namun, hingga saat ini aku tidak pernah melihatnya lagi. Dia pergi untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang prajurit dan tidak pernah kembali lagi. Sudah bertahun-tahun aku mencari keberadaannya, tapi aku tidak dapat menemukannya. Hanya kalung ini saja yang menjadi saksi di mana kakakku berada."
Wanita itu menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu. Kakaknya adalah seorang prajurit yang ditugaskan ke sebuah desa. Desa yang jaraknya cukup jauh pada saat itu. Setahun berlalu, keluarganya kehilangan kontak, hingga mereka mendengar kabar kalau kakaknya itu telah menghilang dan hingga kini jasadnya tidak ditemukan.
Wanita yang bernama Kinasih itu mencoba mengingat kembali wajah kakaknya itu. Hanya memori diingatannya saja yang menjadi kenangan bersama sang kakak.
Lelaki yang saat itu berusia 21 tahun memiliki wajah yang tampan. Dia sangat gagah dengan seragam prajurit yang dikenakannya. Dia menjadi pusat perhatian dari setiap wanita yang memandangnya. Terkadang, sang adik tersenyum saat melihat kakaknya dilirik oleh wanita-wanita itu.
"Kakakku itu sangat tampan. Aku hanya bisa mengingatnya dalam ingatanku saja. Dia lelaki yang sangat baik dan penyayang. Dia bilang kalau dia akan kembali dan membawa pulang seorang istri yang cantik. Namun, hingga saat ini dia tidak pernah kembali lagi. Kini, yang aku dapatkan hanya kalung ini saja."
Nenek Kinasih hanya bisa menahan air mata. Dia sudah lelah dalam mencari keberadaan sang kakak. Dia tidak bisa hidup dengan tenang.
Kinara mendengar setiap kalimat yang dilontarkan wanita itu. Dia sangat prihatin dan kagum dengan kasih sayang seorang adik terhadap kakaknya yang telah hilang lebih dari 50 tahun lalu itu. Bahkan, Nenek Kinasih tidak memikirkan hidupnya sendiri. Dia lebih memilih hidup tanpa berkeluarga hanya untuk mencari keberadaan sang kakak.
Dalam perjalanan pulang, Kinara masih memikirkan wanita itu. Dia begitu khawatir dengan kesehatannya yang mulai terganggu. Hidup seorang diri tanpa seseorang yang merawatnya adalah pilihan hidup yang sangat menyedihkan.
"Apa yang kamu lakukan? Apa kamu pikir hotel ini punya nenek moyang kamu? Enak saja datang dan pergi tanpa mengatakan apa pun. Apa kamu ingin dipecat?"
Teriakan sang manajer membuyarkan lamunan Kinara. Dia segera berlari menghampiri lelaki itu.
"Cepat masuk! Kamu pasti akan dihukum sama bos kita yang baru."
Kinara lalu masuk. Dia kemudian bergabung dalam barisan yang dikumpulkan di sebuah ruangan. Namun, dia terkejut saat seorang lelaki muda memerintahkan dirinya keluar dari dalam barisan.
"Siapa yang menyuruhmu masuk dalam barisan? Berdiri di sana!" perintahnya pada Kinara.
Kinara terkejut. Dia hanya bisa menuruti perintah lelaki itu. Dia lalu berdiri di sudut ruangan seorang diri.
"Apa jangan-jangan dia bos baru yang dimaksud oleh Riana?" batin Kinara sambil sesekali melihat ke arah lelaki itu.
Lelaki itu terlihat tegas dengan sikapnya yang terkesan kejam. Dia menatap satu per satu karyawan hotel, hingga mereka dibuat ketakutan.
"Jika kalian melakukan kesalahan, maka aku akan memecat kalian. Masih banyak di luar sana yang mengharapkan pekerjaan kalian. Jadi, jika masih ingin bekerja di sini, maka jangan cari masalah denganku. Paham!"
"Paham, Pak!" jawab mereka serempak.
Lelaki itu kemudian pergi. Dia lalu berdiri di depan Kinara. "Ikut aku!"
Kinara tampak khawatir. Dia lalu mengikutinya dan masuk ke ruangan di mana lelaki itu masuk.
"Apa kamu tahu kesalahanmu?"
Kinara menunduk. Dia lalu mengangguk.
"Kalau begitu, kamu sudah tahu 'kan apa yang harus kamu lakukan?"
"Apa Bapak akan memecatku?"
"Lalu, apa kamu pikir aku akan mempertahankan karyawan yang bekerja tanpa mengikuti aturan dari hotel ini?"
"Tapi, setidaknya Bapak harus mendengarkan penjelasanku. Aku juga punya hak untuk membela diri. Aku tahu aku salah, tapi semua itu karena ada penyebabnya. Apa aku harus diam saja jika ada yang menuduhku mencuri padahal aku tidak pernah melakukannya?"
Lelaki itu menatap Kinara dengan tatapan yang tajam. Kinara tidak peduli. Dia tidak takut walau lelaki itu akan membunuhnya sekalipun.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar. Lelaki itu lalu mempersilakan orang itu untuk masuk. Tampak Pak Yunus datang bersama Riana.
"Jadi, kalian berdua akan aku dipecat!" ucapnya pada Riana dan Kinara.
Riana tampak menangis. Dia memohon untuk tidak dipecat. Sementara Kinara bergeming. Dia menatap lelaki itu dengan tajam.
"Apa salah kami? Apa karena kami hanya bawahan lantas bisa disalahkan tanpa mencari tahu kebenarannya? Wanita itu telah berbohong dan menuduh kami mencuri. Apa Bapak tidak menaruh simpati pada karyawan Bapak yang diperlakukan dengan tidak adil? Apa kami hanya dijadikan sebagai pencari keuntungan buat hotel ini saja?"
"Kinara, jaga ucapanmu itu! Kamu ...."
"Kenapa? Apa kami tidak bisa bersuara? Kami bekerja bukan hanya untuk mengisi perut kami, tapi juga untuk orang-orang yang kami cintai. Apa hanya karena kesalahan yang tidak kami lakukan, lantas kami bisa diperlakukan seperti ini?"
Kinara menahan air mata. Dia tidak peduli dengan tatapan bos barunya itu.
"Lalu, kamu ingin aku melakukan apa? Apa kamu ingin hotel ini hancur karena sikap kalian itu?" tanya lelaki itu.
"Aku akan berhenti, tapi bukan berarti aku mengakui kesalahan yaang tidak aku lakukan. Aku akan berhenti, asalkan Riana tetap bekerja di sini. Dia lebih membutuhkan pekerjaan ini karena dia adalah tulang punggung keluarganya. Aku akan berhenti saat ini juga."
"Kinara, maafkan aku," ucap Riana sembari menangis.
"Jangan khawatir, aku bisa mencari pekerjaan di tempat lain. Lagi pula, aku tidak butuh atasan yang hanya bisa mendengar dari sepihak saja," ucap Kinara sambil melirik lelaki yang duduk di depannya itu. "Apa sudah selesai? Kalau begitu, aku permisi."
Kinara lalu meninggalkan ruangan itu. Dia tidak peduli pada lelaki yang kini menatapnya. Dia tidak peduli walau dia sendiri akan berakhir seperti apa. Baginya, lebih baik pergi daripada disalahkan atas perbuatan yang tidak dia lakukan.
Kinara terus melangkah. Dia sudah bertekad untuk meninggalkan pekerjaan yang belum lama ini ditekuninya.
"Maaf, Pak. Aku akan segera merekrut karyawan baru untuk menggantikannya," ucap Pak Yunus.
"Kalau begitu, lakukan saja. Aku tidak butuh karyawan yang hanya suka membantah."
Riana masih menangis. Dia menatap bosnya itu.
"Ada apa? Apa kamu juga ingin dipecat?" tanya lelaki itu.
"Maafkan saya, Pak, tapi Kinara tidak bersalah. Dia adalah karyawan yang paling rajin di hotel ini. Dia bahkan lebih baik dari semua orang yang ada di hotel ini. Semoga Bapak tidak akan menyesal karena sudah memecatnya."
Riana lalu pergi. Sementara lelaki itu hanya diam. Dia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju jendela. Dia melihat ke bawah di mana Kinara tampak meninggalkan hotel itu.
Di bawah sana, Kinara masih sempat membantu seorang wanita yang membutuhkan bantuannya. Sembari tersenyum, dia membantu wanita itu menuju ruang lobi di mana seorang lelaki muda sedang menunggunya.
"Apa dia memang tidak bersalah? Apa aku terlalu tegas padanya?" batin lelaki itu.
Kinara kembali ke kamar kostnya. Dia tidak bisa menyembunyikan kesedihan karena mulai saat ini dia adalah seorang pengangguran. Namun, dia tidak putus asa. Dia telah bertekad untuk mencari pekerjaan yang baru.
Sudah tiga hari Kinara mencari pekerjaan. Namun, dia tak kunjung mendapatkannya. Beruntung, dia masih punya tabungan untuk beberapa bulan ke depan.
Saat bibinya menelepon, Kinara selalu mengatakan kalau dia baik-baik saja. Dia selalu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Dia tidak ingin menambah kesedihan mereka.
Suatu hari, Kinara keluar untuk kembali mencari pekerjaan. Dari toko ke toko, dari satu perusahaan ke perusahaan lain, dia mencoba mengais keberuntungan. Namun, keberuntungan itu belum berpihak padanya.
Saat jam makan siang, dia bermaksud untuk membeli nasi goreng di salah satu gerobak di pinggir jalan. Tidak sengaja, dia melihat wanita tua yang belum lama ini ditemuinya.
"Bukankah itu Nenek Kinasih?"
Kinara lalu menghampirinya. Wanita itu tampak lelah. Dia berjalan dengan langkah yang mulai goyah.
"Nek Kinasih, apa yang Nenek lakukan di sini?"
Melihat Kinara, wanita itu berhenti sejenak.
"Kinara, apa itu kamu, Nak?"
"Iya, Nek. Ini aku, Kinara. Apa Nenek baik-baik saja?"
Kinara lalu merangkulnya. Namun, wanita itu tiba-tiba ambruk. Kinara segera meraih tubuh yang renta itu dalam pangkuannya.
"Nek, bangun, Nek!"
Beberapa orang yang melihat mereka lantas mendekat. Kinara tampak cemas saat melihat wajah renta itu telah memucat.
"Aku mohon, cepat hubungi rumah sakit terdekat. Aku mohon," pinta Kinara.
Beberapa orang lantas mengangkat tubuh Nenek Kinasih dan membawanya ke sebuah mobil. Kinara lalu ikut masuk. Mobil itu kemudian melaju dan membawa mereka ke rumah sakit.
"Apa Anda keluarganya?" tanya seorang perawat.
"Aku ... aku cucunya," jawab Kinara tanpa ragu sedikit pun.
"Baiklah, silakan ikut saya."
Kinara lalu mengikuti perawat itu. Setelah menunggu beberapa saat, seorang dokter keluar dari ruang IGD dan menemuinya.
"Maaf, apa kamu keluarganya?"
"Iya, Dok. Memangnya, apa yang terjadi pada nenek saya?"
"Dia menderita kanker usus yang sudah sangat parah. Kenapa baru sekarang kamu membawanya ke rumah sakit? Jika sudah seperti ini, kami tidak bisa melakukan apa pun. Karena itu, luangkan waktumu selama sisa hidupnya," ucap dokter yang membuat Kinara menitikkan air mata.
Kinara terdiam. Dia terduduk sembari menahan tangisnya. Setelah menenangkan diri, dia lalu masuk menemui nenek Kinasih. Melihatnya, wanita itu tersenyum.
"Apa kamu yang membawa Nenek ke sini?"
Kinara mengangguk. Dia berusaha menahan air matanya.
"Seandainya Nenek punya anak atau cucu sepertimu, Nenek pasti akan sangat senang. Apa dokter itu sudah mengatakannya padamu? Lalu, berapa lama sisa waktu Nenek hidup di dunia ini?"
Kinara terdiam. Dia tidak sanggup menjawab.
"Apa kamu kasihan pada Nenek? Ah, tidak usah menangis untuk wanita tua sepertiku. Setidaknya, Nenek bisa meninggalkan dunia ini dengan tenang dan bisa bertemu dengan kedua orang tuaku dan juga kakakku. Nenek sudah sangat ingin bertemu dengan mereka." Air bening membasahi sudut matanya yang keriput. Kinara ikut menangis.
"Nenek ingin pulang dan mati dengan tenang di rumah Nenek sendiri. Kinara, apa kamu bisa membawa Nenek pulang?"
"Tapi, Nek ...."
"Tidak ada yang bisa menahan kematian walau kita memaksa dengan kecanggihan apa pun. Mati akan menjadi jalan bagiku untuk bertemu dengan orang-orang yang aku cintai. Aku sudah lelah dan sudah saatnya aku pergi. Kamu bisa 'kan membawa Nenek pulang?"
Kinara mengangguk. "Kalau begitu, Nenek tunggu di sini, ya. Aku akan menyelesaikan biaya administrasi dulu. Sebentar, ya, Nek."
Kinara lalu pergi. Sepanjang langkahnya, dia terus menitikkan air mata. Dia begitu iba pada Nenek Kinasih yang tidak akan lama lagi hidup di dunia.
Tanpa dia sadari, ada seseorang yang memperhatikannya. Orang itu melihat Kinara yang membawa Nenek Kinasih keluar dari ruang IGD.
"Revan, kamu lihat apa?" tanya seorang lelaki yang mengenakan jubah dokter.
"Bukan apa-apa. Sekarang, apa aku sudah bisa pulang?"
"Sudah, tapi sebaiknya kamu harus banyak beristirahat. Aku tahu, kamu pasti sibuk mengurus hotel itu, tapi kamu juga harus memikirkan kondisimu saat ini. Jika tidak, kamu akan terus menderita karena mimpi burukmu itu."
"Baik, Pak Dokter. Kalau begitu, aku pamit dulu."
Lelaki yang bernama Revan itu akhirnya pergi. Dia masih sempat melihat Kinara yang pergi dengan menumpang taksi. Saat melihat Kinara melintas di depannya, lelaki itu merasakan sesuatu yang nyeri di dadanya. Dia menahan rasa sakit yang pernah dirasakan sebelumnya.
"Ah, kenapa aku seperti ini? Bukannya membaik, tapi kenapa sakit ini semakin menjadi sejak aku bertemu dengannya?"
To Be Continued ...

Komento sa Aklat (190)

  • avatar
    Jemris

    novel ini adalah salah satu novel terbaik selama saya membaca di NOVELAH. Alur ceritanya rapih tidak tumpang tindih, setiap alur cerita mampu menggugah pembaca. Terimakasih "Mak Halu" buat karya yang satu ini👍

    06/03/2022

      5
  • avatar
    adhityakeefa

    makasih jj

    2d

      0
  • avatar
    SantosoAgung

    keren

    8d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata