logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Seorang Sahabat

"Amy ingin punya anak Bu, Amy ingin merasakan seperti apa rasanya hamil dan melahirkan,' ujarku menahan perasaan.
"Astagfirullah, Nak," ucap ibu iba.
Ibu dan Mien Hessel sama-sama memelukku, bertiga kami menangis bersama. Aku menangis menahan kerinduan akan hadirnya seorang anak, mereka menangis karena iba mendengar aku merana. Aku yakin kalau saja boneka yang aku pinta, pasti saat itu juga ibu dan adikku sudah pergi ke toko dan membelikannya untukku. Namun, kali ini aku menangis menginginkan boneka bernyawa, yang tak mungkin diperjual belikan di semua pasar dan swalayan di seluruh dunia.
Malam itu aku menginap di rumah ibu, sementara Tesla pulang ke rumah. Sepanjang malam aku masih menangis dalam diam, tidak seorangpun mengetahui tangisku. Aku baru terlelap setelah selesai menunaikan salat hajat, dan berdoa memohon kepada Tuhan agar diberikan keajaiban. Sehingga aku bisa mengandung, dan melahirkan seorang anak darah daging Tesla.
***
Derr derr derr, dering telepon membangunkan aku. Tampak nomor tidak dikenal tertera di sana, "Halo," sapaku masih setengah mengantuk.
"Hallo, Amy, ya?" sapa suara lembut di seberang sana.
Aku mengerutkan dahi, berusaha mengenali suara itu tapi gagal.
"Siapa ya?" tanyaku.
"Aku Ade, teman yang pernah satu kampus denganmu dulu, ingat?"
Seketika, bayangan seseorang berkelebat di ingatanku. Selama kuliah aku hanya mengenal satu orang, yang bernama Ade.
"Ade Irma Suryani?" tanyaku, untuk memastikan.
"Iya, tepat sekali," jawabnya.
Aku tergelak mendengarnya, tidak aku sangka lima tahun setelah aku lulus baru ini gadis itu menghubungiku. Aku tidak mungkin lupa padanya, karena dia punya ciri dan gaya yang berbeda. Rambutnya dipangkas pendek, selalu mengenakan jeans belel dan kemeja longgar. Tubuhnya kurus tinggi, saat kuliah dulu dia selalu mengendarai motor vespa.
"Tumben, lu. Ada apa?" tanyaku.
Sangking tidak menyangka akan dihubungi oleh teman lama, aku sampai salah bertanya. Harusnya aku tanyakan apa kabarnya, bukan apa maunya menghubungiku. Aku merasa jadi terkesan angkuh, setelah menanyakan hal itu.
"Aku dapat kerjaan di Jakarta, tapi gua gak punya teman lain selain kamu. Kalau kamu tidak keberatan, jemput aku di bandara jam sebelas siang ini," pintanya.
Refleks aku menoleh pada jam, yang tergantung di dinding kamar. Pukul sembilan pagi, masih ada dua jam lagi menjelang jam sebelas.
"Kamu dari Jogja?" tanyaku.
Aku tidak begitu yakin, karena dulu sempat aku dengar Ade mahasiswa perantauan dari Sumatera.
"Enggak, aku dari Padang," jawabnya singkat.
Benar dugaanku ternyata, kalau gadis berpenampilan maskulin itu berasal dari Sumatra. Telepon diakhiri setelah aku setuju, untuk menjemputnya di bandara. Bergegas aku mandi dan berganti pakaian, ibu sempat menyuruh sarapan sejenak sebelum aku berangkat.
Dalam perjalanan menuju bandara, aku terkenang lagi saat pertama berkenalan dengan Ade. Waktu itu aku baru saja sampai di kampus, dan hujan turun rintik-rintik. Aku berlari kecil menuju fakultas ekonomi, tempat aku berkuliah. Jaraknya cukup jauh dari gerbang masuk. Saat itu sebuah Vespa melewati aku, pengemudinya kemudian menghentikan laju Vespa.
"Naik!" ajaknya.
Meskipun belum saling mengenal, tapi aku kerap bertemu si pengemudi. Waktu itu aku pikir dia seorang mahasiswa. Aku naik ke boncengannya, Vespa melaju membelah hujan yang makin deras.
"Fakultas apa?" tanyanya
"Ekonomi," jawabku singkat.
Vespa melaju menuju parkiran fakultas ekonomi, dan aku sampai dengan selamat tidak kebasahan.
Kenalin, gue Ade Irma," ujarnya sesaat setelah kami tiba di parkiran. Sejak itu aku tahu, kalau mahasiswa tampan yang selama ini aku kira cowok ternyata seorang gadis dengan tampilan maskulin. Hari-hari berikutnya aku dan Ade tidak terlalu sering bertemu, tetapi saat bertemu dia pasti menanam budi padaku. Hal-hal kecil tapi sangat berarti bagiku saat itu, maklum dulu semasa kuliah aku jauh dari orang tua, jadi jika ada yang berbuat baik padaku, dan memudahkan urusanku aku anggap mereka pahlawanku.
Ade pernah membayar makananku ketika kami sama-sama makan di kantin, Ade juga kerap memberi aku bekal makanan. Belakangan aku tahu kalau Ade kuliah di fakultas pariwisata jurusan tata boga. Setiap kali ada ujian memasak menu baru, dia pasti memberikan padaku. Tidak banyak tapi cukup untuk bekal makan malamku. Lumayan menghemat uang makan, Ade juga pernah beberapa kali mengantarkan aku pulang ke kontrakan setelah jam kuliah usai. Begitu banyak kebaikan yang pernah ditanamkan Ade padaku, maka itu aku tidak enak kalau sampai tidak menjemputnya kali ini.
Pukul sebelas kurang aku tiba di bandara, menunggu beberapa saat sampai kemudian aku mendengar dari corong pemberitahuan, pesawat Padang--Jakarta sudah berhasil mendarat dengan selamat. Seseorang aku lihat melangkah keluar dari ruang kedatangan, tampilannya masih sama--jeans belel dipadukan dengan kemeja longgar. Tubuhnya yang kurus tinggi melangkah sambil menyeret koper besar, tas mini tersampir di pinggang, dan topi pet menutupi sebagian wajahnya. Aku melambaikan tangan, saat dia terlihat mengawasi sekitar. Senyumnya tersungging kala menyadari keberadaanku, kami saling bersalaman sesaat setelah saling berhadapan.
"Apa kabar?" tanyanya ramah, masih sama seperti dulu.
"Baik," jawabku, "kamu sendirian?" tanyaku lagi sambil celingukan.
Ade tersenyum hambar lalu menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat, "Gua harus ke alamat ini," terangnya.
Aku mengangguk dan segera mengajaknya menaiki taxi, yang sudah menunggu. Aku masih penasaran mengapa Ade datang sendirian, kemana orang itu? Orang yang dulu selalu bersamanya.
"Cewek lu, gak ikut?" tanyaku spontan.
Pertanyaan yang membuat air muka Ade berubah, dan aku pun menyadari sebuah kelancangan yang tidak aku sengaja.
***
Senja sudah lama pergi, kini langit malam Jakarta dihiasi bintang-bintang. Namun, kerlip bintang kalah terang dengan warna-warni lampu jalanan.
"Assalamualaikum," sapaku di ambang pintu.
Kebiasaan Tesla bila dia di rumah, pintu depan selalu terbuka. Sementara dia, sibuk sendiri di ruang belakang. Aku memeriksa rumah, dari ruang tamu hingga kamar mandi. Lantai sedikit lembab, aroma pembersih lantai menguar. Di kamar cuci aku mendengar, suara dengung mesin cuci. Lalu, bak cucian piring aku lihat sudah mengkilap. Tesla melakukan semuanya, dia mengepel lantai, mencuci piring, dan mencuci tumpukan pakaian kotor. Suamiku itu memang rajin membersihkan rumah, sungguh beruntung aku bersuamikan dia.
"Sayang, aku pulang," sapaku, ketika menemukan Tesla di ruang kerjanya--tengah fokus dengan laptopnya.
Aku sentuh pundaknya pelan, barulah dia menoleh.
"Loh, udah balik?" tanyanya.
Aku tersenyum, lelaki memang tidak 'multitasking' jika sedang fokus maka dia tidak akan mendengar apapun. Mungkin bukannya tidak mendengar, tetapi apa yang terdengar tidak terkoneksi ke sensor ingatannya.
"Dari tadi Amy ucapin salam, gak dijawab. Amy cari sampai ke dapur, eh rupanya asik di sini," keluhku.
Tesla meletakkan laptopnya di meja, dan dia rentangkan kedua tangan mengundangku masuk dalam pelukan. Aku menyandarkan kepala di dada bidang Tesla, terdengar detak jantungnya berirama tenang. Rasanya tenang dan nyaman, tetapi tubuhku seketika membeku saat Tesla bertanya.
"Sayang, apa hasil pemeriksaan kemarin?"

Komento sa Aklat (74)

  • avatar
    IsmailHadi

    Bagus sekali ceritanya tapi sayang terlalu pendek padahal saya masih penasaran ayah biologis anak dari Amy itu sebenernya siapa. kalau bisa lanjut lagi. seru soalnya..

    11d

      0
  • avatar
    Oxs01Lucky

    seruuuu

    14/08

      1
  • avatar
    NaylaAlmeera

    bagus sekali

    09/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata