logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Perjanjian

Beberapa hari setelah operasi, Liana dibolehkan pulang oleh dokter yang menangani penyakitnya. Setelah itu Liana disarankan follow up untuk kontrol penyembuhan luka pasca operasi, evaluasi kesembuhan dan ada tidaknya kemungkinan terjadinya kekambuhan.
Eun Sun menuntun ibunya ke sofa, sementara Heera langsung menuju dapur.
“Alhamdulillah, senang sekali bisa ke rumah lagi,” seru Liana sambil meletakkan pantatnya ke sofa.
Eun Sun tersenyum, “Kuharap setelah ini, Ibu bisa sembuh total.”
“Aamiin,” sahut Liana, lalu beralih menatap Heera yang baru saja datang membawakan teh hangat dan meletakkannya di hadapan Liana.
“Ah, anakku, kamu selalu tau apa yang Omma butuhkan,” ucap Liana dengan binaran kebahagiaan.
Heera tersenyum tipis. “Minumlah selagi hangat. Mudahan bisa membuat Omma lebih segar.”
Liana mengambil gelas itu lalu meminumnya.
“Oh, ya. Kurasa kita sudah bisa membicarakan rencana perkawinan kalian.”
Sontak Eun Sun dan Heera terkejut. Sesaat keduanya saling bersitatap.
“Omma kan belum sembuh total, jadi nanti saja kita bicarakan rencana itu,” kilah Heera. Tepatnya, ia ingin menghindari pembicaraan topik itu.
“Benar. Nanti Ibu sakit lagi karena kelelahan mengurus pernikahan kami,” sela Eun Sun.
“Tidak apa. Justru, Ibu merasa lebih bersemangat dan lebih segar jika mengingat rencana perkawinan kalian. Ibu ingin segera merasakan kebahagiaan itu.”
Eun Sun dan Heera terdiam. Keduanya merasa terkunci oleh harapan Liana yang menggebu-gebu.
Eun Sun mendeham. “Begini saja. Dua minggu lagi Ibu harus kontrol. Nah, kita lihat dulu hasil selanjutnya. Jika Ibu sudah dinyatakan sembuh total, barulah kita bicarakan rencana itu. Bagaimana?”
“Saya setuju, Omma,” timpal Heera.
Liana terdiam. Terlihat ia memang mempertimbangkannya.
“Bagaimana kalau Ibu belum dinyatakan sembuh total?”
Lagi-lagi Eun Sun dan Heera bersitatap, lalu diam.
“Begini saja.” Liana membuka suara setelah lama hening. “Setelah kontrol, kita bicarakan rencana pernikahan kalian. Jika Ibu sudah dinyatakan sembuh, Alhamdulillah. Namun, jika belum atau kanker itu masih saja ada di dalam tubuh Ibu, sebagaimana operasi-operasi sebelumnya, Ibu minta pernikahan kalian dipercepat.”
Heera tercengang. Menatap Eun Sun yang tak kalah kagetnya dengannya. Masa depan mereka ada dalam genggaman kesehatan Liana.
***
Setelah menerima laporan dari hasil pemeriksaan, Eun Sun langsung menghubungi Heera, meminta untuk bertemu terlebih dahulu sebelum pertemuan yang telah dijanjikan oleh ibunya.
“Bagaimana hasil laporannya?” tanya Heera sambil menatap minumannya dengan tatapan kosong. Perasaannya semakin tidak nyaman ketika mendengar desahan napas berat Eun Sun.
“Ibu belum dinyatakan sembuh total. Ternyata sel-sel kanker itu belum tuntas, bahkan mulai menyerang organ-organ lain.”
“Lalu kita harus bagaimana?” Kembali Heera mengaduk minumannya yang sejak tadi tak pernah ia minum. “Menurutmu apakah aku harus bicara pada Omma atau dengan bantuan ibuku, kalau rencana pernikahan ini tak bisa dilanjutkan?”
“Jangan!” seru Eun Sun cepat. Ia jadi salah tingkah begitu gadis itu menatapnya. “Sangat berbahaya jika kita berterus terang dengan kondisi kesehatan ibu seperti ini. Walaupun itu dari pengakuanmu atau bantuan orang lain.”
Eun Sun kembali memanggil pelayan untuk menambah minumannya.
“Lalu?!” tanya Heera singkat.
Eun Sun mengocok rambutnya. Ia sangat frustasi. Mendadak Heera merasa iba menatapnya.
“Jalanku sudah buntu. Untuk itulah aku membicarakan padamu. Jika aku menolak permintaan ibu, itu sama saja membunuhnya secara perlahan. Di sisi lain, aku juga tak ingin membohongimu.”
Heera menatap lekat mata Eun Sun. Ia tak habis pikir, kenapa Eun Sun bisa berkata begitu? Tak bisakah Eun Sun berbuat banyak demi ibunya meski harus berpisah dengan kekasihnya? Apa maksud Eun Sun sebenarnya? Ia tak menyangka laki-laki angkuh ini ternyata sangat lemah. Tak bisa mengambil satu keputusan pun.
“Maksudmu, kita harus menikah dan berpura-pura jadi suami istri yang baik di depan ibu?”
Eun Sun mengangkat kepalanya. “Aku tau, ini tidak adil buatmu. Namun, mengertilah, andai kamu di posisiku, dan kamu juga mempunyai seorang kekasih, pasti akan mengalami hal sama.”
Tiba-tiba ia teringat kasih sayang Liana padanya. Ia pun rasanya tak tega menolak permintaan Liana, apalagi Eun Sun sebagai anak kandungnya. Yang Heera sesalkan, kenapa ia yang jadi korban karena kelemahan Eun Sun? Atau kenapa Eun Sun tak bisa membuka hati sedikit saja untuk menerimanya?
Refleks kepalanya menggeleng. Ia pun tak mungkin mengharapkan bersuamikan laki-laki seperti Eun Sun. Meski tampan, tanpa agama dan akhlak, ketampanan tidak ada artinya.
“Sampai kapan? Dan kamu tentu tak berharap Omma cepat meninggal kan?”
Eun Sun menggeleng, “Aku sudah menanyakan hal itu kepada dokter. Dokter bilang, dalam kondisi seperti ibu, sangat jarang bisa bertahan lama.”
Heera tercekat.
“Walau bagaimanapun, kebahagiaan dan dukungan orang-orang di sekitarnya sangat berarti bagi ibu, bahkan bisa jadi akan memperpanjang umurnya.” Eun Sun terdiam sebentar. “Setidaknya berilah aku waktu, setidaknya selama kamu di sini, siapa tahu selama itu ada keajaiban. Kesehatan ibu membaik dan siap menerima kenyataan ini.”
“Jika tidak?!”
Eun Sun tercekat. Meski sudah menduga akan mendapatkan pertanyaan itu, ia tetap tak bisa memastikan kapan.
“Aku tidak bisa menjanjikan hal itu. Aku tahu, ini beratmu. Namun mengertilah, semua ini kulakukan demi ibuku!”
“Apakah demi ibumu, kamu juga mau bersikap layaknya seorang suami kepadaku?” tanya Heera cepat.
Mata Eun Sun melebar.
Heera tergagap. Ia pun tak mengerti apa yang telah keluar dari mulutnya. Ia sendiri tidak memahami apa maksudnya. Kenyataannya, ia pun tidak ingin jadi korban atas kelemahan Eun Sun. Walaupun tidak ada niatan mencari kekasih dalam satu atau dua tahun ke depan, menjadi status istri bukanlah hal yang mudah. Atau bagaimana jika kesehatan Liana tak kunjung membaik?
“Jika itu maumu aku akan berusaha,” lirih Eun Sun pasrah.
Kini giliran Heera yang terkejut, ia tak menyangka laki-laki yang selama ini dikenalnya angkuh ternyata begitu mencintai ibunya.
“Sudahlah! Lupakan apa yang telah kuucapkan! Aku pun tak suka cinta dipaksakan.” kata Heera akhirnya, sambil menarik napas. “Baiklah! Apa salahnya kita coba!”
Eun Sun mengangkat kepala cepat. Heera terkesiap dengan pancaran indah dari mata Eun Sun.
“Terima kasih. Aku janji akan membalas kebaikanmu,” ucap Eun Sun haru.
“Tak perlu. Bagiku, Omma sudah seperti ibuku sendiri.” Heera menelan ludahnya. Ia mulai ragu dengan keputusannya. Terlalu sulit baginya menikah dengan orang yang tak mencintainya. “Apa salahnya aku berusaha membahagiakan Omma.” Ia meyakinkan hati.
Eun Sun menatap haru.
“Jika kesehatan Omma membaik dan ada waktu yang tepat, berusahalah untuk menjelaskan padanya bahwa kita memang tidak cocok.”
“Aku janji.”
“Satu lagi, bicarakan ini pada kekasihmu, aku tak ingin ada kesalahpahaman di antara kami.”
“Jangan khawatir! Terima kasih banyak! Maaf, telah banyak merepotkanmu.”
Heera hanya menyahut dengan senyuman pedih. Ia teringat, Eun Sun salah satu orang yang menertawakannya waktu itu. Sekarang mereka harus bekerjasama. Takdir memang berbicara sekehendaknya sendiri.
Heera berdiri cepat, “Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, aku pergi dulu.”
“Tunggu dulu! Biarkan aku mengantarmu!” kata Eun Sun berlalu ke arah kasir tanpa menunggu jawabannya.

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Ameliaa Storee

    menarik

    16/07

      0
  • avatar
    N.aHusni

    semangat

    07/07

      0
  • avatar
    Dody Maulana

    seru

    22/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata