logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Pacar Kedua

Tiga tahun kemudian. Rachel berusia dua puluh dua tahun. Dia mahasiswi semester enam S1 Sastra Inggris di sebuah universitas terkemuka kota Surabaya.
Gadis itu sudah berpacaran selama satu tahun dengan Rafael, kakak kelasnya yang dua hari lagi akan diwisuda menjadi Sarjana Manajemen Bisnis. Pemuda itu berasal dari kota Makassar, Sulawesi Selatan. Ayahnya seorang pengusaha bengkel terbesar di kota tersebut. Selain Rafael, pria itu mempunyai seorang dua orang anak laki-laki. Mereka masih kelas sebelas dan dua belas SMA di kota Makassar.
Dua hari menjelang upacara kelulusan Rafael dari universitas, keluarganya mengundang Rachel makan bersama di hotel bintang lima termewah kota Surabaya. Mereka memesan sebuah ruangan VIP agar dapat menikmati santap malam dengan lebih nyaman sekaligus bercakap-cakap dengan leluasa.
Rachel yang baru pertama kali bertemu dengan keluarga pacarnya berusaha semaksimal mungkin mempersiapkan diri. Dikenakannya gaun merah muda miliknya yang manis nan elegan. Dipolesnya make-up natural yang membuat wajah tirusnya kelihatan cantik dan segar. Dipakainya sepatu putih yang ber-hak sedang sehingga tubuh tingginya tidak kelihatan menjulang di samping Rafael yang tinggi badannya hanya 3 cm diatas dirinya. Dan yang terakhir, sebuah tas jinjing mungil berwarna merah muda kombinasi putih menyempurnakan penampilan gadis itu.
Ya, Rachel sudah siap untuk bertemu calon mertua dan adik-adik iparnya. Dia berpamitan dengan orang tua dan adiknya yang telah menerima Rafael sebagai bagian dari keluarga mereka.
Dan acara makan malam yang sangat penting itu berlangsung dengan lancar pada awalnya. Ayah, ibu, dan adik-adik Rafael menyambut kedatangan Rachel dengan baik. Bahkan gadis itu mendapatkan pujian dari ibu sang kekasih atas penampilannya yang feminin.
“Pintar sekali kamu memilih pacar, Raf,” puji sang ibu sembari tersenyum lebar. “Cantik, sopan, dan feminin. Ya begini dong, kalau milih cewek. Jangan yang aneh-aneh kayak dulu.”
Terdengar derai tawa orang tua dan adik-adik Rafael. Sementara Rachel hanya tertunduk malu. Dalam hati gadis itu bertanya-tanya memangnya seaneh apa mantan-mantan kekasih Rafael dulu.
“Terima kasih atas kedatanganmu kemari, Rachel,” ujar ayah Rafael ramah. “Sama seperti yang Tante tadi bilang, Om juga bisa lihat Rafael tidak salah pilih calon pasangan hidup. Selamat datang di keluarga kami, Nak.”
“Terima kasih banyak, Om,” jawab Rachel bersukacita.
Gadis itu bahagia sekali kehadirannya diterima dengan baik. Jerih payahnya berpenampilan sebaik mungkin tidak sia-sia.
Beberapa saat kemudian mereka semua menikmati hidangan yang disajikan di atas meja. Sesekali terdengar komentar-komentar ringan keluar dari mulut Rafael dan adik-adiknya yang ditanggapi dengan ceria oleh orang tua mereka. Hingga tibalah saat Rachel mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari ayah dan ibu sang kekasih.
“Rachel asli orang Surabaya?” tanya si tante ramah.
“Betul, Tante. Saya lahir dan dibesarkan di kota ini,” jawab si gadis sesopan mungkin.
“Papa-mama Rachel kerja apa?”
“Papa manajer akunting di perusahaan kosmetik lokal, Tante. Kalau Mama dulu pernah jadi asisten pastry chef di hotel. Tapi terus berhenti karena harus memberi perhatian lebih pada adik saya. Jadi Mama kemudian menjadi ibu rumah tangga penuh waktu sembari kadang-kadang masih meneruskan hobinya membuat kue….”
“Memberi perhatian lebih pada adikmu?” tanya ibu Rafael seraya mengerutkan kening. “Memangnya adikmu kenapa, Rachel?”
Rachel pun mengaku, “Adik saya autis, Tante. Diagnosanya keluar waktu dia umur empat tahun. Sejak saat itu Mama memutuskan untuk berhenti kerja supaya bisa fokus mengawasi adik.”
Ibu Rafael tertegun mendengar penjelasan kekasih putra sulungnya. Suasana menjadi hening. Adik-adik Rafael tiba-tiba menjadi alim, tak berbicara sedikitpun. Mereka berpura-pura fokus pada hidangan makan malam. Rafael sendiri tak berkata-kata. Hati Rachel berdesir. Gadis itu merasakan firasat tidak enak.
Ayah Rafael-lah yang memecah suasana. Pria itu menatap tajam pada Rachel yang mulai kelihatan canggung.
“Adik Rachel laki-laki atau perempuan? Dia umur berapa sekarang?”
“Adik saya perempuan, Om. Namanya Velove. Dia sekarang umur tujuh belas tahun. Lebih muda lima tahun dari saya.”
“Apa dia masuk sekolah?”
“Iya, Om. Adik saya homeschooling. Tapi tidak di rumah. Seminggu tiga kali dia diantar Mama atau saya belajar di sekolahnya itu.”
“Kenapa tidak masuk sekolah umum? Teman Om di Surabaya ada yang punya anak autis. Bisa masuk sekolah umum, kok. Cuma memang harus selalu didampingi guru khusus yang disebut shadow teacher.”
“Dulu maksud Papa dan Mama juga begitu, Om. Velove dimasukkan ke sekolah umum. Tapi ternyata waktu SD teman-teman sekelasnya tidak mau berteman dengan Velove….”
“Kenapa?”
“Karena…ehm…adik saya waktu itu masih suka tantrum, Om. Jadi tidak bisa nyambung dengan teman-temannya.”
“Dulu anaknya teman Om juga begitu waktu awal-awal sekolah. Tapi diteruskan saja sampai anaknya bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Sekarang katanya sudah kuliah di Surabaya dan tidak didampingi shadow teacher lagi.”
Rachel merasa terdesak. Dia jadi bingung sendiri. Bukankah pertemuan ini untuk perkenalan antara dirinya dengan keluarga Rafael? Kenapa sekarang mereka malah membahas tentang Velove?
Melihat sang kekasih kebingungan, Rafael mulai bertindak. “Sudahlah, Pa. Tujuan kita ke sini kan buat makan enak, ngobrol yang bikin hepi, nggak serius-serius amat. Sini Rafael ambilkan sup ya, Pa, Ma. Mumpung masih hangat.”
Hati Rachel bagaikan disiram air segar. Ditatapnya pacarnya penuh terima kasih. Setelah mengambilkan sup buat kedua orang tuanya, Rafael diam-diam menepuk-nepuk tangan Rachel untuk menenangkan hatinya.
Lalu pemuda itu mulai melontarkan candaan pada adik-adiknya. Dua anak muda itu mengerti maksud sang kakak. Mereka dengan sikap ceria menimpali perkataan Rafael sehingga suasana menjadi riang kembali. Gelak tawa mulai terdengar dan kecanggungan Rachel berangsur-angsur menghilang.
Sementara itu ibu Rafael tetap berdiam diri sembari melirik sang suami. Ekspresi wajah ayah Rafael datar-datar saja. Pria separuh baya itu tampak menikmati hidangan makan malam yang mewah. Namun sang istri yang telah mendampinginya selama seperempat abad itu dapat merasakan bahwa suaminya tersebut sudah tak memberikan lampu hijau atas hubungan putra mereka dengan Rachel.
***
Esok paginya Rafael datang bertamu ke rumah Rachel. Ayah si gadis sudah pergi bekerja, sedangkan ibunya pergi mengantar Velove ke sekolah.
“Papa-mamaku mau bertemu dengan Velove, Chel. Bisakah nanti malam kita ajak makan dia bersama keluargaku?” tanya Rafael hati-hati. Ekspresi wajah pemuda itu tampak sungkan.
Rachel menatap kekasihnya penuh tanda tanya. “Sori, Raf. Kenapa cuma mengundang Velove? Papa-mamaku nggak?”
Keringat dingin keluar dari pelipis Rafael. Hati Rachel mulai ciut. Gadis itu dapat merasakan hubungannya dengan pemuda itu mulai berada di tepi jurang.
“Papaku…ehm…penasaran Velove itu seperti apa. Karena dia kan satu-satunya saudara kandungmu, Chel. Jadi Papa ingin tahu kondisi Velove itu gimana sebenarnya.”
Emosi Rachel mulai naik. “Adikku itu autis, Raf. Aku sudah mengakuinya kemarin di depan seluruh anggota keluargamu. Terus mau tahu apa lagi? Kalau Velove kubawa pergi nanti tanpa mamaku, pasti akan muncul pertanyaan dari orang tuaku kenapa dan bla-bla-bla lainnya. Terus aku mesti jawab apa, Raf?”

Komento sa Aklat (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata