logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

BAB 5 Beneran Mesra, Bukan Pura-Pura

Om, Nikah Yuk? 5
Beneran Mesra, Bukan Pura-Pura!
Oleh: Kenong Auliya Zhafira
Bagaimana rasanya jika ada gadis yang usianya berbeda jauh mengajak menikah lebih dulu? Malu atau senang? Atau justru merasa risih, karena mengajak menikah itu adalah tugas seorang pria untuk keberanian mengambil keputusan dalam hidup, bukan tugas wanita.
Namun, hatinya diam-diam merasakan desiran hangat dalam dadanya. Pria itu merasa menjadi orang yang berarti karena ada gadis yang terang-terangan menginginkan dirinya. Padahal sebelumnya dia pernah ditinggalkan tanpa alasan. Hidupnya pernah sangat terpuruk karenanya.
Jadi, ketika gadis labil di depannya menawarkan diri ingin menjadi istrinya, ada yang terasa tergelitik di dalam hati. Mungkin Rere belum pernah merasakan pahitnya ditinggalkan mimpi yang sudah susah payah dibangun.
Om Awan masih saja terdiam. Ia tidak pernah menjawab pertanyaan konyol dari Rere. Wajahnya menatap sekeliling untuk meredakan rasa kesalnya dengan tingkah Rere yang masih tidak jelas. Rere sudah mengutarakan niatnya hingga kedua kalinya, dan belum pernah sekali pun keluar jawaban dari mulutnya.
Akan tetapi, bukan Rere jika harus menyerah dalam pertarungan yang baru saja ia mulai. Sudah seharusnya mengejar orang yang membuat kita jatuh cinta. Tidak ada salahnya terus mencoba meluluhkan hati sang pria. Karena sepahit apa pun, cinta itu harus dan kayak diperjuangkan.
"Om, kok, diem? Rere udah punya KTP loh," jelas Rere agar pria di depannya bisa sedikit luluh dan tidak menganggapnya anak kecil. Usianya sudah cukup mengenal cinta dan seluk beluknya. Hanya tentang ungkapan cinta versi dewasa yang belum ia tahu.
Sebagai pria yang pernah gagal menikah, Om Awan tidak tahu harus menanggapi lelucon gadis di depannya. Ia hanya menjawab seadanya tanpa ingin menyakiti hatinya.
"Bukan masalah itu, Re. Aku butuh waktu untuk memulai kisah baru. Mending kita berangkat aja. Nanti keburu malam," jawabnya acuh. Ia lantas menaiki roda duanya yang terparkir di depan gerbang rumah Rere.
Merasa tidak puas akan jawaban yang didapat, Rere hanya bisa mengekor mengikuti sang pria sebelum menghadiri pesta bahagia sang mantan.
Rere memberanikan diri menatap lekat Om Awan yang sibuk menghidupkan motornya. "Tampan. Dan aku suka," ucap Rere lirih. Ternyata wajah tampannya sama persis dengan yang diunggah di media sosial.
Karisma Om Awan ternyata bertambah saat menaiki motor yang begitu cocok dengannya. Kedua mata Rere tidak pernah berhenti memandang makhluk setampan itu dengan senyum manisnya. Ia sungguh merasa menjadi sangat tergoda ingin bersama dengannya. Bahkan kalau perlu menjadi pasangan hidup selamanya.
Rere kebingunan saat hendak naik ke boncengan motor sport milik Om Awan. Pijakan yang terlalu tinggi tidak sepadan dengan pakaiannya yang begitu feminim. Secara Rere memakai rok bukan celana jeans, pasti susah dan ribet. Kalau jatuh tersungkur, malu.
Tangan Om Awan seketika terulur melihat Rere kebingunan. Ia seakan tahu kalau Rere membutuhkan pegangan. Rere menatap tangan yang menggantung di depan matanya. Namun, tidak ada satu kata pun terucap dari bibir sang pria. Rere berharap keluar kata manis seperti dalam drama yang sering ia tonton di televisi.
Rere mengusap dadanya lembut untuk meredamkan hatinya yang kesal karena kepekaan Om Awan tidak penuh kesungguhan. Rere meletakkan jemarinya di atas tangan Om Awan, lalu menggenggamnya erat. Sedang tangan satunya menumpu pada pundak yang terlihat tangguh. Pasti pundak itu memikul beban yang sangat berat hingga bisa membuat sang pria bersikap dingin.
Om Awan melirik. Ia ingin memastikan gadis kecil di belakangnya sudah duduk dengan aman.
"Udah siap?" tanya Om Awan.
"Udah, Om. Ke pelaminan juga aku udah siap," jawab Rere masih dengan gaya konyolnya. Senyumnya merekah setiap kali melontarkan kalimat itu. Ada keyakinan perasaan pria di depannya akan luluh suatu saat nanti.
Om Awan berdecak lirih. Kepalanya juga menggeleng beberapa kali. Ia masih merasa aneh digoda oleh gadis yang masih kecil. Namun, ia tidak ingin begitu peduli. Ia hanya peduli dengan hatinya yang sebentar lagi akan bertemu dengan wanita yang telah memilih pergi darinya. Menyakiti dirinya dengan cara paling menyakitkan.
Rere bisa mengerti perasaan Om Awan saat ini. Hatinya mungkin sedang berperang melawan kenyataan dengan harapannya yang dulu. Oleh karena itu, ia sengaja berpegangan erat saat motor melaju menuju kenyataan yang akan mengawali cerita baru dalam hidup sang pria.
Setengah jam perjalanan, setengah jam pula tangan Rere melingkar di perut Om Awan. Rere sengaja melakukan itu, biar banyak yang mengira pasangan, sekaligus memberi kekuatan untuknya. Mereka tidak terlibat obrolan selama perjalanan. Mungkin pikiran mereka kini saling bertautan dalam angan.
Om Awan memarkir motornya di tempat yang tidak terlalu ramai. Setelah merapikan penampilan, mereka berdua berjalan bersama. Rere merasa seperti ada yang kurang dalam penampilannya.
"Om, tunggu!" ucap Rere yang membuat langkah mereka berhenti bersamaan.
"Kenapa? Pengin pipis?" tanya Om Awan yang melihat wajah Rere seakan sedang memikirkan sesuatu.
"Enggak. Bukan itu, tapi ...." Rere seketika mengapit lengan Om Awan dengan mesra.
"Biar lebih total, Om. Coba liat pasangan lain, mereka semua bergandengan tangan," tunjuk Rere pada pasangan lain yang lebih mesra.
Om Awan menghela napas dalam. Ia tidak tahu kalau Rere selalu memutuskan hal tanpa memikirkan akibatnya.
"Ya udah. Terserah kamu lah ... yang penting jangan buat aku malu," jawabnya. Dalam hati, ia pun mulai tersentuh dengan sikap konyol gadis yang tengah bergelayut di lengannya.
Mereka berjalan mesra melewati beberapa tamu undangan lain. Sikap Om Awan juga sudah mulai melemah dan terbiasa dengan mulai merespon candaan dari Rere. Tanpa sadar, keduanya menjadi pusat perhatian di tempat acara. Beberapa tamu menatapnya aneh. Atau mungkin mereka tersihir siapa pengantin yang sebenarnya. Karena Rere memang terlihat sangat cantik dan bersinar di bawah lampu hiasan lampion.
Om Awan diam-diam memperhatikan wajah polos gadis di sebelahnya. Kecantikannya memang tampak alami. Apalagi senyumnya lama-lama membuat hatinya berdebar tidak menentu. Menyadari pikirannya mulai gila, ia mengalihkan pandangan menatap dekorasi sang pengantin. Hatinya mulai nyeri mengingat impian seperti ini harusnya bersama dirinya, bukan pria lain.
Rere menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi nuansa warna putih dan merah muda. Paduan bunga-bunga mawar plastik menambah kecantikan singgasana sang pengantin.
Dari sini terlihat pasangan yang baru saja mengucap janji suci sedang menyalami para tamu undangan. Om Awan memilih menyalami pengantin terlebih dulu sebelum menyantap hidangan yang sudah tersedia.
Pemandangan di atas sana membuat Om Awan berdiri mematung. Rere melirik Om Awan. Sikapnya yang berubah membuat Rere ikut merasakan bagaimana perasaannya.
Ada sedikit kesedihan di mata Om Awan. Mungkin sekarang langit mendung sudah berpindah ke matanya.
*Om ...?" panggil Rere lirih. Tanpa izin, tangan Rere sudah menggenggam erat tangan Om Awan. Seolah sedang menyalurkan kekuatan. Kedua jemari mereka saling bertaut layaknya pasangan kekasih.
Om Awan menoleh. Ia menatap Rere yang kini tengah tersenyum di sampingnya. Bahkan matanya melirik genggaman tangannya yang tidak lagi sendiri.
"Jadi nyalamin nggak? Om harus kuat. Kan, sekarang ada Rere di samping Om," ucap Rere penuh ketenangan.
Tangan Rere bergelayut manja di lengan Om Awan. Om Awan yang melihat tingkah gadis kecil ini, justru menarik kedua pipinya menjadi sebuah lesungan.
Manis ... manis.
Ternyata sikap gadis yang dibilangnya kayak anak kecil cukup bisa menenangkan dirinya dari semua tekanan. Om Awan diam-diam mulai memperhatikan Rere.
Ia merasa bahwa mungkin dirinya memang membutuhkan sesuatu hal yang kekanak-kanakan agar bisa memaknai ujian hidup dengan sedikit hiburan.
Mereka akhirnya menyalami pengantin bergantian.
"Selamat ya? Terima kasih untuk semuanya," ucap Om Awan sambil tangannya terus menggenggam erat tangan gadis di sebelahnya.
Ia berusaha menyerap seluruh kekuatan dan jiwa kekanakannya agar lebih kuat melihat sang pujaan bersanding dengan lelaki lain, bukan dengan dirinya.
Sang wanita melihat ke arah Rere. Wajahnya tersirat cemburu karena mantannya sudah menggandeng gebetan baru.
Rere tidak lupa ikut bersalaman. Ia juga ingin memberikannya kabar bahagia tentang hubungannya dengan Om Awan, ya, meskipun masih pura-pura.
"Selamat berbahagia. Doain kita juga biar cepet nyusul," ucap Rere mesra sambil memandang Om Awan dengan tatapan penuh cinta.
"Mampus! Cemburu, kan, liat Om Awan bawa gebetan baru. Auto nyesel pasti udah ninggalin pria seperti Om Awan," batin Rere dalam hati.
Setelah memberi ucapan selamat, mereka memutuskan untuk menikmati hidangan. Entah sengaja atau tidak, saat akan menuruni panggung, tangan Om Awan mengeratkan pegangannya. Bahkan setelah berjalan seperti biasa, tangannya merangkul pinggang Rere. Itu terjadi sampai mereka mengambil beberapa makanan yang sudah tersaji.
Hati Rere merasa berpindah tempat sampai ke piring mendapat perlakuan manis dari Om Awan.
Rere mencuri pandang sejenak. Takut semua yang terjadi hanya bayangannya saja. Sudah sejak di rumah perasaan Rere tidak karuan. Antara kagum melihat sosok Awan Biru, dan juga hatinya yang mulai berjedag-jedug ria.
Sikapnya selama di sini semakin menambah getaran aneh dalam dada. Rere sadar, kalau kini hatinya telah terjerat oleh pesona Om Awan. Cinta memang tidak perlu menemukan muaranya terlalu lama. Bisa saja hadir lebih cepat karena sebuah kebiasaan.
"Nggak usah liatin terus. Aku nggak bakal ngajakin kamu nikah sekarang juga," ucap Om Awan tanpa melihat Rere. Ia tahu kalau Rere sedang memperhatikannya.
Ia membayangkan bagaimana wajah gadis bocil yang kini di sampingnya. Bibirnya pasti sudah manyun lima senti bagaikan kerucut.
Karena tidak ada respon, Om Awan akhirnya menoleh. Ia terkejut melihat Rere. Ia malah mendapati sebuah senyuman yang teramat manis. Ia berpikir kalau wajah Rere akan memerah karena menahan rasa kesal. Namun, ternyata ....
"Ya udah, aku aja yang ngajakin, kalau gitu ...." Rere menjeda sejenak ucapannya. Rere menelan ludahnya sebentar untuk menghilangkan rasa gugup.
Setelah itu ....
"Om, nikah yuk? Aku udah tiga kali loh ini bilangnya. Gimana?"
Om Awan yang mendengar langsung tersedak.
"Uhuk!"
Rere langsung menepuk lembut punggung Om Awan. Tangannya juga mengambilkan air minum yang tepat berada di sampingnya.
"Minum dulu, Om," titah Rere.
"Kamu itu nggak tahu malu apa nggak punya malu sih? Masa gadis ngajakin nikah duluan?" tanya Om Awan ketika sudah merasa baikan.
"Dua-duanya, Om. Daripada nanti diambil orang. Itu lebih memalukan lagi." Rere menjawab dengan enteng. Seakan menikah itu bukanlah beban.
Keduanya saling memandang satu sama lain. Saling berusaha mencari kesungguhan lewat tatapan mata mereka. Ada keseriusan di antara keraguan.
Di samping mereka, beberapa tamu undangan melihatnya dengan tatapan yang entah bagaimana. Bahkan candaan mereka terdengar begitu jelas di rungu masing-masing.
"Cie ... cie ... cie ... ada yang lagi diajakin nikah? Terima aja, cantik juga. Entar di ambil orang nyesek loh ...."
Mereka menoleh bersamaan ke sumber suara. Kemudian saling tertunduk menatap piring kosong. Sekosong otak mereka berdua karena godaan tamu sebelah.
Malu ... aku malu ....
------***-------
Bersambung

Komento sa Aklat (153)

  • avatar
    Rabiatul Adawiah

    Karya yg bagus. Success buat penulisnya 🌹🌹🌹❤️❤️❤️

    21/05/2022

      0
  • avatar
    Sukini Yg Indah

    200

    15/07

      0
  • avatar
    mustikaDD syifa

    bikin pengen baca terus✌

    29/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata