logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Chapter 4

Ziyan Altaf, lelaki berusia 28 tahun itu sudah terlihat rapi. Setelan jas hitam yang melekat di tubuhnya membuatnya terlihat tampan dan maskulin. Tubuhnya yang tegap dan gagah menambah pesonanya yang selalu berhasil menarik perhatian lawan jenis. Duda beranak satu itu memiliki ketampanan yang diidamkan oleh para wanita.
Tak hanya memiliki wajah yang tampan, tetapi kekayaan dan juga kemapanan menjadi nilai tambah yang membuat tiap wanita mendambakannya. Tak peduli dengan statusnya yang memiliki seorang putri berusia empat tahun.
Pagi itu, Ziyan sudah bersiap ke kantornya. Sementara Amira baru saja memandikan Indah dan sedang memakaikannya baju. Setelah selesai, dia lantas mengantar gadis kecil itu pada ayahnya.
"Putri Papa sudah cantik. Ayo, kita sarapan!" ajak Ziyan sambil mendudukkan gadis kecil itu di sampingnya.
Amira tersenyum melihat kedekatan mereka. Dia berniat meninggalkan mereka, tetapi Indah mengajaknya untuk duduk. "Kakak, sini! Ayo, duduk dekat Indah!" serunya.
Amira hanya tersenyum. "Maafkan Kakak, tapi Kakak tidak bisa. Indah duduk sama Papa saja, ya." Amira menolak secara halus, tetapi gadis kecil itu terlihat tidak suka dengan jawabannya. Wajahnya cemberut sembari menatap ayahnya.
"Amira, ayo duduk!"
"Tapi, Pak ...."
"Ayo, Kak, duduk sini!"
Amira terpaksa menurutinya. Bahkan, Indah memintanya untuk sarapan bersama. Amira terlihat sungkan karena bagaimanapun, dia hanya bekerja bukan sebagai tamu.
Karena tidak ingin mengecewakan majikannya, Amira berusaha melakukan apa yang diperintahkan. Dia lantas menyiapkan apa yang dibutuhkan gadis kecil itu.
"Indah mau sarapan apa?" tanya Amira.
"Mau makan nasi goreng," tunjuknya antusias.
Amira lantas menyendok nasi goreng ke atas piring. Tak lupa air minum di sampingnya. "Mau Kakak suap atau mau makan sendiri?"
"Mau makan sendiri, Kak," jawab gadis kecil itu dengan sikapnya yang manja.
Amira meletakkan piring di depan gadis kecil itu. Ziyan memperhatikan mereka yang terlihat akrab. Dia tersenyum saat melihat putrinya makan sendiri. Padahal, biasanya dia selalu meminta untuk disuapi.
"Kenapa kamu tidak ikut sarapan?" tanya Ziyan pada Amira.
"Tempatku bukan di sini, Pak. Aku akan sarapan dengan Bi Inah di dapur."
Ziyan kembali melanjutkan sarapannya. Amira masih memperhatikan Indah dan sesekali membersihkan mulut gadis kecil itu. Selesai sarapan, Ziyan beristirahat sebentar sambil memeriksa ponselnya.
Amira dan Indah terlihat sibuk menata beberapa mainan yang akan digunakan gadis kecil itu. Ziyan memperhatikan Amira. Dia lantas memanggilnya, "Amira, kemarilah!"
Amira bergegas menemui majikannya itu. "Ada apa, Pak?"
Ziyan mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang pada Amira. "Ambil uang ini dan belikan semua keperluanmu."
Amira terlihat ragu-ragu. "Maaf, Pak, tapi uang sebanyak ini untuk apa?" tanya Amira yang terlihat sungkan.
"Uang ini untukmu. Bukankah tadi aku sudah bilang uang ini untuk membeli keperluanmu? Ayo, cepat ambil!"
Amira lantas menerimanya seraya menunduk. "Terima kasih, Pak!"
Ziyan hanya mengangguk. Amira kemudian membawa Indah kepadanya. "Papa berangkat kerja dulu, ya, Nak."
"Iya, Pa."
"Jangan nakal dan jangan melawan sama Kakak. Apa yang Kakak bilang, Indah harus turuti. Jika tidak, Kakak nanti pergi."
"Iya, Pa. Indah akan menuruti Kakak. Indah tidak ingin Kakak pergi," ucapnya sambil menggenggam tangan Amira. Ziyan tersenyum sembari mengelus lembut puncak kepala putrinya itu.
"Titip putriku, ya."
"Iya, Pak. Aku akan menjaganya."
Ziyan lantas pergi. Amira dan Indah berdiri di halaman sembari melambaikan tangan padanya.
Setelah kepergian Ziyan, Amira mengajak Indah ke kamar. Gadis kecil itu tampak antusias dan mengajaknya bermain bersama. "Kak, kita main masak-masak, yuk!" ajak Indah sambil mengeluarkan perlengkapan bermainnya.
Amira tersenyum seraya mengangguk. Dia memperhatikan gadis kecil itu yang tengah sibuk mengatur perlengkapan mainnya. "Hari ini, kita masak apa, Kak?" tanyanya sambil meletakan kuali kecil di atas kompor mainannya.
"Masak apa, ya? Terserah Indah saja," jawab Amira.
"Kalau begitu kita masak nasi goreng saja. Papa suka makan nasi goreng," jawabnya.
Amira mengangguk dan ikut bermain dengannya. Dia tersenyum melihat tingkah gadis kecil itu. Dia begitu gemas dengan tingkahnya yang begitu polos.
Tak hanya bermain, tetapi Amira juga belajar dengannya. Dengan telaten, dia mengajarkan cara menulis dan membaca. Indah rupanya anak yang pintar dan cepat tanggap.
Tak sulit bagi Amira untuk mengajarkannya. Gadis kecil itu menuruti apa yang diminta olehnya. Mereka terlihat tertawa bersama. Bermain sambil belajar. Itulah yang diajarkan Amira pada gadis kecil itu.
Ziyan baru saja tiba di kantornya. Seorang wanita berdiri menyambutnya. "Selamat pagi, Pak."
"Pagi, Nita," jawabnya.
Lelaki itu lantas masuk ke ruangan kerjanya. Dia meletakkan tasnya di atas meja. Dia kemudian duduk di kursi kerjanya sembari menyandarkan punggungnya.
Tatapan matanya tersirat kesedihan. Dia memikirkan putrinya yang kini dekat dengan seorang gadis yang sama sekali tidak pernah terbayang dalam benaknya. Seorang gadis yang begitu mudahnya menaklukkan hati putrinya itu.
Ziyan mengeluarkan sebuah album foto dari laci mejanya. Dia membuka satu per satu lembar foto yang terpampang wajah istrinya. Seuntai senyum terukir di wajahnya. "Rani, aku merindukanmu, sangat merindukanmu. Apakah kamu juga merindukanku?"
Ziyan membuka lembaran album itu dan melihat foto-foto putrinya saat masih bayi, tetapi dia tidak menemukan foto istrinya lagi. Hanya dirinya yang selalu bersama putrinya tanpa seorang istri di sampingnya.
Ziyan menutup album foto dan meletakkannya kembali di laci meja. Dia sadar, hidup harus terus berjalan walau kehidupannya kini terasa hampa tanpa kehadiran istrinya. Hanya putrinya yang membuatnya sanggup bertahan. Dan karena putrinya itu, dia harus bertahan dalam kesendirian karena tidak mudah baginya untuk mencari pengganti bagi dirinya dan juga putrinya.
Setelah menidurkan Indah, Amira pamit pada Bi Inah. Dia ingin keluar untuk membeli beberapa potong baju untuknya. "Bi, titip Indah, ya," pintanya pada wanita itu.
"Iya, Bibi akan menjaganya. Sebaiknya kamu cepat pergi dan jangan lama-lama. Bibi khawatir kalau Non Indah bangun nanti dan tidak melihatmu, dia akan menangis."
"Iya, Bi. Aku tidak akan lama, kok. Aku pergi, ya, Bi."
Amira lantas pergi. Dia berencana pergi ke pasar tradisional. Setidaknya, dia masih bisa berhemat. Uang yang diberikan Ziyan ternyata lebih dari cukup untuk membeli beberapa potong pakaian.
Setelah mendapatkan beberapa potong pakaian yang cocok, Amira lantas ke rumah sakit. Dia kini duduk di depan ibunya yang sedang terbaring.
"Ibu, jangan khawatir. Aku sudah bekerja pada orang yang baik. Dialah yang sudah membantuku. Karena itu, aku mohon cepatlah sadar," ucapnya sambil menggenggam tangan ibunya itu.
Setelah menjenguk ibunya, Amira lantas pulang. Saat tiba di rumah, Ziyan sudah menunggunya.
"Kamu dari mana?" tanya Ziyan dengan sorot mata yang tajam.
"Aku baru dari pasar dan ...."
"Bukankah aku sudah bilang untuk menjaga Indah? Apa membeli keperluanmu itu lebih penting dari putriku?"
"Tuan, ini salah saya. Saya tidak bisa mencegah Non Rina membawa Non Indah. Saya sudah melarangnya, tapi ...."
"Sudahlah, Bi! Mulai saat ini, jangan biarkan siapa pun membawa putriku lagi. Tak peduli itu Rina atau siapa pun! Mengerti!"
Wanita itu mengangguk. Amira yang merasa bersalah hanya bisa menunduk. Ziyan menatapnya kesal.
Sejak kejadian di restoran waktu itu, Ziyan sudah tidak memercayakan putrinya pada Rina. Saat Bi Inah menghubunginya dan memberitahukan kalau Rina membawa Indah, dia langsung bergegas pulang. Dia berusaha menghubungi Rina, tetapi wanita itu tidak mengangkat teleponnya.
Satu jam kemudian, Rina kembali. Ziyan lantas mengambil putrinya dari wanita itu dan memberikannya pada Amira. "Bawa Indah ke kamar."
Amira lantas membawa gadis kecil itu ke kamarnya. Dia bisa melihat kemarahan dari tatapan lelaki itu. Tatapan kecemasan atas keselamatan buah hatinya.
"Kenapa perempuan itu ada di sini? Ziyan, apa kamu ...."
"Itu bukan urusanmu!"
Wanita itu terkejut. Dia menyadari kalau lelaki itu terlihat marah.
"Ini kali terakhir kamu pergi bersamanya. Jangan pernah membawa putriku lagi tanpa seizinku. Mengerti!"
"Ziyan, kenapa kamu begitu egois? Aku tantenya. Ingat, Rani itu kakakku! Ibu dari anakmu. Apa untuk bertemu dengan keponakanku sendiri aku harus minta izin dulu padamu?"
"Ya! Karena dia putriku dan aku tidak ingin dia mengalami hal buruk. Sudah cukup kamu mempertontonkan perhatianmu karena kamu tidak akan pernah bisa menyamakan dirimu dengan Rani. Dan ingat, aku tidak akan pernah menikah denganmu. Mengerti!"
Wanita itu tersentak. "Apa maksudmu? Bukankah, kamu sudah berjanji pada orang tuaku untuk menikahiku?"
"Aku sudah menghubungi ayahmu dan menolak pernikahan ini. Jadi, jangan berharap lagi padaku. Sebaiknya, perlakukan aku selayaknya iparmu!"
Ziyan kemudian masuk ke kamar putrinya. Melihatnya pergi, Rina terlihat kesal. Dia mengepalkan tangannya. Dia marah karena merasa terhina dengan penolakan Ziyan. Dengan kesal, dia lantas meninggalkan tempat itu.
Di dalam kamar, Amira duduk sambil memangku Indah. Gadis kecil itu memeluknya erat. Melihat ayahnya datang, gadis kecil itu menangis. Ziyan lantas menggendongnya.
"Putri Papa kenapa menangis?"
Ziyan menyeka air mata putrinya. Gadis kecil itu memeluknya erat. Dia masih menangis.
Melihatnya menangis, Amira terlihat sedih. Dia ingin mendekat, tetapi dia enggan melakukannya. Dia lantas bergegas meninggalkan mereka, tetapi langkahnya terhenti saat gadis kecil itu memanggilnya, "Mama! Jangan pergi, Ma!"
Amira terkejut. Begitu pun dengan Ziyan. Gadis kecil itu mengulurkan tangannya pada Amira dan memanggilnya dengan sebutan mama.
"Apa maksud Indah?" tanya Ziyan.
"Indah ingin punya Mama, Pa. Kata Tante Rina, mama Indah sudah mati dan tante akan menjadi mama Indah, tapi Indah tidak mau. Indah ingin Kakak yang menjadi mama Indah," tunjuknya pada Amira.
Gadis kecil itu menangis. Ziyan memeluknya erat. Dia menitikkan air mata. Melihat mereka menangis, Amira turut menitikkan air mata. Dia lantas meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya.
Ziyan mencoba menenangkan putrinya. Gadis kecil itu kemudian tertidur dalam gendongannya. Ada rasa bersalah saat melihat putrinya menangis. Terlebih, saat dia mengatakan tentang ibunya yang telah tiada.
Mendengar itu, Ziyan tidak kuasa menahan air mata. Dia sangat menyayangi putrinya dan berusaha menjaga perasaannya. Dia berusaha menjadi ayah sekaligus ibu untuknya. Dan kini, gadis itu mendambakan untuk memiliki seorang ibu. Ibu yang bisa memberikannya perhatian dan kasih sayang.
"Maafkan Papa, Nak. Papa tidak bisa menuruti permintaanmu. Papa ingin memberikan yang terbaik untukmu. Papa tidak ingin salah pilih hingga membuatmu menderita. Papa akan bertahan demi kamu, Nak."
Ziyan menyeka air matanya. Setelah putrinya tertidur, dia lantas ke kamarnya. Hatinya kalut. Dia merasa gagal sebagai orang tua. Dia tidak bisa memberikan apa yang diharapkan oleh putrinya.
Di depan cermin, dia menatap wajahnya. Matanya merah karena bendungan air mata. Rasa cintanya pada mendiang istrinya terlalu kokoh untuk tergantikan. Dia telah menutup hatinya untuk cinta. Karena dia khawatir, wanita yang akan menjadi istrinya kelak tidak bisa menerima putrinya.
Setelah Ziyan keluar dari kamar putrinya, Amira lantas masuk. Dia duduk di samping gadis kecil itu. Dia menatapnya sedih.
"Kamu pasti merindukan ibumu. Kita memiliki nasib yang sama. Jangan khawatir, aku akan memberikan kasih sayangku padamu. Aku menyayangimu. Tidurlah yang nyenyak dan lupakan kejadian hari ini. Mulai saat ini, kamu jangan menangis lagi."
Amira membelai puncak kepala gadis kecil itu dengan lembut. Dia lantas berbaring di sampingnya. Dia menatap wajah polos yang tertidur lelap. Dia kini tertidur di samping gadis kecil itu.
"Bi, mana Amira?" tanya Ziyan pada Bi Inah.
"Mungkin di kamarnya, Tuan."
"Tidak ada. Aku sudah mengetuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban."
"Mungkin dia di kamar Non Indah, Tuan."
Ziyan lantas ke kamar putrinya. Benar saja, dia melihat Amira tertidur di samping putrinya. Mereka berdua tidur lelap. Melihat mereka tertidur, Ziyan akhirnya meninggalkan tempat itu. 
Menjelang sore, Amira terbangun. Dia tersenyum saat melihat Indah masih tertidur di sampingnya. Dia membelai lembut wajah gadis kecil itu.
"Mama."
Amira terkejut saat gadis kecil itu memeluknya. Dia tidak mengelak. Bahkan, dia membalas memeluknya. Indah membuka matanya seraya tersenyum. Dia terlihat bahagia saat berada dalam pelukan Amira.
"Mama jangan pergi, ya. Indah ingin Mama tetap ada di sini."
Gadis kecil itu kembali memeluk Amira. Amira hanya mengangguk. Pikirnya, itu hanyalah sebuah permintaan sesaat. Namun, permintaannya itu kembali terucap saat mereka sedang makan malam.
"Papa, apa boleh Kakak menjadi mamaku?"
Ziyan tersedak. Dia kemudian meminum segelas air. "Indah, jangan tanyakan itu lagi, ya? Itu tidak mungkin, Nak," jawab Ziyan selembut mungkin.
"Kenapa tidak mungkin, Pa?"
Air mata sudah membendung di pelupuk mata gadis kecil itu. Ziyan lantas mendekatinya. Dia berusaha membujuk putrinya itu.
"Indah sayang sama Kakak. Indah tidak mau Kakak pergi. Karena itu, Kakak harus tetap ada di sini," rengeknya.
Ziyan terdiam. Pandangannya kini tertuju pada Amira yang berdiri di depannya. Amira meletakkan sepiring lauk di atas meja. Dia kemudian mendekati gadis kecil itu. "Kakak tidak akan pergi. Jadi, Indah jangan menangis lagi, ya?" bujuknya.
Gadis kecil itu mengangguk. Amira memeluknya dan menenangkannya. Dia kemudian menyuapinya.
Sementara Ziyan, kini berada dalam dilema. Permintaan putrinya telah mengacaukan pikirannya.
Malam itu, dia tidak bisa tidur. Dia terlihat gelisah. Bagaimana bisa dia memenuhi permintaan putrinya itu.
Selama ini, putrinya tidak pernah meminta yang macam-macam. Namun, permintaannya kali ini membuat Ziyan harus mencari cara untuk bisa menolak.
Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, tetapi Ziyan masih terjaga. Dia sudah menghabiskan empat cangkir kopi. Padahal, dia sudah meninggalkan kebiasaannya itu sejak menikah dengan Rani.
Amira yang baru terbangun lantas menuju ke dapur. Dia terkejut saat melihat lampu dapur menyala. "Apa yang Bapak lakukan?"
Ziyan tersentak. Cangkir kopi di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai. Amira lantas bergegas mengambil sapu. "Biar aku yang membersihkannya. Setelah ini, aku akan membuatkan kopi yang baru buat Bapak."
Ziyan hanya memperhatikannya. Setelah Amira selesai membersihkan pecahan cangkir, dia pun pergi.
Amira membuatkan secangkir kopi dan membawanya pada Ziyan yang menunggu di ruang kerjanya. Dia terkejut saat melihat empat cangkir kosong bekas kopi di atas meja.
"Silakan, Pak." Amira meletakkan cangkir di atas meja.
"Duduklah! Aku ingin bicara denganmu."
Amira kemudian duduk. Dia menunduk saat tatapan Ziyan tertuju padanya. Tatapan yang terlihat tajam.
"Apa kamu ingin menjadi istriku?"
To Be Continued...

Komento sa Aklat (154)

  • avatar
    AmeliaIca

    Bgus skli

    3d

      0
  • avatar
    ranissafiyaa

    🥹🥹🫶🏻🫶🏻🫶🏻💗💗💗✨

    29/07

      0
  • avatar
    WahyuningsihNita

    Bagus bgt sedikit nguras emosi alur ceritanya😘

    04/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata