logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hatiku Bukan Untukmu

Hatiku Bukan Untukmu

Sofia Grace


Patah Hati

“Hatiku bukan untukmu. Selamat tinggal.”
Rachel bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia membalikkan badan. Air mata gadis itu sebenarnya hampir tumpah, tapi ditahannya dengan sekuat tenaga. Dia harus pergi meninggalkan Felix dengan gagah, seolah-olah hatinya tak hancur sedikitpun. Hal itu harus dilakukan Rachel demi menepati janji pada Frida, ibu kandung Felix yang memintanya untuk meninggalkan putra tercinta.
“Felix itu satu-satunya penerus keluarga kami, Rachel,” tutur wanita separuh baya itu dua hari yang lalu. Frida datang menemui Rachel di rumahnya tanpa sepengetahuan Felix. “Papanya dokter spesialis saraf senior di kota ini. Dia tahu betul bahwa gangguan autisme itu bisa menurun. Terus terang kami tidak mau mengambil risiko itu, Rachel. Maaf.”
Saat itu Rachel hanya bisa tertegun. Lidahnya kelu, tak mampu berkata-kata. Gadis itu syok mendengar alasan ibu kekasihnya kenapa tak merestui hubungan mereka. Hubungan yang baru berjalan tiga bulan. Hubungan yang masih dalam fase indah dan bucin-bucinnya. Hubungan yang belum tentu akan berlanjut ke jenjang pelaminan, mengingat usia Rachel dan Felix masih sama-sama delapan belas tahun dan duduk di tingkat akhir SMA.
“Tante sungguh berharap kamu bisa mengerti. Tante tahu kamu gadis yang baik, Rachel. Tante dan Om sebenarnya menyukai sikap dan pembawaanmu waktu diperkenalkan oleh Felix minggu lalu di rumah. Sayangnya kondisi adikmu tak memungkinkan kami untuk merestui hubungan kalian lebih lanjut….”
Kalimat terakhir Frida membuat Rachel naik darah. Gadis itu bangkit berdiri dan berkata dengan tegas, “Rachel mengerti, Tante Frida. Jangan kuatir. Rachel sendiri yang akan memutuskan hubungan dengan Felix. Nggak masalah.”
Frida tersenyum lega. “Terima kasih banyak atas pengertianmu, Rachel. Tapi Tante mohon agar kamu tidak menceritakan kedatangan Tante ke sini, ya. Kamu tahu sendiri Felix itu anak yang keras kepala. Sikapnya teguh sekali mempertahankan apa yang diinginkannya.”
Rachel semakin berani. “Felix juga bukan orang yang suka mengemis-ngemis cinta, Tante. Kalau saya sendiri yang bilang tidak menaruh hati padanya, Felix pasti akan mundur teratur.”
Frida manggut-manggut mengerti. Wanita itu sebenarnya agak tersinggung dengan sikap tak hormat gadis di hadapannya. Tapi ditahan-tahannya perasaan itu. Dia sudah merasa lega Rachel bersedia memenuhi permintaannya tanpa bertele-tele.
“Tante berhutang besar padamu, Rachel,” cetus ibu kandung Felix itu penuh rasa terima kasih. Kemudian wanita cantik itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tas jinjingnya yang bermerek ternama. Disodorkannya amplop tebal berbentuk persegi panjang itu pada Rachel. “Ini dari Om dan Tante sebagai tanda terima kasih atas bantuanmu….”
Rachel semakin merasa terhina. Dia muak sekali pada keluarga Felix. Harga dirinya diinjak-injak. Dengan sorot mata penuh amarah dan nada suara sinis, gadis itu menegaskan, “Kalau Tante Frida tidak ingin Felix tahu tentang pembicaraan kita ini, sebaiknya benda itu dijauhkan dari saya. Rachel Yonatan memang bukan orang kaya. Tapi dia masih tahu bagaimana caranya menjadi orang yang berakhlak baik.”
Frida mendesah kecewa. Dia sadar telah menyakiti hati gadis itu. Hal itu terpaksa dilakukannya demi masa depan putra tercinta. Wanita itu tersenyum simpul seraya memasukkan kembali amplop berisi uang itu ke dalam tas jinjingnya. Kemudian tamu yang tak diundang itu mengangguk sopan sembari berpamitan pada si nona rumah.
Hati Rachel hancur lebur. Begitu mobil Frida melaju meninggalkan rumah, gadis itu berlari masuk ke dalam kamar tidurnya. Air mata Rachel deras tiada henti. Untung ayahnya sedang bekerja di kantor. Beliau biasanya baru pulang menjelang petang. Sedangkan ibunya pergi mengantar Velove menjalani terapi di pusat pelatihan anak berkebutuhan khusus yang letaknya agak jauh dari rumah mereka. Jadi Rachel sendirian di rumah. Dia bebas menumpahkan kesedihannya tanpa diketahui siapapun.
Dan sekarang gadis itu menepati janjinya untuk memutuskan hubungan dengan sang kekasih. Dia menemui Felix di kedai kopi langganan mereka. Rachel memilih tempat duduk di ujung kafe yang sepi dan tak menarik perhatian pengunjung. Dan kebetulan sore itu pengunjung tidak banyak. Sepertinya Tuhan memuluskan jalan gadis itu untuk berpisah dengan sang kekasih.
Setelah Rachel tanpa basa-basi memutuskan hubungan mereka dan beranjak pergi, tiba-tiba terdengar suara Felix memanggil namanya.
“Rachel!” seru pemuda itu seraya beranjak mendekati sang kekasih. Dia tak peduli suara kerasnya menarik perhatian orang-orang di kafe. “Apa maksudmu bilang begitu? Aku nggak ngerti. Apa salahku sebenarnya?”
Si gadis menghentakkan tangan Felix yang berusaha menahan kepergiannya. Dia berusaha membuang muka, takut pemuda itu menyadari ekspresi wajahnya yang berduka.
“Aku sebenarnya nggak pernah ada perasaan sama kamu, Felix. Hubungan kita selama tiga bulan ini bagiku cuma main-main saja. Karena teman-temanku sudah punya pacar semua. Aku iri sama mereka. Ingin sekali mencoba rasanya pacaran itu seperti apa. Ternyata aku merasa nggak nyaman. Lebih enak single.”
“Bullshit!” umpat si pemuda marah. “Aku nggak percaya sama kata-katamu, Rachel. Pasti ada sesuatu yang membuatmu jadi begini. Jujurlah, Rach. Ada masalah apa sebenarnya?”
“Nggak ada masalah apa-apa. Aku cuma nggak mau pacaran dulu. Sudahlah. Apa kamu nggak malu dilihat banyak orang begini? Masa Felix yang ngetop di sekolah mengemis-ngemis cinta di depan umum? Masih punya harga diri nggak, kamu? Cuih!”
Felix tercengang. Tak pernah diduganya Rachel sanggup bersikap arogan seperti ini. Padahal gadis itu selalu ramah dan manis pada siapa saja. Kenapa sekarang berubah jadi sarkastis begini?
“Aku mau pulang. Mulai sekarang jangan kejar-kejar aku lagi. Dan sebaiknya kita nggak perlu saling menyapa di sekolah. Anggap saja kita nggak pernah kenal satu sama lain. Lanjutkan hidupmu sendiri. Selamat tinggal!”
Dan pergilah Rachel Yonatan dengan sikap penuh percaya diri. Dadanya membusung ke depan seakan-akan begitu yakin dengan keputusannya meninggalkan Felix. Tak ada yang menyangka hati gadis berpostur tinggi langsing itu sebenarnya berdarah-darah. Luka dalam hatinya menganga lebar. Entah kapan akan mengering.
Emosi Felix menggelegak. Pemuda itu berteriak-teriak bagaikan orang gila. “Dasar cewek murahan, tega-teganya kamu mempermainkan aku! Kamu pikir di dunia ini nggak ada perempuan lain apa? Aku bisa mendapatkan cewek lain yang jauh lebih cantik dan keren daripada kamu, Rachel Yonatan! Pergilah kamu sejauh-jauhnya. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi. Najis aku melihatmu. Najis!”
Dua orang petugas sekuriti bergegas mendekati pemuda itu untuk diamankan. Rachel menguatkan hatinya untuk tak menoleh ke belakang. Langkah kaki gadis itu semakin cepat.
Dia ingin segera meninggalkan kafe favoritnya yang kini bagaikan neraka. Dia mau pulang ke rumah, memeluk Velove, dan menumpahkan kesedihannya yang menyesakkan hati. Meskipun adiknya yang autis itu tak mampu memahami persoalan yang dialaminya. Tapi justru itulah yang dibutuhkan Rachel. Orang yang bisa mendengar curahan hatinya dan takkan membocorkannya pada orang lain.
***

Komento sa Aklat (14)

  • avatar
    ContessiaAnnatasa

    seru banget !!

    10/07

      0
  • avatar
    Abby Azarinah

    👍🏻👍🏻

    02/07

      0
  • avatar
    KotoRisniyati

    semangat terus yah

    12/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata