logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2 Ruin

Denish menarik lenganku, langkahnya tergesa. Cengkeraman jari tangannya cukup kuat. Akibat noda merah di sudut bibirnya, dia jelas terlihat marah. Dia sempat mendorong tubuh Rayn dengan kasar.
"Denish, lenganku sakit," keluhku.
"Maaf, Lin." Denish mengendurkan pegangan, beralih menggenggam telapak tanganku. "Jangan dengarkan omongan si Rayn."
"Memang apa yang dimaksud Rayn?"
"Ah, sudahlah enggak perlu dibicarakan lagi."
Selama acara pesta ulang tahun, Denish tidak menghilang lagi. Dia selalu di sampingku. Ternyata Paman Hariz, ayahnya Rayn--si pemuda menyebalkan.
Aku menguap dibalik serbet, rasa kantuk datang begitu saja. Aku baru bisa tidur menjelang subuh setelah mengobrol singkat dengan Rayn.
Denish menyodorkan sorbet beku. "Kamu itu cantik, Lin. Akan lebih cantik lagi jika merias diri dan mengenakan baju yang lebih feminim," ucap Denish pelan.
Aku pikir, aku salah dengar--di antara suara riuh penyanyi dadakan di atas panggung--yang melantunkan lagu Here's Your Perfect. Aku menatap lurus Denish, memang tidak ada riasan berlebih di wajahku. Aku mengenakan rok berwarna hijau dan blus motif bunga.
"Maksudmu apa? Aku mengenakan rok selutut, itu kurang feminim? Memang harus feminim yang bagaimana lagi?" Aku mulai meradang.
"Lin, pakaianmu membosankan. Belilah gaun yang rada seksi," sahut Denish enteng.
Jelas aku tidak bisa mengenakan pakaian yang mengumbar paha, punggung, dan bahu. Risih menjadi target tatapan lelaki.
"Tolong, Arabel alergi kacang!" teriak Lona.
Arabel muntah, kemudian terjatuh dari kursinya. Perempuan itu mengerang kesakitan seraya memegangi perutnya.
Denish langsung berdiri dengan cepat sehingga kursi terjungkal ke lantai. Dia berlari ke meja Lona, mengangkat tubuh Arabel dan langsung tergopoh-gopoh menuju pelataran parkir. Diikuti Lona dan Diandra.
Sedangkan aku hanya terpaku di teras restoran, melihat mobil sedan Denish menghilang di tikungan jalan.
"Mari aku antar pulang, Tante." Sentuhan lembut mendarat di pundakku.
"Aku bisa naik taksi," tolakku halus.
"Kamu tamuku, Raline. Biarkan Rayn yang mengantar," bujuk Paman Hariz. "Anter Tante Raline, Rayn."
"Baik, Pa. Siap. Ayo, Tante." Rayn berjalan menuju pelataran parkir, langkah kakinya lumayan panjang. Dia sudah mencapai jipnya.
Kalau orang tua yang minta aku tidak bisa menolak. Dengan langkah pelan aku menuju jip Rayn. Duduk di sebelah kemudi.
"Tolong antar aku ke galeri, di jalan Nusantara delapan." Aku memberitahu Rayn. Ada jadwal kursus pukul dua siang.
Rayn mengangguk sambil menyalakan mesin jip. Namun, tubuhnya mendadak condong ke arahku.
"Rayn." Mataku mengerjap. Dia sangat dekat, sehingga aku bisa mencium wangi parfumnya.
"Pasang sabuk pengaman, Tante. Bisa mengurangi resiko kecelakaan dan tentu saja enggak kena tilang." Rayn menarik sabuk pengaman, memastikan pas di pundakku kemudian terdengar suara 'klik', dia sudah mengunci sabuk pengaman.
Aku mengembuskan napas pelan, tersenyum kikuk karena berpikiran kotor. Mobil kemudian meluncur cepat di jalan.
"Tante Arabel dulu pacaran dengan Om Denish, tapi memutuskan menikahi lelaki lain dan tinggal di luar negeri. Baru dua minggu dia mendarat di tanah kelahiran," papar Rayn. "Entah untuk urusan apa."
Aku sama sekali tidak tahu mengenai Arabel. Ah, dia juga masa lalu Denish dan perempuan yang sudah menikah. Tetapi, ada rasa takut yang bergerilya, melihat reaksi Denish saat melihat Arabel. Seolah tidak ada orang lain, dia mengabaikan sekitarnya, dan dia juga melupakan aku.
"Maaf, jika kenyataan itu membuat Tante enggak nyaman ...." Rayn memandangku sekilas.
"Enggak apa-apa, Rayn," sahutku. "Eh, tunggu, galerinya terlewati." Aku menepuk-nepuk bahu Rayn.
Rayn memundurkan mobil perlahan. Kepalanya sedikit merunduk. "Galeri Lin. Galeri keramik?"
"Iya, galeri punyaku. Juga tempat kursus membuat keramik." Aku melepas sabuk pengaman. "Terima kasih, ya, Rayn."
Rayn ikut turun dari mobil. Dia menyamai langkahku.
"Kamu mau apa?" tanyaku terheran.
"Mau lihat isi galerinya." Rayn mendahului masuk ke galeri. Suara jerit histeris menyambut kami berdua.
Aku melongo melihat Ella, dua perempuan pengunjung galeri, dan Dea yang mendekati Rayn. Mereka tersenyum, seperti terpesona.
"Kamu kenal Raynar Arthur, Lin?" Ella merapat di sebelahku.
"Iya, aku kenal Rayn. Kamu tuh kalau lihat cowok ganteng selalu luber enggak keruan," cerocosku.
"Yang satu ini beda, dia penyanyi terkenal. Dia sangat hot saat bernyanyi di atas panggung." Ella berbisik di telingaku.
"Penyanyi? Dia penyanyi?" Mataku terarah pada Rayn yang mengitari rak galeri, tangannya memegang vas bunga.
"Cari di Google nama Raynar Arthur. Ck. Kamu tuh kayak hidup di zaman Dinosaurus," sungut Ella, dia kembali ke meja kasir, melayani pembeli.
Baiklah. Aku mencari nama Raynar Arthur di kolom pencarian. Dan, wuallaaaa ... wajah Raynar terpampang dengan berbagai artikel berita. Lagunya sedang jadi hit. Aku akui, aku memang jarang melihat televisi.
"Dea," panggilku pada Dea yang baru saja ber-selfie dengan Rayn. "Ayo, kita mulai."
Dea mengikuti naik ke lantai dua. Gadis berusia 18 tahun itu kedua kalinya kursus membuat keramik.
"Kamu ngapain ngikut, Rayn?" sergahku pada Rayn yang ikut masuk ruangan kursus.
"Lihat Tante ngajar," jawab Rayn.
"Enggak boleh," putusku.
"Mbak Lin, aku enggak keberatan kok. Malah tambah semangat ada artis top yang mengawasi kita," ujar Dea cepat. Dia tersenyum malu-malu meong.
"Ya, terserah, deh." Aku meraih celemek.
"Jadi, Rayn itu ponakan Mbak Lin?" Dea penasarannya. "Kok, panggil Tante?"
"Aku bukan ponakan Tante Raline, aku calon suaminya." Jawaban Rayn benar-benar kacau.
"Rayn!" Suaraku menggelegar.
"Canda, Tante. Canda." Rayn tertawa.
Makhluk yang duduk di tepian jendela itu sangat-sangat menjengkelkan. Dia tampak mengamati ke luar jendela. Dari samping hidungnya terlihat mancung dipadu dengan rahang yang kokoh. Sedetik kemudian mata kami beradu. Sial, aku ketahuan mengamati Rayn. Bibirnya melengkung senyum, tetapi aku melihat mata hitam itu agak berembun. Seolah ada kesedihan di dalam mata Rayn.
***
Rayn betah menunggu, lebih tepatnya melihatku mengajar membuat keramik selama dua jam. Dia sama sekali tidak bergerak dari pinggiran jendela.
"Mbak Lin, jika setiap kursus ada si ganteng Rayn, aku mau daftar lagi," celetuk Dea jahil. "Aku rela membayar berapa pun."
"Enggak ada." Mataku membulat penuh.
Dea terkekeh, gadis itu menghilang di balik pintu. Aku mengajak Rayn keluar ruangan. Aku juga menyuruhnya pulang tapi dia bersikukuh ingin mengantar pulang.
"Kamu enggak ada konser, pemotretan majalah, wawancara di televisi, atau kencan dengan seorang gadis?" tanyaku.
"Kebetulan hari ini ulang tahun papaku, jadi aku mengosongkan semua jadwal. Aku enggak punya pacar, Tante." Rayn mengedipkan mata kirinya.
Ella berdeham-deham. Mengetuk-ngetukkan pensil di meja. Tingkahnya persis anak kecil.
"Kenapa belum pulang, Ella? Akhir pekan galeri tutup lebih awal." Aku dan Ella sepakat, setiap hari Sabtu galeri tutup pukul empat sore.
"Aku belum meminta tanda tangan." Ella meringis, menyodorkan sapu tangan warna pink dan spidol pada Rayn.
'Apa, sih, yang menarik dari Rayn? Tentu saja karena selebritis, Lin ...' batinku.
Aku membalikkan papan closed di pintu. Ella sudah di tunggu Fardi, sahabatku itu langsung membonceng di bagian belakang motor. Kedua tangannya melingkar pada pinggang Fardi.
Dalam perjalanan pulang, aku dan Rayn lebih banyak diam. Tidak ada pesan dari Denish. Dia mungkin sibuk mengurus Arabel. Percik cemburu mulai menyakiti hati.
Baru dipikirkan, Denish menelepon. Aku segera menggeser tombol hijau.
"Halo, Denish."
"Apa kau masih di restoran?"
"Aku sudah pulang."
"Maafkan aku, Lin."
"Enggak apa-apa," sahutku.
"Sampai jumpa besok, Lin. Kita akan nonton, pukul tiga sore aku akan menjemputmu."
"Ya." Aku menutup panggilan, entah mengapa aku tidak antusias dengan rencana kencan besok. Pipiku menempel pada kaca jip. Memejamkan mata.
"Ketika mencintai seseorang, kita harus siap dengan rasa sakit," tutur Rayn, "karena cinta enggak hanya tentang bahagia dan manis."
Hubunganku dengan Denish kerap pasang surut, dia juga belum berniat membawa hubungan kami ke arah pernikahan.
Aku membuka mata, jip sudah memasuki perumahan. Pergi dijemput Denish, pulang diantar ponakannya. Malam Minggu yang tidak menyenangkan.
"Terima kasih, Rayn," ucapku sebelum turun dari jip.
"Kembali kasih, Tante. Salam buat si Jovan," ucap Rayn.
"Akan kusampaikan. Bye." Aku melambaikan tangan. Jip hitam milik Rayn berlalu dari hadapanku.
***
Minggu pagi aku duduk di kursi dapur, Mbak Roro sedang membuat puding buah. Jovan sarapan sereal sambil baca majalah olahraga.
Tercetus ide ingin membuatkan puding cokelat susu favorit Denish. Aku mencari resep di You Tube, berpindah pada grup masak di Facebook, lalu balik ke Google.
"Kasihan temen gue, ditinggal pacarnya nikah ...." ujar Jovan.
"Temen kamu yang mana?" tanya Mbak Roro menuang puding pada cetakan.
"Raynar si artis terkenal. Entah apa kurangnya Rayn, sehingga Shanum memilih lelaki lain," jawab Jovan.
Aku mengalihkan pandangan pada Jovan. "Kapan nikahnya?"
"Nanti siang di Queen Hotel." Jovan menandaskan suapan terakhir sereal, dia kemudian meninggalkan dapur.
Pantas saja wajah Rayn terlihat sedikit murung, aku jadi paham tentang ucapannya mengenai cinta yang menyakitkan. Rupanya dia sedang patah hati.
Lebih baik aku ke rumah Denish, aku tidak akan memberitahunya. Kejutan hari Minggu untuknya. Daripada nonton di bioskop lebih aku memasak untuk Denish. Menghabiskan waktu dengan makan bersama.
Aku kembali ke paviliun dan berganti baju. Mengendarai mobil ke supermarket untuk belanja sayur, buah, dan daging sapi. Baru lanjut ke rumah Denish.
Mungkin Denish masih tidur karena baru pukul delapan pagi. Sambil menenteng kantong plastik, aku membuka pintu rumah. Denish memberikan kunci cadangan, jadi aku bisa masuk kapan saja.
Aku langsung ke dapur, menyalakan kompor untuk menjerang air. Membangunkan Denish dengan secangkir kopi.
Netra menangkap dua cangkir di meja makan, mungkin semalam Denish kedatangan tamu. Aroma kopi langsung menyergap hidung saat air panas memenuhi cangkir.
Dengan hati-hati aku menaiki anak tangga. Aku mendengar suara yang mencurigakan dari kamar Denish. Kaki melangkah pelan dan suara desahan semakin jelas.
"Kamu nakal, Denish." Suara perempuan. "Bukannya semalam kita sudah menembus langit ke tujuh."
"Aku sangat merindukanmu, Ara." Suara Denish.
Aku membeku di dekat pintu yang sedikit terbuka, sepatu warna merah tergeletak di bawah kakiku.
Kembali terdengar suara yang membuat hati terpilin hebat. Dua manusia tengah memadu kasih di atas ranjang. Mereka tidak menyadari ada aku yang sudah berdiri di ambang pintu.
Prang!
Cangkir di tangan tergelincir jatuh, pecahannya berserak dan menggores kakiku. Warna hitam membuat genangan tak beraturan di lantai.
Dua manusia itu terkaget, Denish menarik tubuhnya dari perempuan itu. Dia segera menyambar celananya.
"Ra--raline??" Denish tergagap.
Arabela menutupi tubuhnya dengan selimut. Dia menyembunyikan wajah di balik rambut panjangnya.
"Bu-bu-bukannya Arabel di rumah sakit karena alergi kacang?" Suaraku bergetar menahan tangis. Dada terasa sesak, napasku terasa berat.
Tidak ada yang menjawab.
Akan tetapi aku tidak perlu jawaban. Apa yang kulihat adalah jawaban. Denish berselingkuh dengan Arabel. Denish tidur dengan Arabel. Denish berkhianat.
Dan, aku terluka hebat.

Komento sa Aklat (89)

  • avatar
    AgustinaRatna Sari

    raline n Raynard.. ah ceritamu bikin aku selalu merasa awet muda mba Stef 💝💞💖💞💝💞💝💞💝💞💖 n gw bingung sm yg kasih bintang 1. tu orang g punya hati banget. udh baca gratis msh aj g bs hargain karya orang.

    25/03/2022

      1
  • avatar
    SolokGitaumi

    sangat bagus

    18d

      0
  • avatar
    md nooraznan

    best novel

    09/03

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata