logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 6 Mahkota

Aku dan Jovan duduk bersebelahan di sofa, menonton film Freaky--genre thriller komedi. Menikmati popcorn, keripik kentang, dan minuman soda. Jovan tidak ada kegiatan, begitu pun aku. Setidaknya aku dan Jovan punya hobi yang sama, nonton film.
"Jo, kok, kamu bisa berteman dengan Rayn?" tanyaku.
"Pertama bertemu waktu di Bromo. Setelah itu kami sering naik gunung bareng," jawab Jovan, meluruskan kaki panjangnya.
Hobi naik gunung rupanya, apa Rayn tidak takut kulitnya terbakar? Dia menjadi brand beberapa produk terkenal. Yah, setidaknya harus menjaga tidak ada goresan di kulit.
"Bagi Tante, apa yang menarik dari Rayn?" Jovan menatapku.
Duh, apa yang menarik dari Rayn? Aku meraih kaleng soda, meneguk sampai tandas. "Aku tertarik karena dia lucu," ucapku.
"Lucu? Humoris maksudnya?"
Aku mengangguk, namun sebenarnya tidak tahu apa yang menarik dari seorang Rayn. Bagiku dia lelaki perayu ulung. Bagiku belum ada sisi yang menarik.
"Semoga pernikahan kalian kelak langgeng, sampai maut memisahkan." Ucapan Jovan terdengar antara tulus dan sindiran.
"Semoga saja," gumamku.
Film sudah selesai. Sekarang berubah menjadi tayangan acara televisi. Tampak pasangan yang bergandengan tangan di terminal bandara, dikerubuti wartawan. Keduanya terlihat mesra. Aku pernah melihat keduanya? Hmmm, di mana, ya?
"Itu Shanum dan Bastian, baru pulang honey moon," cetus Jovan. "Shanum dua bulan yang lalu menang kompetisi memasak, Bastian aktor film."
Pantas saja aku seperti pernah melihat keduanya. Jadi, perempuan berambut sebahu itu yang membuat Raynar terkapar?
"Berapa lama Shanum dan Rayn menjalin hubungan?"
"Jiahahaha, Tante cemburu, ya?" Jovan mendorong lenganku. "Tanya sendiri sama Rayn."
Aku balik mendorong tubuh besar Jovan. "Cemburu itu wajar dalam sebuah hubungan!"
"Setahuku lima bulan, mereka putus dan nggak lama kemudian, Shanum menikah." Akhirnya Jovan memberitahu.
Aku meraih ponsel di meja. Mencari tahu tentang Shanum di Google. Foto-foto cantiknya terpampang. Juga foto-foto mesra saat menjadi kekasih Rayn. Dikabarkan Bastian merupakan orang ketiga dalam hubungan Rayn dan Shanum.
Di balik sikapnya yang kadang konyol, Rayn menyimpan duka. Cinta itu, cinta untuk Shanum apakah masih merajai hatinya?
"Tanteku sekarang juga masuk berita gosip di televisi." Jovan mendadak memelukku.
"Eh, ngapain kamu?"
"Selain sebagai Tante, kita tuh kek sahabat ...." ucap Jovan melepas pelukan.
Aku dan Jovan dibesarkan oleh perempuan yang sama yaitu Mbak Roro. Usiaku berjarak 21 tahun dengannya. Dia selalu menjuluki aku sebagai anak hasil kebobolan. Tepat diusiaku 6 tahun, Mama meninggal dunia disusul Papa 4 bulan kemudian.
Aku menjitak kepala Jovan. "Aku tetap tantemu, harus sopan."
"Akulah orang pertama yang akan memukul Rayn bila suatu hari nanti, dia membuat Tante menangis," kata Jovan. "Nggak nyangka jodoh Tante itu Rayn, kutukan Tante terkabul."
"Kutukan apa?"
Jovan mengingatkan pada kejadian di pinggir kolam renang, waktu Rayn mengatakan kalau aku setengah tua. Ah, itulah kelebihanku. Suka asal ngomong.
"Akibat asal ngomong. Makanya Tante kalo ngomong disaring dulu," cibir Jovan.
"Bicara asal itu kadang puas ...." Aku menggaruk rambut.
"Aku harap anak pertama Tante dan Rayn berjenis kelamin laki-laki. Biar aku ajarin naik pohon, naik gunung ...." ujar Jovan.
Syetdah, otak semua orang pada penuh anak dan anak. Mereka tidak tahu, tidak ada anak yang akan terlahir.
***
Tubuhku melompat sementara tangan melempar bola basket ke ring. Yes, tiga poin. Ella menggelengkan kepala, keringat membasahi wajahnya dan kaus yang dia kenakan. Dia menggiring bola.
"Kamu nggak bisa melewati aku." Aku menghalangi Ella, sahabatku itu memutar tubuhnya.
"Coba kalau bisa," tantangnya. Dia langsung melempar bola ke ring. "Shutt!'
"Oh, gagal," ejekku, melihat bola memantul di papan ring.
"Dahlah, aku minum dulu." Ella duduk di bangku kayu panjang. Dia meneguk air putih langsung dari botolnya.
Aku meraih handuk kecil, mengelap wajah yang basah oleh keringat. Duduk di lantai lapangan basket. Sederet warna jingga merias langit biru. Aku juga bisa merasakan embusan angin.
"Besok kamu akan bertemu dengan orang tua Rayn, sudah mempersiapkan baju?"
"Memang perlu, ya?" Aku balik bertanya.
"Seenggaknya rias wajahmu, beli baju baju baru, pertemuan pertama harus berkesan, Lin," sahut Ella, dongkol.
Baju apa yang harus kupakai? Kapan terakhir kali aku beli baju? Empat atau lima bulan yang lalu. Lemariku hanya dipenuhi kaus, celana jeans, celana kulot, kaus, kemeja.
"Beli gaun, Lin. Tapi, bukan gaun mini, ya ...." Ella duduk di sebelahku. "Seperti ini."
Ella menunjukkan gambar gaun di salah satu marketplace. Gaun putih dengan motif bunga berwarna biru, detail lengan ruffle. Jari Ella me-slide gambar lain.
"Bagus-bagus. Cantik." Aku berkomentar.
"Pakai high heels, Lin. Biar tambah feminim. Kalau mau agak tomboi, kamu bisa pake jaket denim," saran Ella, mirip penata busana.
"Gaun-gaun yang cantik. Tapi, lebih cantik kamu."
Aku dan Ella sama-sama mendongak. Rayn sudah berada di belakang kami. Dia tersenyum lebar.
"Terima kasih aku dibilang cantik," ucap Ella, riang.
Rayn duduk tepat di belakangku, kedua tangannya melingkar di pinggang. Wajahnya bersandar di bahuku. Oh, aku kehabisan napas. Kenapa dia tiba-tiba begitu ...?
Ella pura-pura menutup matanya. "Damn, kalian bikin aku ngiler. Pacar, mana pacar?"
Aku mencoba mengatur jantung yang berdetak aneh. Napas Rayn terasa di tengkukku. Wangi parfumnya lembut, mirip kayu manis.
"Aku pulang duluan, deh. Ganggu yang sedang kangen-kangenan. Aku merasa teraniaya!" Ella menjitak pelan kepalaku, dia meraih duffel bag-nya. Keluar lapangan basket.
"Rayn ...." lirihku memanggil namanya.
"Rasanya nggak ingin aku lepas."
Pendengaranku tidak salah, ucapan Rayn membuat aku semakin sesak bernapas.
"Sebentar saja, Lin ...." gumamnya.
Aku mencari-cari udara, mengisi paru-paru. Aku semakin gelisah dan tidak nyaman. Bisa kurasakan degup jantung Rayn di punggungku, seolah bertautan dengan jantungku. Beberapa orang yang lewat memperhatikan kami.
"Kamu selalu memberiku kejutan, tahu-tahu muncul. Seenggaknya beri aku kabar kamu ingin bertemu--" Perkataanku berjeda. Aku tidak bisa mengatur Rayn.
"Dari bandara aku langsung ingin bertemu denganmu, tadi aku ke rumah. Kata Jovan kamu sedang bermain basket," terang Rayn, belum melonggarkan pelukannya.
"Rayn, pelukanmu ...."
"Mulai sekarang kita harus berakting mesra, Tante Raline alias Lin Tersayang."
Semprul, sudah bergetar tak keruan ternyata cuma akting. Aku menepuk jidatku sendiri. Hampir saja aku terbenam dalam sikap Rayn yang ehem ....
"Jangan kaget, jika suatu saat aku menciummu." Rayn tertawa.
Aku menyikut perut Rayn, berusaha lepas dari pelukan dengan berdiri. Namun, Rayn menarik lenganku, sehingga aku terjatuh tepat di atas tubuhnya.
Astaga! Apa ini? Terasa lembut. Mataku mengerjap-ngerjap. Arrghh, bibirku berada di bibir Rayn.
Refleks aku langsung berdiri. Kikuk. Gugup. Malu. Apalagi, ya? Pokoknya aku jadi salah tingkah.
"A--aaku, mau pulang," ucapku.
Aku berjalan ke arah bangku panjang. Tolong, aku butuh asupan oksigen lebih banyak. Dia bukan lelaki pertama yang menciumku ... eh, memang tadi Rayn menciumku? Itu hanya kecelakaan. Tetapi, sentuhan tadi berbeda. Ya, aku tidak tahu bedanya di mana. Hanya berbeda.
Ketika memasukkan bola basket ke tas, mataku beradu dengan mata milik seorang perempuan di lapangan sebelah--lapangan tenis. Setelah itu aku mengikuti pandangannya yang terarah pada Rayn.
Shanum. Dia mantan Rayn. Arabel? He? Ada Denish dan ... emmm aku lupa nama suaminya Shanum. Baskom? Baston? Basten? Mereka berempat. Ternyata mereka saling kenal.
Apa tadi mereka melihat ciuman kecelakaan?
"Hei, Lin," sapa Denish.
"He--"
"Hei, Om Denish." Rayn memotong kalimatku. "Wah, olahraga ya, biar strong di malam pertama. Biar bisa tiga ronde."
Rayn menggapai jemari tanganku. Dia mengajakku pulang, tapi Baston or Basten menantang duel main bola basket.
"Bastian, sebaiknya kita pulang. Hari sudah sore," sergah Shanum.
"Maaf, Bro, aku lebih suka menghabiskan waktu dengan kekasihku," tolak Rayn.
"Seleramu turun, ya. Seharusnya kamu pacaran dengan model." Baston or Basten berkata sinis. Aku ingat namanya. Bastian.
"Raline perempuan yang paling manis yang pernah aku kenal, dia mungkin nggak punya tubuh semehoy seksi plus-plus, tapi dia membuatku nyaman," sahut Rayn.
"Dia sisaku," timpal Denish.
Rayn tertawa. "Lalu, Arabel? Bukannya dia bekas laki-laki lain? Sudah berapa lelaki yang tidur dengan calon istrimu."
Aku menarik-narik lengan kaus Rayn. Situasi jadi horor. Aku juga menepuk-nepuk punggung Rayn.
"Rayn, mari kita pulang ...." bisikku.
"Kalian boleh menghina aku, tapi jangan menghina calon istriku!" teriak Rayn lantang.
Saat Rayn mengatakan itu, mimik Shanum agak keruh. Dia berjalan menjauh. Mata Rayn sempat mengekori Shanum.
Karena Rayn tetap bergeming, aku menarik tangannya keluar lapangan basket.
"Aku nggak bawa mobil, tadi ke sini naik taksi," papar Rayn.
Rayn itu mudah emosi. Saat di kedai kopi dan sekarang terpancing si Bastian dan Denish.
"Kamu yang nyetir, aku capek." Aku menyerahkan kunci mobil tua pada Rayn.
"Kita pulang ke mana? Ke rumahku saja, ya?" goda Rayn.
Pulang ke hatimu, Rayn. Eh.
***
Rumah orang tua Rayn menurutku sangat wow. Ruang tamunya bergaya klasik. Aku pernah bertemu dengan papanya Rayn, Paman Hariz. Bagaimana dengan mamanya, seperti apa beliau? Namanya Tante Joya.
Semua akting, pura-pura, tetapi aku sangat gugup. Bertemu calon mertua palsu.
Aku mengenakan blus putih dengan aksen bordir bunga, rok selutut berwarna hijau emerald. Aku menggelung panjangku. Tidak ada riasan wajah berlebihan. Tadi siang menyempatkan beli sepatu baru.
Tante Joya ternyata ramah, beliau langsung membimbingku ke meja makan. Ayam panggang terhidang, aromanya menggugah perutku.
"Kamu perempuan satu-satunya yang dibawa Rayn ke rumah," celetuk Tante Joya. "Berarti kamu spesial, dan aku tidak memedulikan masa lalumu dengan siapa."
Paman Hariz menimpali. "Aku setuju Rayn menikah denganmu, biar dia tidak kelayapan terus. Selain itu, aku menyukai perubahan Rayn, mungkin karena kehadiranmu."
Perubahan apa? Aku melirik Rayn yang sedang minum jeruk peras. Memang apa yang berubah? Kelakuannya konyol dan emosional.
"Kamu pembuat keramik, gerabah?" tanya Tante Joya.
"Iya, Tante," jawabku pelan.
"Kapan-kapan bisa ajari aku?"
"Bisa, Tante." Duh, kok, aku malah gugup?
"Pernah ikut pameran?" Paman Hariz ikut bertanya.
"Pernah."
"Sudah, dong, wawancaranya," canda Rayn. "Mau lihat-lihat rumah, Lin?"
"Ta-tapi ...." Kita belum selesai makan, Rayn.
Rayn menarikku. Kami menaiki anak tangga, di lantai atas ada beberapa kamar. Kami berdua berdiri di balkon, di bawah tampak kilau air kolam renang. Beberapa lampu taman menyala, ada air mancur kecil.
"Aku jarang pulang ke rumah orang tua, paling satu bulan sekali," ungkap Rayn, dia melangkah masuk ke kamar bernuansa biru tua. "Ini kamarku."
Dengan ragu aku masuk kamar, melihat foto-foto yang terpasang di dinding. Masih ada foto Rayn dan Shanum dengan latar belakang menara Pisa.
"Oh, itu." Mendadak Rayn mengambil foto, membuangnya ke tempat sampah.
"Kenapa dibuang?" tanyaku.
"Besok aku akan menyuruh asistenku mengurus surat pengantar nikah ...."
"Sebentar, Rayn. Bukannya nikah pura-pura? Aku pikir nggak ada surat-surat yang perlu diurus, aku pikir kamu akan menyewa penghulu palsu," tanyaku, gusar.
"Nikah asli tapi palsu, Lin. Wartawan nggak bisa dikibuli, mereka akan menyelidiki," sahut Rayn, duduk di tepi ranjang.
Aku terdiam sebentar, laju berucap, "Seandainya kamu bisa meraih Shanum kembali, kita akan bercerai, kan? Terus statusku jadi aneh, dong."
"Maksudmu?" Dahi Rayn mengernyit.
"Statusku jadi janda perawan."
"Hah, janda perawan?"
"Ya, iyalah, kita, kan, nikah pura-pura, ya nggak mungkin begi--" Upss. Aku kebablasan bicara, seperti biasa. Aku belum terlambat jika ingin mundur dari rencana gila.
"Jadi, kamu masih ...?" Rayn memiringkan kepalanya.
Kenapa malah jadi berubah topik yang sensitif? Mampus kamu, Lin.
"Sebagai perempuan yang terhormat dan bermartabat, harus bisa menjaga mahkota dari serangan-serangan menggoda para serigala berbulu kelinci. Mahkota yang hanya diberikan pada lelaki bergelar suami," ucapku penuh semangat.
"Baiklah kita ubah rencana," kata Rayn, mendekati aku. "Aku ingin jadi suami yang sesungguhnya, kita menikah beneran."
Hilih. Modus.

Komento sa Aklat (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata