logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Frekuensi yang Hilang (Bab 3)

Keesokan paginya, tempat cucian motor ini masih buka seperti biasa. Anak Pak Djito si Sarmila biasa diminta ayahnya untuk menagih uang bagi hasilnya. Kebetulan dia sambil antar sarapan pagi untuk Dayun. 
“Pak Djito suruh kamu antar ini, La?”
“Ya, seperti biasa ini dari ayah mas. Tapi gimana soal uang itu ya?”
Berat bagi cewek ini untuk menagih uang bagi hasilnya ke Dayun. Apalagi saat melihat jumlahnya yang tak seberapa. Sebab dia berpikir, nanti bagaimana laki-laki baik satu ini menjalani kehidupannya? Hasil dari cucian motor kemarin sangatlah sedikit untuk dipegang Dayun. Sekalipun dia tinggal seorang diri. 
“Pokoknya begini saja, La. Ini kasih ke bapakmu! Udah, nggak usah kamu pikirin aku 
  gimana. Kan bisa cari sampingan lainnya.”
“Ooh, iya deh! Eh, mas soal sampingan aku jadi inget ada temenku butuh bantuan buat 
  bawakan buku-buku kuliah dia. Kuliahnya kan sudah selesai, jadi mau dijual aja bukunya ke 
  tempat ayah. Tenang, nanti dia bayar kok buat jasa Mas Dayun bawakan buku-buku dia.”
“Kasih tahu aja kapan dia butuhnya, La. Nanti biar aku samperin sama sekalian shareloc tempat dia.”
Sarmila mengangguk saja sambil berpamitan. Sesekali kepalanya menengok ke belakang. Mencuri pandang ke arah Dayun. 
Namun saat laki-laki itu sadar sedang dilihat, anak gadis Pak Djito itu langsung berpura-pura melihat kearah lainnya. Sebagai setengah manusia, tentu dia lebih sensitif dan tahu kalau gadis itu ada rasa cinta padanya. Tapi Dayun masa bodo karena sadar diri dengan statusnya.
“Wah ini dia, lakon utama kita sedang sarapan pagi!”
Padahal baru saja Dayun membuka bungkusan yang diberikan Sarmila padanya. Nasi serta opor telur isinya. Tapi Irul sudah datang untuk mengganggunya. Seketika opor tadi disingkirkan oleh Dayun ke dalam bangunan kecil yang dia tinggali selama ini. 
“Ya Allah, mas! Apakah selama ini saya nampak ingin sekali merebut sarapan anda?”
“Biasanya gimana coba, Rul?”
“Sesungguhnya orang yang berbagi itu pahalanya dilipatgandakan, Mas Dayun.”
“Halah ora ngaruh! Intinya kamu mau minta kan, Rul?”
Irul nampak nelangsa karena memang belum sarapan sama sekali. Mau beli pun uangnya juga tak cukup. Kemana lagi tempatnya berlari kalau bukan cucian motor ini? Tapi Dayun sungguhan kejam untuk saat sekarang. Bukannya tanpa alasan, dia ingin temannya ada usaha sedikit untuk dapatkan uang. 
“Maaf ya mas semalem nggak bisa dateng. Anakku rewel terus, jadi terpaksa ke rumah mertua dulu.”
“Baguslah kalau begitu!”
“Dih, Mas Dayun tak mau terima ideku yang itu?”
“Rul, kan sudah kubilang dari awal. Telepon ke radio itu hil yang mustahal! Lagian ada 
  banyak pendengar yang berebut mau telepon ke sana.”
“Tetapi saya yakin Mas Dayun bisa!”
Aktingnya berasa seperti orang yang sedang tercerahkan. Kedua tangannya mengepal dengan wajah menghadap langit serta kedua kakinya yang sedikit ditekuk ke belakang. Mendadak sinar matahari mengarah padanya semua. Tapi seketika itu buyar saat pundaknya ditepuk oleh Pak Djito. 
“Kamu pagi-pagi sudah kesini aja, Rul. Nggak kerja?”
“Eeh, Pak Djito datang kemari. Selamat Pagi, pak!”
“Sedang berusaha meraih pekerjaan terbaik, Pak. Bersama Mas Dayun Jinggo!”
Ingin Dayun berkata kasar padanya. Tapi berhubung ada Pak Djito selaku pemilik tempat ini, dirinya berusaha menahan. Agar kata-kata sampah tak meluncur begitu saja dari mulutnya. Pak Djito tertawa saja melihat tingkah Irul yang tidak pernah ada warasnya itu.
“Iya, Mas Dayun. Saya ada keperluan sebentar.”
“Soal apa ini, Pak Djito? Uang yang kemarin kah?”
Detak jantung Dayun sudah tak karuan kalau sampai Pak Djito menanyakan perihal itu. Memang kemarin sepi betul pelanggan yang kemari. Tertolong oleh Lik Pardi serta satu orang lagi yang datang dari kota. Ternyata bukan itu yang mau dibicarakan oleh Pak Djito. Pemilik tempat cucian motor sekaligus bos barang rongsokan ini butuh sesuatu dari Dayun. 
“Kita ngobrol disini saja ya, mas. Sekiranya ada yang mau cucikan motor dilayani saja dulu.”
“Ooh, njih Pak Djito. Mau saya buatkan kopi atau teh?”
“Ah, nggak usah mas! Sudah minum susu jahe hangat tadi di rumah.”
Berceritalah Pak Djito tentang salah satu temannya. Dia pemilik satu stasiun radio swasta disini. Kebetulan dua hari yang lalu dia datang ke tempat jual beli barang rongsokan milik Pak Djito. Berkeluh kesah dengan usaha radionya yang terancam hendak ditutup. 
“Ya wajar kalau mau ditutup, pak. Radio sudah nggak terlalu banyak pendengarnya seperti 
  dulu.”
“Bukan soal pemasukannya, mas. Kalau itu sih masih aman dari iklan dan lainnya. Tapi ini 
  hal yang cukup aneh!”
Irul jadi ikutan mendengarkan cerita Pak Djito. Soal apa yang dialami oleh teman beliau itu. Stasiun radio diteror oleh orang-orang yang tak dikenalnya. Meminta untuk ditutup saja karena sudah membuat nyawa anggota keluarga mereka menghilang. 
“Kok bisa ya, Pak Djito?”
“Itulah yang saya kurang tahu, Mas Dayun. Belum ditambah banyak kejadian horror kalau 
  malam hari.”
“Wah, kalau itu sih biasa pak!”
“Sekedar barang jatuh sendiri atau apa begitu, teman saya masih biasa saja. Tapi ini diluar 
  dari biasanya!”
Saat stasiun radio itu tutup, seharusnya sudah tidak ada lagi yang siaran. Tapi teman Pak Djito tahu sendiri, lampunya tiba-tiba hidup lagi. Padahal dia sudah pastikan kalau baru saja mematikannya. Irul sudah bergaya bak detektif. Keningnya berkerut mencoba memecahkan kasus aneh ini. Satu tangannya memegang dagu seolah dia sedang berpikir keras memecahkan hal ganjil itu.
“Tenang saja, Pak Djito. Serahkan pada detektif supranatural Irul dan Dayun Jinggo!”
“Pak nggak usah didengarkan omongannya Irul. Suka nggedabrus anak itu!”
“Begini saja, Mas Dayun datangi teman saya. Ini alamatnya kalau mau kesana. Biar dia  
  sendiri yang cerita sama masnya. Saya juga nggak terlalu paham apa masalahnya.”
“Nggak harus sekarang kan, pak?”
“Wah, nggak harus kok mas! Kalau ada waktu lega saja kesananya.”
“Ya bukan begitu, pak! Saya kan harus tutup cucian motor ini dulu. Takutnya nanti bisa 
  seharian kalau pas kesana.”
Pak Djito pun mengangguk saja. Inilah yang dia sukai dari seorang Dayun. Tetap bertanggung jawab dengan tempat cucian motor ini. Sekalipun diminta tolong untuk lakukan hal lainnya. Akhirnya bos barang rongsokan itu pun pergi. Irul ingin mengajak teman semasa sekolahnya mengobrol soal kasus tadi. Tapi kebetulan sekali ada pelanggan datang hendak mencucikan motornya. 
“Nah, Mas Dayun kan belum sarapan. Sini biar aku aja yang cucikan motor mbaknya. Terus 
  mas sarapan dulu yang tenang ya!”
“Eeh, tidak bisa begitu Mas Irul yang paling ganteng! Kamu tunggu saja disini ya. Ini sudah 
  tugasnya Dayun Jinggo mencucikan motor pelanggan.”
Akhirnya Irul manyun saja mendengar itu. Sementara Dayun diam-diam tertawa melihat wajah lucunya. Jelas ia tak mau kalau temannya yang cucikan motor pelanggan. Pertama, dia tahu kualitas kerja Irul seperti apa. Kedua, tentu Dayun ingin dapat uangnya juga. Kecuali cucian motor sedang rame dan dia sendiri kewalahan.
***

Komento sa Aklat (159)

  • avatar
    KupilApai

    mantap

    16d

      0
  • avatar
    rhdiono

    bagus si tapi coba pindah in video 😄

    17d

      0
  • avatar
    Mexla

    cerita yang bagus Dan seronok sekali

    26/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata