logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 3 Rain

"Tega kamu, Denish." Bibirku bergetar, air mata meluap. "Dia perempuan bersuami. Gila kamu!"
"Aku memang gila, Lin. Aku gila karena kamu sok suci! Selalu menolak diajak bercinta," ungkap Denish.
"Alasan! Dasar lelaki bejat!" Aku berteriak keras. Melempar sepatu milik Arabel ke tubuh Denish.
Arabel beranjak dari ranjang, dia berdiri di sebelah Denish. "Fyi, aku sudah bercerai dengan suamiku yang lemah di tempat tidur."
Punggung tanganku mengusap air mata yang terus menggenang. Aku mengatur napas supaya bisa tenang. Arabel pura-pura alergi kacang biar bisa menghabiskan waktu dengan Denish.
"Aku dan Denish akan bersama lagi," lanjut Arabel. Dia tersenyum sinis. "Benar, kan, Sayang?"
"Iya, Ara." Denish meraih kepala Arabel, mencium kening perempuan itu. "Karena kamu mengerti keinginanku."
Kedua tanganku mengepal kuat sehingga kuku melesak tajam. Aku meninggalkan kamar dengan perasaan tidak keruan. Dunia seakan runtuh. Tubuh juga terasa lunglai.
Aku meraih tote bag di meja dapur, berjalan terhuyung-huyung menuju pintu keluar. Ketika pintu terbuka, aku menemukan sosok Rayn. Kedua tangannya memeluk kardus cokelat berukuran sedang.
"Tante, Om Denish di mana? Aku nganter buku komik yang pernah aku pinjam." Rayn meletakkan kardus di lantai beranda.
"Ada di kamarnya." Aku mendorong tubuh Rayn yang menghalangi jalan.
"Ada apa, Tante?" Rayn mencekal lenganku. "Tante nangis?"
Air mata merembes kembali. Aku terisak dalam. "Lepaskan lenganku, Rayn ... kamu ingin tahu apa yang terjadi? Masuklah ke dalam rumah."
Rayn masuk ke rumah. Terdengar umpatan kasar dan barang pecah. Pagi yang kacau.
Mobil jadulku tidak mau menyala. Aku hanya ingin segera pergi dari rumah Denish. Aku mencoba lagi dan lagi. Memutar kunci berulang-ulang. Suara mesin muncul lalu hilang. Oh. Ada apa dengan mobil ini?
Aku menangis dan memukul-mukul kemudi. Kenapa di saat seperti ini si mobil ikut ngambek?
"Tante."
Suara Rayn membuatku mendongak, menyusut air mata yang terus saja menerjang. "Ya?"
Rayn merundukkan tubuhnya yang tinggi. Wajahnya dekat, hanya terhalang kaca jendela. "Aku antar pulang, biar mobilnya nanti aku urus."
Kemarin diantar pulang Rayn, sekarang dia juga menawarkan diri untuk mengantar pulang. Tiga hari hidupku serasa diputaran Rayn.
Aku keluar mobil perlahan. Menurut saja waktu Rayn merangkul bahuku menuju jipnya. Saat di dalam jip aku baru melihat ujung bibir Rayn yang berdarah.
"Rayn, ada darah di bibirmu," ujarku.
"Luka ini enggak seberapa dibandingkan dengan luka hati Tante. Om Denish hanya berhasil melayangkan satu bogem. Sedangkan aku berhasil meninjunya berkali-kali. Aku enggak rela Tante diperlakukan seperti itu," komentar Rayn panjang.
***
Sepanjang hari aku hanya meringkuk di atas ranjang. Aku tidak punya daya. Sangat sakit setiap mengingat Denish. Foto Denish di atas meja lampu, sudah berpindah ke tempat sampah. Hadiah-hadiah darinya terkumpul dalam kardus. Seandainya membuang cinta semudah membuang barang-barang, aku pasti tidak serapuh ini.
"Lin," panggil Mbak Roro. "Aku masuk, ya?"
Terdengar suara pintu terbuka, lalu usapan pelan mendarat di bahuku. "Kamu belum makan malam, aku bawakan roti isi."
Aku tidak merespon, masih bersembunyi di dalam selimut.
"Lin, jangan lupa makan rotinya. Patah hati boleh, tapi jangan sampai sakit. Dan, jangan lama-lama meratapi diri. Bangkit. Move on," ucap Mbak Roro.
Jadi, seperti ini rasanya dikhianati? Luar biasa hancur. Bahkan sudah tiga hari aku tidak ke galeri. Kasihan Ella.
"Masih banyak lelaki di dunia, Lin. Mungkin jodohmu sudah berada didekatmu ... jangan menyiakan waktumu karena Denish." Mbak Roro kembali menepuk bahuku sebelum keluar paviliun.
Aku pikir, Denish adalah jodohku. Dia baik dan romantis. Aku pikir, cinta Denish hanya untukku. Tuhan, aku ingin segera melupakan Denish.
Tubuhku keluar dari selimut. Meneguk air putih, lalu menyomot roti isi. Mengunyah perlahan. Cintaku kandas, tetapi kehidupanku tidak boleh berhenti.
Setelah menghabiskan roti isi, aku memunguti pakaian-pakaian kotor yang tergeletak di lantai, kursi, dan di atas ranjang. Kamarku berantakan sekali, tiga hari aku tidak memedulikan apa pun. Tenggelam dalam duka. Cinta memang menyakitkan.
Suara ketukan pada pintu menghentikan aktifitasku. Mungkin si Jovan.
"Selamat malam, Tante," sapa Rayn begitu pintu terbuka.
"Mau apa?" Aku bersedekap.
Rayn merogoh ke dalam saku celana jeans-nya. "Ini kunci mobilnya. Sudah selesai di perbaiki."
Oh. Aku lupa pada si mobil tua. Pikiran penuh Denish dan Denish. Aku menerima kunci dari Rayn sambil berkata, "Terima kasih, Rayn."
"Kembali kasih, Tante."
"Berapa biaya perbaikannya?" tanyaku.
"Enggak perlu diganti, Tante."
"Bener, nih?"
Rayn mengangguk. "Ganti dengan senyuman aja, Tante. Dan secangkir kopi atau teh."
Aku malah tertawa kecil. Dasar si Rayn.
"Nah, akhirnya wajah Tante terlihat bersinar," papar Rayn.
"Kapan-kapan aku akan mentraktirmu secangkir kopi." Aku menggaruk pipi. "Bukannya aku mengusirmu, tapi aku ...."
"Enggak apa-apa, Tante. Aku juga harus mengejar pesawat. Sampai jumpa." Rayn berjalan meninggalkan paviliun, tubuhnya tertelan pekat malam di ujung samping rumah.
Aku menutup pintu. Ponsel di meja lampu, menyala.
[Tante terlihat cantik walaupun rambut seperti sarang burung, walaupun ada noda air liur di pipi.] Emoji tersenyum manis.
[Selamat tidur, Tante. Jangan lupa mimpikan aku, dijamin enggak sedih.]
[Hadeh.] balasku dengan emoji tepuk jidat.
Dari mana Rayn tahu nomor ponselku? Aku berpindah di depan cermin. Piyama lusuh yang aku kenakan selama dua hari, rambut berantakan tidak disisir, mata sembab, dan tentu saja noda air liur. Betapa menyedihkan diriku.
Satu pesan masuk lagi. [Sudah kubilang, Tante itu cantik. Jangan bercermin terlalu lama.]
Mungkin Rayn itu paranormal jadi tahu kalau aku sedang berdiri di depan cermin. Rayn juga patah hati, tetapi dia terlihat biasa. Seolah tidak terjadi sesuatu. Ya, lelaki memang begitu. Mereka tidak ingin terlihat lemah. Walaupun sedang hancur, mereka kadang menutupi dengan sikap konyol.
***
Usaha untuk melupakan Denish butuh perjuangan. Tidak mudah menghapus kenangan selama bersamanya. Dan, aku merasa sangat-sangat bodoh karena terlalu mencintainya dan berharap lebih.
Aku termangu di balik meja. Rasa sedih masih berkeliaran entah sampai kapan. Ella sedang berada di bengkel di lantai dua. Dia sedang membuat mangkuk pesanan. Hari ini aku memaksakan diri datang ke galeri. Menurut Ella ada yang mendaftar kursus, dia sudah membuat jadwal pukul tiga sore.
Karena bosan, aku menyalakan televisi. Setelah gonta-ganti chanel, aku memutuskan menonton acara musik yang sedang tayang. Sosok lelaki berdiri di atas panggung, bernyanyi dan memainkan gitar. Dia terlihat tidak asing. Sang penyanyi mengenakan kaus hitam tanpa lengan. Penonton yang kebanyakan kaum hawa berteriak histeris. Rayn terlihat berbeda ketika bernyanyi, suaranya sangat indah. Empat hari yang lalu dia mengantarkan si mobil tua.
Hujan deras turun, suasana di luar berubah pekat. Aku menyurukkan kepala di meja. Ah, demi Tuhan, bayangan Denish masih kelayapan dipikiran. Senyumnya, pelukannya ....
"Tante, sedang memikirkan apa?"
Mataku mengerjap mendapati wajah Rayn tepat di depanku. Dia ikut menempelkan wajah di meja. Dia tersenyum.
Aku langsung menegakkan tubuh. "Kamu ngapain ke sini?"
"Pingin aja, sebelum pergi ke Bandung," ungkap Rayn.
"Kenapa enggak langsung ke Bandung malah buang waktu di sini?" Aku mengamati wajah Rayn, sepasang alis tebal menaungi mata, satu lesung pipi, kulit putih walaupun tidak seputih cowok di drama Korea.
"Khawatir dengan Tante," jawabnya.
"Aku enggak mungkin bunuh diri gara-gara Denish," timpalku. Seminggu berlalu, aku sudah melalui badai, hanya perlu membereskan puing-puing yang berserakan.
Ella berdiri di anak tangga. "Nah, itu muridmu sudang datang. Aku pikir enggak jadi datang karena cuaca buruk."
"Murid?" Aku bertanya bingung.
"Raynar yang mendaftar kursus, katanya ingin belajar dengan kamu, Lin. Hiks, dia enggak mau sama aku." Ella pura-pura mengusap matanya. "Giliran aku yang jaga galeri."
Rayn meringis saat aku mendelik ke arahnya. Dia melepas topi yang dikenakan, memperlihatkan rambutnya yang berantakan. Aku mengajaknya ke lantai dua. Melempar celemek padanya.
"Aneh-aneh saja kamu, harusnya kamu istirahat buat konser selanjutnya. Jaga kondisi badan, biar enggak sakit. Malah mau bikin keramik," omelku.
"Aku seperti sedang diomelin istri," goda Rayn.
"Cari istri sana," sahutku sambil mengikat celemek lalu mengambil tanah liat.
"Tante ... aku ingin memberitahumu, nanti malam Om Denish dan Arabel bertunangan."
Ucapan Rayn membuat tubuhku beku seketika, suara hujan bagai nyanyian kematian. Secepat itu Denish memutuskan bertunangan dengan Arabel?
"Mari kita mulai." Aku segera mengenyahkan perasaan sedih. Mengusap ujung mata yang basah.
"Mereka berencana menikah bulan depan," lanjut Rayn pelan. "Lebih baik Tante tahu sekarang."
Ah, sialan, air mata lepas begitu saja. Tidak ada cinta yang tersisa di hati Denish, mungkin saja aku hanya pelarian.
"Tante, jangan menangis." Rayn membingkai wajahku sebentar, lalu jemarinya mengusap pipiku yang basah. "Jangan pernah meneteskan air mata lagi untuk Om Denish."
Hening. Suara petir menggelegar, satu daun kering menempel di jendela yang basah. Cuaca di luar sangat buruk, seperti kondisi hatiku.
"Mari kita menikah, Tante ...."
Aku menatap wajah Rayn, terkejut mendengar ajakan menikah. "Kita menikah?"
"Iya, kita menikah," tandas Rayn serius.
What the ....

Komento sa Aklat (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata