logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

2. Diculik

Zahrana menangis dan berontak saat jasad ibunya dipisahkan dari pelukannya. Dia menangis karena tidak ingin berpisah dari wanita yang sudah menjaga dan menyayanginya sejak dirinya masih bayi.
Ya, Zahrana adalah anak yang didapat dari seorang wanita yang memintanya untuk menjaga bayi perempuan berselimut putih saat ditinggal ke kamar mandi. Wanita itu tak pernah kembali untuk mengambil bayinya, hingga membuat Widya terpaksa membawa pulang bayi itu ke rumahnya.
Malam itu adalah malam terakhir Zahrana bersama ibunya. Malam di mana dia merasa hidupnya sudah tidak lagi berharga. Malam di mana dia tidak lagi percaya dengan cinta.
Baginya, cinta hanya suatu perasaan palsu yang tak lagi berharga. Cinta tak lagi mempunyai tempat di hatinya hingga membuatnya bertekad untuk tidak akan pernah merasakan jatuh cinta.
Penggalan kisah sehari lalu masih terbayang diingatannya. Ucapan ibunya masih terngiang di telinganya. Kini, dia masih duduk seorang diri di depan makam ibunya.
Air matanya tak lagi jatuh walau matanya telah bengkak karena sedari malam terus menangis, tetapi entah mengapa, saat ini air bening itu enggan untuk jatuh dan berganti dengan gerimis yang perlahan turun membasahi bumi.
Walau air hujan sudah membasahi sekujur tubuhnya, Zahrana bergeming. Dia masih setia duduk memandangi papan pusara bertuliskan nama ibunya. Nama yang akan selalu dikenang hingga akhir hayatnya.
"Ibu, maafkan aku karena harus pergi meninggalkan Ibu sendirian di sini. Aku janji akan selalu mengunjungi Ibu. Ibu tidak usah mengkhawatirkanku karena aku akan baik-baik saja."
Gadis itu lantas bangkit dan mencoba memantapkan hatinya yang masih goyah. Namun, dia harus bisa menerima kenyataan. Sudah saatnya dia berani melangkah seorang diri. Dia harus berani menapaki jalan kehidupan yang akan dilalui.
Dengan tegar, dia membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan makam yang kini tak terlihat. Perlahan namun pasti, dia berjalan meninggalkan masa suram walau diiringi dengan air mata.
Dari halaman, dia menatap sekitar. Terlihat beberapa tetangga sedang membersihkan rumahnya.
Bendera kuning masih terpasang di gang depan rumah. Melihat kedatangannya, salah seorang wanita menghampirinya.
"Zahra, ayo ke dalam. Ibu sudah menyiapkan makanan untukmu. Dari semalam, Ibu lihat kamu belum makan apa-apa. Ayo, Nak!" 
Wanita itu memapah Zahrana masuk ke rumah. Setibanya di depan pintu, langkah Zahrana terhenti.
"Ada apa? Kenapa berhenti? Ayo, kita ke dalam!"
Zahrana memaksakan kedua kakinya untuk melangkah walau itu sangatlah sulit. Bekas darah di lantai sudah tidak lagi tampak, tetapi kejadian semalam tidak bisa hilang dari ingatannya. Suara ibunya masih terngiang hingga membuatnya menitikkan air mata.
"Zahra, ikhlaskan kepergian ibumu. Ibu tahu kamu kehilangan, tetapi ibumu pasti akan sedih jika melihatmu seperti ini. Ayo, makanlah dan setelah itu kamu harus beristirahat. Mulai malam ini hingga malam ke tujuh, kami akan menemanimu. Jadi, jangan khawatir karena ayahmu tidak akan berani datang ke sini. Ibu yakin, tidak lama lagi ayahmu pasti akan ditangkap oleh pihak yang berwajib."
Lelaki itu telah dinyatakan buron karena melakukan pembunuhan tidak berencana terhadap istrinya sendiri. Pemukulan yang berujung pada kematian hingga membuatnya dicari para penegak hukum. 
Tanpa mereka sadari, seorang lelaki yang sedari tadi duduk di atas sepeda motor tampak memperhatikan mereka dari seberang jalan. Wajahnya tertutup helm. Setelah memperhatikan Zahrana, lelaki itu kemudian pergi.
Satu per satu tamu yang hadir di acara tahlilan tujuh hari kematian Widya mulai meninggalkan rumahnya. Acara yang diadakan berkat bantuan warga yang bahu membahu memberi sumbangan untuk membantu Zahrana sejak hari pertama ibunya meninggal. Hingga hari ketujuh, tak henti warga sekitar memberikannya bantuan. Entah berupa sedikit uang ataupun makanan.
Bagi mereka, Zahrana dan ibunya adalah orang yang sangat baik. Sejak dulu, Widya dikenal sebagai wanita yang pemurah.
Sebelum jatuh miskin, dia sering membantu warga yang datang meminta bantuan kepadanya. Entah berupa uang maupun bantuan lainnya. Dengan senang hati, dia akan memberikan tanpa memaksa untuk segera dikembalikan.
Karena kebaikannya itulah, warga sekitar dengan senang hati membantu Zahrana. Mereka tahu, saat ini gadis itu sangat terpukul dengan kematian ibunya. Kematian karena perbuatan ayahnya yang bejat.
"Nak, kalau kamu mau, kamu boleh tinggal bersama Ibu."
Bu Rina, tetangga dekat yang sudah menemani Zahrana sejak kematian ibunya. Wanita paruh baya itu menawarkan diri untuk membantunya. Bukan tanpa sebab dia mengajak Zahrana, tetapi karena rasa simpati pada gadis yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Hubungan mereka cukup dekat. Bahkan, dia sempat menggoda Zahrana untuk menjadi menantunya. Secara, dia mempunyai seorang putra yang bekerja di kota. Putra yang tak pernah datang mengunjunginya dan hanya mengirimkan uang yang cukup besar bagi orang desa sepertinya.
"Terima kasih, Bu. Aku akan tetap tinggal di rumah ini. Ibu jangan khawatir, aku baik-baik saja." Zahrana tersenyum seakan ingin menunjukkan kalau dia mampu menghadapi cobaan yang baru saja menderanya.
Wanita itu hanya bisa menerima keputusan Zahrana. Dengan terpaksa, dia kembali ke rumahnya.
Zahrana memandangi rumahnya dan masuk ke sana. Suasana rumah kembali sepi setelah tujuh hari rumah itu didatangi tetangga yang datang melayat maupun sekadar berkunjung untuk menemaninya.
Rumahnya sudah terlihat bersih dan diperbaiki oleh warga. Dan kini, dia harus kembali menjalani kehidupan seorang diri. Menjalani kehidupan tanpa ibu yang selalu memberinya semangat dan dukungan.
Zahrana duduk di atas kasur di mana dia dan ibunya sering tidur bersama. Dia meraih bantal guling yang sering dipakai oleh ibunya dan memeluknya seiring air mata yang perlahan jatuh. Wangi tubuh ibunya masih bisa tercium, hingga membuatnya mengeratkan pelukannya.
Isakkan tangis terdengar ketika kenangan bersama ibunya kembali muncul. Kenangan di mana mereka selalu bercanda dan tertawa bersama.
Zahrana membaringkan tubuhnya dan berusaha memejamkan mata yang sudah beberapa malam terjaga. Rasa lelah dan kantuk seketika mengganggunya, hingga membuatnya terlelap dalam pelukan bayangan sang bunda yang memeluknya erat.
Zahrana terlelap begitu nyenyak. Wajah cantiknya terlihat polos dengan gurat kesedihan yang masih tampak. Kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat seperti putri tidur yang sedang terlelap.
Malam semakin larut. Suasana desa terlihat sepi. Yang terdengar hanya suara binatang malam yang saling bersahutan.
Di depan jalan, terlihat sebuah mobil van berwarna hitam berhenti tak jauh dari rumah Zahrana. Posisi rumahnya memang berhadapan dengan jalan utama.
Tiba-tiba, pintu samping mobil itu terbuka. Dua orang lelaki kemudian keluar setelah memperhatikan situasi yang menurut mereka sudah aman. Setelah memastikan situasi, mereka kemudian berjalan ke arah rumah Zahrana dan berputar menuju pintu belakang.
Bagian belakang rumah Zahrana dibangun dengan semi permanen. Bangunan dapur hanya menggunakan bahan papan dengan pintu sederhana yang terbuat dari triplek membuat pintu itu dengan mudah dapat dibuka. Dan benar saja, dua orang lelaki yang mengenakan baju hitam dan penutup wajah terlihat memasuki ruangan dapur sambil mengendap-endap.
"Tunggu di sini. Aku akan masuk ke dalam," ucap salah satu lelaki yang kemudian masuk ke dalam kamar di mana Zahrana sedang tertidur pulas.
Di depan pintu, lelaki itu masih sempat berdiri dan memperhatikan sekitar. Di atas meja, dia melihat satu toples kecil berisikan amplop hasil dari takziah warga yang datang menghadiri acara tahlilan tujuh hari. Wajahnya seketika tersenyum sembari melihat Zahrana yang masih tertidur.
Perlahan, dia berjalan ke arah tempat tidur dan berdiri sambil memperhatikan Zahrana yang masih terlelap. Dari balik sakunya, dia mengeluarkan sapu tangan berwarna putih dan satu botol kecil cairan bening. Cairan itu lantas ditumpahkan sedikit demi sedikit di atas sapu tangan itu.
Lelaki itu kembali memperhatikan Zahrana. "Seharusnya dari dulu aku tidak membawamu ke rumah ini. Kamu hanyalah anak yang membawa kesialan pada rumah tanggaku. Seharusnya dari dulu aku sudah melakukan ini padamu."
Tanpa belas kasih, lelaki itu kemudian menutup hidung Zahrana dengan sapu tangan. Gadis itu terkejut saat hidungnya ditutup dengan paksa. Tubuhnya berontak ingin melakukan perlawanan, tetapi nyatanya tubuhnya perlahan terdiam dengan mata yang kini terpejam.

Komento sa Aklat (328)

  • avatar
    ranissafiyaa

    arhhhhh zafrannnnn finally habes jugak aku baca novel ni arhhh sumpah blushing ☺️🫶🏻

    28/07

      0
  • avatar
    Zalikha Zamri

    best and writting skills

    02/07

      0
  • avatar
    rabiatulnur

    bagus sekali ceritanya, sangat menarik

    30/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata