logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2 Menyadap Chat

Seketika langit runtuh di atasku. Akankah biduk rumah tangga ini karam? Tubuhku melorot tanpa daya seakan hilang pijakan. Aku harus bagaimana? Betapa rasanya aku ingin langsung bejek-bejek suami yang selama ini selalu terlihat sempurna di mataku.
“Tidak!”
Aku harus kuat untuk mempersiapkan pembalasan yang setimpal atas pengkhianatannya. Pura-pura tidak tahu untuk sementara adalah pilihan paling tepat. Jika langsung kubongkar, mungkin saja hanya kerugian besar yang didapatkan. Cukup hanya kepercayaan saja yang telah terampas. Jangan ada yang lain.
Aku adalah seorang aktris. Menjalankan sebuah peran adalah keahlianku bukan? “Heh." Kutersenyum sinis.
Kuhapus segera air mata yang berlinang. Tidak pantas setetes pun keluar lagi untuk seorang lelaki pengkhianat. Kubangkit dan dengan cepat mengambil ponsel milikku di kamar.
Setelah ponsel di tangan, segera kucari tahu bagaimana cara menyadap chat di sebuah situs video berbagi. Bisa kutemukan dengan mudah, lalu kuikuti langkah demi langkah caranya.
Buka sebuah peramban. Kumasukkan alamat aplikasi chat, kupilih titik tiga pojok atas dan scroll ke bawah untuk mengaktifkan situs dekstop. Muncullah sebuah barcode, kupastikan tulisan tetap masuk tercentang. Kubuka kembali aplikasi chat di ponsel rahasia Mas Andre untuk scan barcode yang sudah aku siapkan. Berhasil! Semua isi chat bisa aku baca leluasa di aplikasi chat ponselku. Tidak lupa aku nonaktifkan notifikasi di aplikasi chat dia agar aksiku tidak ketahuan. Sadapanku telah sempurna.
Segera kukembalikan ponsel itu ke tempat semula dan ku ambil sampo dalam kantong. Lalu secepatnya balik lagi ke kamar sebelum si pengkhianat terbangun.
“Hoam ... Sayang, sudah ketemu samponya?” tanya Mas Andre sambil menguap juga menggeliat.
Untung saja gerak cepat tadi. Telat sedikit saja bisa mencurigakan.
“Eh, Mas sudah bangun? Ada nih,” jawabku sewajar mungkin dengan menahan gejolak di dada.
Sungguh berpura-pura baik di depan pengkhianat tidak semudah berakting peran apa saja saat aku syuting.
“Sayang, belum beres ‘kan tadi mandinya? Yuk, kita mandi bareng saja biar waktu lebih efisien. Kebetulan Mas juga harus berangkat pagi-pagi ke kantor. Ada meeting dadakan,” ujarnya sambil memelukku dari belakang.
Deg, jantungku berdebar bukan karena ajakan mandi bersama. Karena jujur hal itu sudah sering kami lakukan. Aku teringat akan riwayat chat mereka yang gundiknya bilang harus pagi-pagi ke kantor agar bisa nganu terlebih dahulu.
“Ayok,” jawabku mengiyakan ajakannya. Jika kutolak, ia pasti akan bertanya kenapa?
Selesai mandi dan sudah dalam keadaan rapi aku terus berusaha mempertahankan senyuman manis di wajah ini agar tidak luput.
“Sayang, rapi banget mau kemana?”
“Oya Mas, aku lupa. Sebenarnya aku mau comeback ke dunia akting. Boleh?” tanyaku seraya bergelayut manja.
"Kok, mendadak sih, Sayang?" Hidungnya mengerut.
"Kemarin, manajerku menelepon. Katanya ada tawaran bagus dari salah satu PH. Setelah kupikir-pikir jenuh juga di rumah terus. Aku kepikiran juga, biaya pendidikan anak-anak kita. Apa lagi si Kakak katanya nanti kalau sudah besar pengen kuliah di luar negri. Jadi kita harus siap-siap dari sekarang," tuturku menjadikan anak sebagai alasan.
"Hmm, kalau itu memang sudah keputusan kamu, aku setuju-setuju saja. Tapi ingat keluarga adalah prioritas utama, ya! Jangan kecapean juga," pesannya.
"Terima kasih, Mas." Aku langsung mencium pipinya.
"Yang ini dong," pintanya menunjuk bibir. “Oya Sayang, bibirmu seperti luka. Kenapa?" tanyanya setelah memperhatikan bibirku. Padahal sudah dipoles lipstik untuk menyamarkan.
"Aku sariawan, Mas. Sakit sekali. Jadi untuk sementara tidak bisa cium disini." Akhirnya aku punya alasan yang tepat.
Tidak mungkinlah aku bilang terluka karena kugigit sendiri saat menyadari kenyataan pahit sebuah pengkhianatan dari orang yang paling aku percaya di dunia ini.
"Ya ampun Sayang, banyak-banyak minum vitamin c dong."
"Iya, Mas."
"Ya sudah, aku berangkat dulu takut meetingnya terlambat."
"Iya, hati-hati." Aku meraih punggung tangannya untuk salam.
“Anak-anak, Papa berangkat dulu. Nanti sekolahnya diantar Mama,” ucapnya kemudian menciumi pucuk kepala anak kami satu-satu.
“Papa berangkat pagi banget, Mah,” ujar Salma, si Sulung.
“Iya pagi banget,” timpal Nadira, si Bungsu.
"Iya, Papa ada meeting dadakan," jelasku.
Andai anak-anak tahu meeting apa sebenarnya yang dimaksud. Kutarik napas dalam saat bayangan menjijikan melintas di kepala tentang aktifitas yang akan dilakukan si Andre dengan gundiknya.
“Mah, sarapan apa pagi ini?" tanya Salma.
"Mama mau buatkan nasi goreng."
"Sosisnya yang banyak ya, Mah," pinta Nadira.
"Huh, dasar si sosis. Jangan Mah, sayurnya saja yang dibanyakin biar sehat," usul Salma.
"Ah Kakak, aku tidak suka sayur."
"Makanya belajar untuk suka sayur. Sayur itu sehat."
Nadira hanya mengerucutkan bibirnya.
"Sudah jangan ribut. Mama banyakin sosis buat Adek dan sayur buat Kakak."
Tidak butuh waktu lama nasi goreng sudah siap tersaji. Semenjak memiliki anak, aku memutuskan meninggalkan dunia artisku. Aku hanya fokus pada suami dan anak-anak. Bahkan meski mampu, aku sama sekali tidak mengambil jasa baby sitter.
Mempekerjakan ART pun hanya dari jam delapan pagi sampai jam empat sore. Di hari minggu aku meliburkannya agar aku dan keluarga memiliki quality time yang sempurna.
Tapi sekarang pandanganku mendadak berubah. Bukan sudah tidak sayang anak, tapi jika aku harus terus di rumah dalam keadaan seperti ini, ditakutkan tidak bisa mengontrol emosi. Jadi kucari kesibukan lagi di luar untuk mengalihkannya. Lagi pula Salma sudah duduk di bangku SD kelas empat dan Nadira kelas tiga. Jadi sudah cukup besar untuk mandiri.
“Mah, kok bengong?” tegur Salma.
“Eh, nggak. Ada yang mau Mama sampaikan sebenarnya,” akuku.
“Apa itu, Mah?”
“Mama mau terjun kembali ke dunia artis.”
"Serius, Mah?" tanya Nadira.
"Wah, kita pasti dukung Mama. Soalnya kita 'kan selama ini hanya bisa lihat film-film Mama yang jadul. Jadi penasaran seperti apa Mama berakting," antusias Salma.
Tidak menyangka sekali kalau anak-anak akan setuju begitu saja. Ya, ini kesempatan yang baik untukku.
"Iya, ada rumah produksi yang menawari Mama. Tapi sebenarnya Mama tidak yakin apa masih bisa berakting kayak dulu. Mengingat sudah vakum selama sepuluh tahun."
"Semangat, Mama pasti bisa," seru Salma.
Mereka berdua pun memberi dukungan dengan memelukku.
“Terima kasih, Sayang. Sebentar, Mama mau telpon dulu Manajer,” ucapku beralasan agar bisa menjauh untuk cek chat sadapanku.
Aku bergegas masuk kamar dan memeriksanya. Ternyata sudah ada chat masuk dari Si Gundik. Aku tidak sabar menunggu Andre membukanya. Karena kalau aku yang lakukan, nanti Andre bisa-bisa curiga saat chat yang belum ia baca sudah terbuka.
[Honey ...]
Akhirnya Andre sudah membacanya. Otomatis aku juga bisa baca.
[Iya Sayang, aku sudah sampai. Kamu dimana?]
[Oh, sudah datang? Aku tunggu di meeting room saja.]
[Ok, aku segera ke sana.]
[Cepat! Keburu yang lain pada datang lho,]
Astagfirullah, apa yang akan mereka lakukan di meeting room? Ngapain juga aku bertanya-tanya sesuatu yang sudah bisa ditebak. Sungguh otakku tidak bisa berhenti memikirkannya.
“Argh,” geramku tanpa sadar menyambar botol parfum dan melemparnya pada foto pernikahan kami yang menggantung di dinding
Craang ... Suara kaca bingkai pecah.
***

Komento sa Aklat (144)

  • avatar
    RahayuSingku

    Ceritanya memberi kita pelajaran apa itu sebuah balas dendam? Sumpah ni novel keren banget. rugi klo gak baca. best author 👍👍👍

    07/05/2022

      0
  • avatar
    Arga Ahsanul Hakim

    Nice

    19d

      0
  • avatar
    Cepot Bouble

    sangat kerennya

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata