logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Ketika Takdir Berkata Lain

Ketika Takdir Berkata
“Aauu .…”
Entah mimpi malam tadi, tiba-tiba Eun Sun menyeret dan mendorongnya ke dinding kampus? Dorongan Eun Sun sangat kuat sehingga punggungnya terasa sakit.
“Eun Sun!” Young See yang berusaha menolongnya termundur ke belakang karena didorong Eun Sun.
“Eun Sun, ada apa ini?” tanyanya sambil meringis.
“Jangan pura-pura polos! Ini semua skenariomu, kan?” Jantung Heera berdebar keras karena tatapan Eun Sun yang menyala. Ia tahu, andai bisa, Eun Sun akan menelannya hidup-hidup.
“Apa maksudmu?” Ia berusaha bergerak, tetapi Eun Sun justru semakin kuat menekan sikunya.
“Kau ingin membalas pada Hwan Yeong dengan memanfaatkan ibuku?!” Wajah Eun Sun penuh amarah.
“Jangan ikut campur!” ancam Eun Sun pada Young See. Gerakan Young See terhenti.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu?”
“Kamu pura-pura tidak tahu atau pura-pura bodoh?! Picik!” Eun Sun melepaskan pegangannya, lalu ia mendekatkan wajahnya, “Jangan harap usahamu akan berhasil!”
Eun Sun meninggalkan Heera yang meringis memegang sikunya.
“Hee, kamu tidak apa-apa?” Young See mendekat, lalu memegang sikunya.
“Au ... Sakit.”
“Sebenarnya apa yang terjadi?”
***
Di ruang pos kesehatan kampus, Young See mengusap memar di siku Heera dengan kapas yang telah dibasahi dengan antiseptic.
“Sebaiknya, aku pulang ke Indonesia dulu.”
Sejenak gerakan Young See terhenti, lalu ia kembali mengusap siku Heera.
“Kamu ingin melarikan diri?” tanya Young See.
“Tidak. Aku hanya mencari solusi. Orang tuaku tentu lebih bijak dalam menyelesaikan masalah ini.”
“Sudah,” seru Young See, lalu ia membuang kapas ke tempat sampah.
Heera turun dari ranjang, lalu menurunkan lengan bajunya.
“Kenapa tidak kamu katakan saja pada Eun Sun. Kamu jangan kelihatan lemah di depannya. Supaya kamu tidak semakin ditindas mereka.”
“Entahlah, Young See. Kamu tidak tahu siapa Eun Sun.”
***
Andai boleh memilih, Heera tidak ingin melihat Eun Sun. Namun apa daya, tidak ada meja yang kosong, kecuali di dekat meja Eun Sun dan Hwan Yeong. Kebencian sangat terlihat di mata Eun Sun. Hatinya semakin menyusut.
“Sudahlah! Jangan pedulikan dia. Yang penting perut kita terisi,” ucap Young See jenaka.
Heera hanya menjawabnya dengan senyuman sumbang. Lalu meletakkan bakinya di meja. Ia mengambil posisi yang membelakangi Eun Sun.
Heera menyeruput minuman yang terasa hambar di lidahnya. Tak lama berbunyi nada panggil ponsel dari tasnya. Ia segera membuka tas itu dan mengambil ponselnya. Sejenak ia menatap layar ponselnya, lalu menjawab panggilan itu.
“Hallo, Ahjumma?”
“Nona, kamu tau di mana Eun Sun?” terdengar suara panik di seberang sana.
“Iya. Dia ada di sini. Ada apa?”
“Ibunya masuk rumah sakit.”
“Apa? Kenapa?” tanyanya panik.
“Entahlah. Tiba-tiba saja ditemukan Nyonya pingsan di kamar. Kamu beritahu Eun Sun, ya!”
“Iya. Sekarang bagaimana keadaan Omma? Kuharap dia baik-baik saja.”
“Dokter bilang, dia akan baik-baik saja. Mungkin karena kecapean. Meskipun begitu, dokter masih melakukan pemeriksaan untuk memastikan.”
“Baiklah. Akan saya kasih tahu Eun Sun. Kalau kenapa-napa kabari saya, Ahjumma.”
Heera meletakkan ponselnya ke atas meja lalu menarik napas kuat-kuat dan mengembuskannya.
“Ada apa, Hee?” tanya Young See.
“Ibunya Eun Sun masuk rumah sakit. Tunggu sebentar.” Ia berdiri, lalu melangkah menghampiri meja Eun Sun dan Hwan Yeong.
“Eun Sun.”
Eun Sun mengangkat kepala dan menatapnya sinis.
“Omma!!” Sekilas ia menoleh ke arah kekasih Eun Sun yang menunjukkan ketidaksukaan. “Omma dibawa ke rumah sakit.”
Eun Sun tersentak.
Ia mengangguk sambil menelan ludah. “Iya, Omma masuk rumah sakit.”
“Siapa yang kasih tahu?”
“Ahjumma Chan. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.”
Eun Sun baru tersadar. Ia memang sengaja mematikan ponselnya. Ia sedang tak ingin dihubungi. Perseteruan dengan ibunya tadi pagi telah membuat pikirannya jadi kacau.
Eun Sun segera berdiri. “Hwan Yeong, aku pergi dulu.”
Hwan Yeong mengangguk. “Semoga ibumu baik-baik saja,” sahut Hwan Yeong dengan menampilkan wajah empati. Eun Sun mengangguk, lalu langsung berlari.
Heera mematung, berapa saat kemudian ia kembali ke mejanya. Menatap makanan tanpa minat.
“Aku harus pulang, Young See. Ibunya Eun Sun sakit. Aku merasa tidak nyaman menjenguknya dengan situasi seperti ini.”
***
“Ibu! Ibu tidak apa-apa, kan?” seru Eun Sun sambil berlari menghampiri ibunya terbaring. Ibunya bergeming. Ibunya menunjukkan wajah dingin.
“Maafkan aku, Bu! Aku telah menyakiti hati Ibu. Maafkan aku!” seru Eun Sun sambil terus menciumi punggung tangan ibunya.
Pintu terbuka, diiringi dengan kemunculan seorang perawat. Setelah selesai melakukan tugas, sang perawat berkata kepada Eun Sun, “Dokter Lee Hyun Jung ingin berbicara dengan Anda.”
Eun Sun mengangguk. Lalu beralih kepada ibunya. “Aku pergi dulu. Ibu akan baik-baik saja. Percayalah!”
Liana tersenyum mendengar penuturan anaknya. Sekeras-keras Eun Sun, jauh dari dalam diri Eun Sun masih sifat penyayang.
Tak lama Eun Sun datang dengan wajah pias. Wajahnya menyiratkan sesuatu telah terjadi.
“Bu!” Bagai ada gumpalan yang menyekat tenggorokannya. Sulit sekali ia menyampaikan kepada ibunya.
“Katakanlah, Han Eun Sun.” Jika ibunya menyebut nama lengkapnya, itu bertanda ibunya menuntut ketegasan.
Eun Sun mendeham. “Kata dokter, kanker Ibu sudah menyerang ke bagian pankreas dan sebaiknya dioperasi lagi. Lebih cepat lebih baik. Ibu, mau kan?”
Liana mengempaskan napasnya, lalu menatap langit-langit rumah sakit. “Tidak, Eun Sun. Ibu tidak akan melakukannya!”
Eun Sun tercengang mendengar penuturan ibunya. Ia menatap wajah keriput ibunya. Ibunya tak pernah seperti ini. Biasanya ibunya sangat gigih berupaya supaya sembuh.
“Kenapa, Bu?”
“Kamu tau, Ibu sudah operasi tiga kali. Melelahkan sekali. Lagi pula, Ibu sudah siap menghadapi kematian.”
“Ibu, jangan bicara begitu! Aku tak siap kehilangan Ibu. Kumohon, Bu! Demi aku, aku membutuhkan Ibu.”
“Eun Sun, kamu sudah besar. Bisa mengurus diri sendiri. Kamu tidak membutuhkan Ibu lagi.”
Eun Sun merasakan nada bicara ibunya kentara dengan kepahitan. Ia tau, ini pasti karena pertengkaran pagi tadi. Ibunya memalingkan wajah. Ia tau, ibunya menyembunyikan air mata darinya.
“Bagaimana caranya agar aku bisa meluluhkan hati Ibu? Bu, kumohon! Aku tak ingin kehilangan Ibu.”
“Sudahlah, Eun Sun! Ibu sudah lelah dengan semua ini. Tugas ibu sudah selesai. Kamu sudah bisa mandiri.”
“Jangan bicara begitu, Bu! Aku membutuhkan Ibu. Kumohon, apa pun yang Ibu minta, akan kulakukan. Asal Ibu tetap berusaha sembuh.”
Liana memalingkan wajahnya dengan cepat. “Benarkah? Kamu akan melakukan apa yang ibu minta?”
Eun Sun menelan ludahnya, lalu mengangguk lambat.
***
Eun Sun mencium kening ibunya yang masih terbaring di rumah sakit. Beberapa jam lagi akan dilakukan operasi.
“Bagaimana? Ibu sudah siap kan?”
Liana tersenyum, tetapi di wajahnya masih tersirat keengganan. Ia memang membiasakan anak-anaknya memanggil Obbu kepadanya atau Ayah kepada bapak mereka. Ia ingin terus mengingatkan anak-anaknya bahwa mereka memiliki seorang ibu dari Indonesia. Dalam bahasa keseharian pun, Liana juga membiasakan mereka bahasa Indonesia.
Berbeda dengan Heera. Heera lebih suka memanggil Liana dengan panggilan Omma dan berbicara dengan bahasa Korea. Karena Ia sangat senang merasakan sensasi Korea.
“Kamu melihat Heera?”
Eun Sun mengangkat alisnya sejenak, lalu menggeleng.
“Aneh. Semenjak kemarin, Heera tidak mengunjungi ibu. Padahal kata Ahjuma Chan, dia sudah tahu ibu ada di rumah sakit.”
“Mungkin dia sibuk, Bu.”
Liana menggeleng. “Ini bukan kebiasaan Heera. Sesibuk apapun, dia pasti mengunjungi Ibu, apalagi kalau tau ibu sakit. Ini aneh .…”
Eun Sun meraih tangan ibunya, lalu menggenggamnya. “Bu, sebentar lagi Ibu mau operasi. Sebaiknya jangan memikirkan hal itu.”
“Bagaimana Ibu tidak memikirkannya. Ini bukan kebiasaan Heera, ibu sangat mengkawatirkannya, atau jangan-jangan dia sengaja menghindari Ibu.”
Alis Eun Sun mengerut, “Maksud Ibu?”
“Kemarin ibu membicarakan padanya masalah lamaran itu.”
Eun Sun merasakan tubuhnya mulai menegang.
“Ibu khawatir, Heera sengaja menghindar. Ibu dapat melihat jelas, kalau dia tidak siap menikah denganmu.”
Eun Sun mengembuskan napas leganya. “Lalu?”
“Ibu mendesaknya hingga akhirnya ia menyetujui dengan syarat kamu juga setuju.”
“Kalau Ibu tahu dia tidak bersedia, kenapa Ibu malah mendesaknya?”

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Ameliaa Storee

    menarik

    16/07

      0
  • avatar
    N.aHusni

    semangat

    07/07

      0
  • avatar
    Dody Maulana

    seru

    22/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata