logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Frekuensi yang Hilang (Bab 7)

"Rita itu dulu teman saya. Kami pernah jadi penyiar di stasiun radio yang sama."
Dayun akhirnya menanyakan ini pada Pak Gunadi. Beliau mau bercerita tentang siapa itu Rita Mintarsih. Rupanya penyiar ini memang cantik wajahnya. Bukan hanya sekedar suaranya saja yang enak didengar. 
"Tapi dia pernah mengalami kecelakaan. Sampai wajahnya sedikit rusak. Bahkan pernah 
  tidak mau siaran dengan alasan malu. Padahal kalau penyiar radio tidak akan dilihat 
  wajahnya kan, Ki?"
"Ya, selama suaranya enak didengar kan tidak masalah."
"Itu yang saya katakan padanya. Sampai terdengar kabar kalau dia menghilang cukup lama. 
  Katanya dia pergi untuk lakukan operasi plastik untuk wajahnya."
"Walah apa nggak eman itu duitnya ya, pak?"
"Kamu mau operasi plastik juga, Rul?"
"O, ya jelas dong! Biar kayak oppa Korea yang ganteng gitu."
"Tapi sekalinya jadi ganteng siapa juga yang mau sama kamu. Wong pengangguran gitu!"
Irul langsung memasang muka terjeleknya. Cerita Pak Gunadi terus berlanjut sampai akhirnya dia berhasil membuka stasiun radio sendiri. Disaat dia sedang mencari penyiar untuk radio Gardan ini. Rita Mintarsih tiba-tiba bertemu dengannya di sebuah restoran. 
"Sudah tidak ada lagi bekas kecelakaannya dulu. Bahkan wajahnya lebih mulus dan nampak 
  muda."
Namun Pak Gunadi tak mempermasalahkan hal itu. Rita juga mau menerima tawaran jadi penyiar pertama hingga radio Gardan dikenal di masyarakat. Terus meningkat hingga saat ini. Dayun memasang ekspresi wajah serius sambil mendengarkan cerita si pemilik stasiun radio.
"Memangnya kenapa dengan Rita, Ki?"
"Saya curiga kalau ini semua ulahnya!"
"Tapi Rita itu orang baik, Ki! Rasanya tidak mungkin dia mau lakukan hal semacam ini. 
  Lagipula, dia keluar karena inisiatifnya sendiri."
Dayun merasa kalau dirinya terlalu cepat untuk memutuskan. Dia langsung meminta maaf pada Pak Gunadi. Pemilik Radio Gardan itu juga nampak tersinggung saat disebut kalau Rita ada hubungannya dengan ini semua. Irul pun menambahkan, kalau bisa jadi dugaan Dayun salah. 
"Ah, begini saja Pak Gunadi! Saya mau minta ijin untuk menjadi penjaga malam disini."
"Oh, boleh itu Ki Dayun! Kebetulan kalau memang mau. Saya tidak perlu pulang malam lagi 
  untuk mengunci tempat ini."
Pak Gunadi menjelaskan kalau penjaga malam yang dulu biasanya tidur di dekat meja resepsionis maupun di ruang tamu. Soal makan dan lainnya boleh bawa dari rumah.
"Itu disana juga ada angkringan. Boleh kesana buat beli makanan sama minuman. Tapi habis 
  itu saya minta tolong makannya di ruko ini saja ya."
"Tidak masalah soal itu, pak."
Menjadi keuntungan tersendiri jika Dayun jadi penjaga malam disini. Dia bisa menyelidiki lebih dekat dengan ada didalamnya. Irul memaksa ingin ikut, tapi langsung ditolak sama temannya itu.
"Ini bukan seperti yang kasus sebelumnya, Rul."
"Memangnya Mas Dayun berani jaga sendirian disana?"
"Kamu tahu sendiri selama ini aku di tempat cucian motor itu nggak temennya."
Barulah Irul sadar kalau laki-laki ini sudah biasa tinggal sendirian. Padahal banyak sebelum Dayun tinggal disana tidak ada yang betah. Konon katanya, tempat cucian motor milik Pak Djito itu seram setiap malam tiba. Begitu dibuat tempat tinggal oleh temannya malah justru biasa saja. Hilang kesan horror yang selama ini ada.
"Aku takut kalau kamu nggak kuat nanti. Kemarin malem aja sebegitu kuatnya energi negatif 
 yang datang sampai aku rasa sesak napas."
"Pantesan kenapa Mas Dayun suruh aku pulang ya!"
"Iya, kalau nggak dua kemungkinannya. Antara pingsan atau is death!"
"Waduh, ya jangan dong mas! Eh, tapi kok bisa begitu ya?"
"Tubuh manusia punya batasannya, Rul. Aku juga sama!"
Mulai Dayun bercerita sambil dibonceng Irul kembali ke tempat cucian motor. Tentang daya tahan manusia menghadapi demit. Semua kembali ke tingkatan energinya masing-masing. Ada yang demitnya kalah tapi tak jarang juga justru manusianya yang K.O. Malah justru lebih baik pingsan daripada terusan energinya disedot hingga manusianya meninggal. 
"Oh, jadi pingsan itu karena energi kita disedot sama demit ya!"
"Iya, kalau secara tingkatannya lebih rendah dari mereka. Kalau kita yang lebih tinggi bisa 
  jadi mereka menyingkir duluan."
Irul mengangguk saja. Baginya ini sebuah pengetahuan baru. Jarang Dayun mau bercerita begini. Tapi laki-laki pengangguran itu tetap memaksa untuk datang saat Dayun sedang menjaga stasiun radio itu.
"Boleh, tapi inget ya Rul nurut sama aku. Kalau aku suruh kamu pulang langsung aja!"
"Iya, aku percaya kok sama Mas Dayun."
Rupanya ada yang sedikit berubah saat Dayun datang lagi sebagai penjaga malam di stasiun radio itu. Pak Gunadi malah mau memberikan mi instan, kopi dan gula. Kompor dan pancinya sudah ada di pantry. Kadang penyiar disini suka masak sendiri atau buat minuman sambil menunggu waktunya siaran. 
"Kalau gorengan dan lainnya Ki Dayun bisa beli sendiri ya di angkringan."
Pak Gunadi memaksa Dayun untuk menerima uang darinya. Sekedar buat membeli makanan lainnya. Padahal dia terhitung tahan hanya makan sesuai porsinya saja. 
Kecuali kalau habis bertarung dengan makhluk gaib. Tentu dia bisa kalap seperti orang yang seminggu belum makan.
"Saya usahakan secepatnya usut kasus ini, pak."
"Terima kasih, Ki. Nanti kita bicarakan lagi masalah pembayarannya setelah selesai ya!"
Mulai Dayun ambil posisi duduk bersila usai ditinggal Pak Gunadi. Dia Pagari dulu tempatnya tidur nanti. Agar aman dari gangguan demit termasuk serangan energi negatif. Baru saja selesai memagari gaib, dia keluar ke arah pintu. Dirinya lihat Irul datang bawa sesuatu kemari.
"Jare bojoku ini buat kita berdua mas!"
"Ya, sampaikan terima kasihku buat Sinta."
"Yo, ntar tak sampaikan wes! Mari kita madaaaang!"
"Weh, pisang goreng e lemu ginak ginuk Iki!"
Mereka berdua mulai menyantap pisang goreng buatan istrinya Irul. Sengaja pintu ruko ini masih dibuka oleh Dayun. Biar dapat udara dari luar. Sebab tempat ini kalau sudah ditutup rapat pintunya harus nyalakan AC. Apalagi masih ada Irul disini. Setidaknya memudahkan dia kalau mau pulang lagi.
"Sinta itu aneh kok mas!"
"Kok bisa?"
"Lha ya kalau aku nganggur aja dikeplaki. Tapi kalau ke tempat Mas Dayun gini malah dibolehin. Aneh apa nggak tuh mas?"
Dayun hanya mengangguk saja sambil menghabiskan pisang goreng di tangannya. Dia paham kenapa Sinta membolehkan suaminya kalau ijinnya ikut sama dia. Soalnya tak mungkin Dayun membiarkan Irul pulang dengan tangan kosong. Setidaknya apa yang dia terima akan dibagi juga pada Irul. Sekalipun pernah hanya dua bungkus mi instan.
"Tapi juga jangan njagake aku ya, Rul! Tahu sendiri kan kalau orang minta tolong belum 
  tentu kasihnya duit."
"Iya, aku paham kok mas! Eh, Mas Dayun merasakan nggak dari tadi? Hawane ora penak 
  ngono lho mas!"
"Iya, makin malam suasananya berbeda. Makanya kenapa aku nggak bolehin kamu ikut 
  nginep disini."
"Yo siapa yang betah mas kalau rasane badan kayak ditusuk-tusuk jarum gini. Cekit-cekit 
  gitu di semua badan!"
Ada satu gerakan yang dulu pernah dipelajari oleh Dayun. Ini digunakan untuk mengurangi rasa seperti yang disebut oleh Irul tadi. 
Dia lakukan agar temannya tidak terbebani oleh energi negatif yang ada. Semuanya dia pelajari dari orang bernama Pakdhe Purnawan. Dari sinilah Dayun belajar memanfaatkan kemampuan supranatural miliknya.
"Gimana, Rul?"
"Agak ringan ini, mas!"
"Abis ini kamu langsung pulang aja ya!"
"Padahal masih mau lama disini. Ya udah mas pamit dulu!"
Biasanya Irul ngotot untuk terus bersama Dayun. Karena dia tak mau melewatkan kejadian serunya. Apalagi saat melihat temannya itu bertarung dengan kain ikat kepala miliknya. Sekalipun dia tidak bisa melihat khodam yang dipanggil oleh Dayun. 
"Syukurlah dia nurut malam ini."
"Tapi aku boleh kan ada disini sama Mas Dayun?"
***

Komento sa Aklat (159)

  • avatar
    KupilApai

    mantap

    16d

      0
  • avatar
    rhdiono

    bagus si tapi coba pindah in video 😄

    17d

      0
  • avatar
    Mexla

    cerita yang bagus Dan seronok sekali

    26/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata