logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Membantu Teman Sekelas?

Kenyataannya memang tidak seorangpun dari Anya maupun Arya mencari dirinya. Dirinya seakan tidak pernah ada dalam lingkungan mereka.
“Tega banget, perhatian tapi hanya pada seorang saja.” Helen menutup matanya, layar ponselnya masih terbuka dan menampakkan ruang chat dirinya dengan Arya. Hanya ada satu baris disana ‘p’
Di lain sisi, di kediaman keluarga Kusuma. Arya membopong Anya ke dalam kamarnya. Dalam keadaan Anya yang masih mengigau.
Arya membantu Anya untuk tidur di tempat tidurnya dengan perlahan. Ia menggeser sedikit anak rambut Anya yang menutupi sebagian wajah Anya.
Arya menyentil pelan hidung Anya, “Dasar, kenapa lo bisa disana, Nya?”
Arya masih tidak habis pikir bagaimana Anya bisa sampai di tempat tersebut, dan malah mengalami mabuk. “Bukankah mereka bilang hanya pergi ke mall?”
Arya melipat bibirnya, ia kemudian merogoh kantung celananya. Tangannya yang terluka akibat meninju beberapa pria tadi dengan keras membuatnya sedikit meringis. Apa daya, ia meninju menggunakan sekuat tenaga, hingga ia tidak sadar bahwa buku-buku jarinya ikut terluka.
Perlahan, Arya membuka ponselnya ia mencari kontak Helen tentunya. Di ruang chat hanya ada sebaris chat bertuliskan ‘p’ darinya. Kemudian, Arya mengetikkan beberapa kata disana. Kemudian, menarik sliding bed yang berada di bawah kasur Anya. Arya menutup matanya.
***
Helen terbangun ketika samar cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya. Helen membuka ponsel, untung saja belum terlalu terlambat ia bangun dari tidurnya.
Ada sebuah notifikasi yang muncul di ponselnya. Dari Arya.
Helen membuka pesan tersebut. ‘Kenapa kalian bisa sampai ke bar?’
Helen mendengus dan membuang muka, bahkan pada dini hari semua yang Arya pedulikan hanya Anya. Tidak ada satu kalimatpun yang bertanya mengenai kemana dirinya berada setelah itu. Setelah itu, apa yang terjadi padanya. Tidak ada.
Helen menepuk kepalanya ketika ia baru sadar, ia tidak memiliki seragam sekolah. Baju yang ia pakai sekarang hanyalah baju tidur yang diberikan Bik Nuni padanya kemarin malam.
“Gimana gue ke sekolah?” Helen menggaaruk kepalanya.
Ia pun beranjak keluar kamar, ia baru sadar ternyata selama ini ia tidak mempunyai nomor Satria. Padahal mereka telah menjadi teman sekelas selama seminggu lamanya. Helen baru menyadari ternyata ia terlalu menutup diri. Teman satu-satunya yang ia punya hanya Anya. Menyedihkan sekali.
Helen melihat ke kiri dan kanan, ia akhirnya menuruni tangga menuju ke dapur mencari seseorang, siapapun itu yang bisa ia tanyai mengenai keberadaan Satria. Helen tidak mau kejadian kemarin malam terjadi lagi, dimana ia tidak sengaja membuka kamar yang salah. Dan lagian, rumah Satria terlalu lebar dan luas bagaimana ia bisa menemukan Satria.
Helen melangkah ke meja bar kemudian mengikuti aroma masakan dari sana. Semakin ia berjalan semakin ia menemukan titik terang. Karena aroma yang ia cium semakin jelas, hingga disalah satu ruangan yang terlihat sebagai dapur ia melihat Bik Nuni. Walaupun dapur yang satu ini terlihat lebih sederhana dari dapur yang berada dekat meja bar.
“Pagi, Bu.”
“Eh, Non Helen sudah bangun. Panggil saya Bik Nuni saja Non, jangan Bu.” Bik Nuni mengucapkannya dengan ramah sambil menggoreng telur mata sapi.
“Ehh baik, Bu...ehh Bik. Nih chargernya, Bik. Makasih yah.” Helen menyodorkan charger milik Bik Nuni yang semalam ia pinjam.
“Ngomong-ngomong lihat Satria Bik?” Helen kembali bertanya sambil melihat keluar jendela yang langsung memperlihatkan area taman.
“Tuan Muda Satria, jam segini sepertinya sedang berenang di kolam renang.”
Helen mengangguk-angguk. Ia merasa heran mengapa Satria tidak segera bersiap pergi ke sekolah malah masih berenang? ‘Pantas ia sering telat.’ Batin Helen.
“Tuan Muda Satria dan Tuan Muda Jeremi, sayang sekali mereka tidak pernah duduk dan makan bersama.”
Helen mengangguk-angguk, ia melihat sarapan yang dibuat oleh Bik Nuni. Kembali Bik Nuni melanjutkan ceritanya.
“Non Helen teman sekolahnya Tuan Muda Satria yah?”
Helen mengangguk kecil kemudian mengatakan dengan pelan, “Ya, Bik. Baru seminggu kita sekelas.”
“Tidak heran, Tuan Muda Satria sering membawa perempuan ke rumah, tapi baru Non Helen saja yang diperlakukan berbeda.”
Helen mengangkat salah satu sudut bibrnya sambil bertanya, “Hah? Maksudnya, Bik?”
Bik Nuni menghentikan sejenak dirinya yang tengah sibuk memanggang roti.
“Shutt...tapi jangan bilang-bilang ke Tuan Muda Satria yah?” Bik Nuni mengatakannya sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Helen hanya mengangguk, jujur ia menjadi penasaran terhadap sosok Satria.
“Jadi, Tuan Muda Satria itu sering membawa perempuan ke rumah, namun kebanyakan dari mereka berpenampilan bagus begitu. Dan saya tidak pernah diminta untuk melayani mereka.”
Helen mengangguk lagi, sepertinya ia sedikit mengerti mengenai arah pembicaraan Bik Nuni. Ia kembali mengingat perkataan Jeremi kemarin malam. ‘Lo gak bisa apa bawa cewek yang bener.’
‘Jadi, dia berengsek toh.’ Helen mengangguk-angguk.
“Saya bukan siapa-siapanya kok, Bik. Murni hanya teman sekelas. Satria hanya memberikan pertolongan kepada saya.”
Bik Nuni menepuk pelan lengan atas Helen, “Tentu saja, saya juga tahu kok, Non. Kamu gadis yang baik.”
“Sayang sekali keluarga Saputra tidak memiliki seorang putri yang cantik dan baik hati seperti Non Helen.”
Helen tersipu malu, ia merasa malu dipuji oleh Bik Nuni yang terlihat tulus dan tidak mengada-ngada. “Kalau begitu saya pamit dulu yah, Bik.”
Helen berjalan keluar dari dapur, sebelum terlalu jauh. Bik Nuni kembali melanjutkan perkataannya.
“Kolam renangnya ada di lantai paling atas, Non. Kalau mau cepat bisa lewat lift yang ada di pojok sana,” ucap Bik Nuni menunjuk ke arah pojokan menggunakan sutilnya yang masih bertugas menggoreng telur mata sapi.
“Baik, Bik. Makasih yah.”
Helen berjalan menuju ke arah lift, ia memegang ponselnya sambil melihat jam yang tertera disana. Sedikit terkejut, Helen ketika melihat lift yang berada di pojokan tersebut, bahkan semuanya telah menggunakan fitur teknologi pintar yang tidak perlu menggunakan sentuhan.
Helen tidak perlu menekan tombol lift, ia hanya perlu mengucapkan lantai yang ia tuju. Semua menggunakan sensor tanpa sentuh. Bahkan ada layar yang menunjukkan berbagai tempat indah. Seperti taman, kolam renang dan lain sebagainya.
Sesampainya di lantai yang dituju, Helen melihat sebuah ruangan yang dipenuhi dengan kaca diisi lengkap dengan berbagai peralatan olahraga. Tentu saja itu adalah tempat gym pribadi keluarga Satria.
Hingga di Helen melihat kolam renang yang lebar di tepi ruangan yang memperlihatkan keindahan alam yang begitu indah, yaitu taman-taman dibawah. Ternyata gambar yang ada di lift, bukanlah gambar pemandangan luar negeri ataupun daerah lain melainkan gambar pemandangan yang ada di rumah yang tengah ia pijaki.
“Gila, it’s amazing.” Helen terkejut bukan main, ia bahkan melupakan niat awalnya mencari Satria. Hingga Satria yang tengah berenang, mencipratkan sedikit air ke arah wajah Helen.
“Ehhh.” Helen memundurkan langkahnya refleks.
“Hai..”
Helen tersenyum kecil, ketika melihat Satria yang berenang menghampirinya.
“Lo gak siap-siap ke sekolah?” Helen langsung bertanya langsung mengenai inti pembicaraan.
Satria tertawa, ia bangkit dari dalam kolam renang. Helen segera menutup mata. “Hei, bisa lo pake baju dulu gak?”
Satria tertawa, ia mengambil handuk kimono yang tersampir di tiang jemuran.
“Hari ini minggu, lo mau ke sekolah ngapain?” Satria kembali tertawa, menertawai Helen yang masih berdiri di tepi kolam renang sambil menutup mata.
Satria berjalan mendekat ke arah Helen, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Lo udah boleh buka mata kali, Helen.”
Helen terkejut ketika mendapati suara Satria yang begitu dekat bahkan ia bisa merasakan hawa bicara Satria yang berbau mint.
“Hei jangan dekat-dekat.”
Berkat cerita dari Bik Nuni membuat Helen menjadi was-was terhadap Satria. Bisa dipastikan lama kelamaan ia juga akan menjadi mangsa keberengsekan Satria.
“Hei, hati-hati.” Satria segera menangkap tubuh Helen ketika hampir menginjak air kolam renang dan jatuh kedalam.
Helen yang tadinya menutup mata menggunakan kedua tangan, kini membuka matanya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati Satria yang mendekap tubuhnya, ia membeku melihat wajah Satria yang masih memiliki bekas tetesan air kolam renang.
Setetes air dari poni rambut Satria menetes mengenai pipi wajah Helen, membuatnya tersadar.
“Ehh...”
Byur.
Akhirnya mereka berdua jatuh ke kolam renang, akibat Helen yang mendadak membuat pergerakan hingga membuat Satria kehilangan keseimbangan.
“Dasar Helen,” Satria menggerutu sambil membasuh wajahnya. Ia melihat kesamping dan tidak melihat Helen dimanapun. Hingga ia menyelam dan mendapati Helen yang tenggelam.
Satria segera berenang ke arah Helen dan menyelam menyelamatkannya. Tanpa bersusah payah, Satria telah berhasil mengangkat tubuh mungil Helen dari bawah kolam renang ke tepi kolam renang.
“Hel....hel...” Satria berusaha menepuk-nepuk pipi Helen. Ia kemudian menekan-nekan dada Helen menggunakan metode penyelamatan pertama ketika tenggelam.
“Helen!” Satria mendadak panik ketika ia tidak kunjung melihat Helen yang membuka mata.
Satria menggeser pelan rambut yang menutupi sebagian pipi Helen. “Maaf, tidak ada cara lain.”
Satria menunduk mendekatkan bibirnya pada bibir Helen. Satu tangannya yang hangat memegang pipi Helen yang dingin, sedangkan tangan satu lagi menahan beban tubuhnya. Satria mulai memberikan nafas buatan ketika bibirnya menyentuh bibir dingin Helen.
Entah mengapa ia merasakan hal yang berbeda ketika bibirnya menyatu dengan bibir Helen. Satria masih tidak kunjung melepas tautan bibirnya. Hingga Helen mendadak tersedak.
“Uhuk...uhuk.” Helen terbangun dan terbatuk-batuk.
Saat mata Helen terbuka, lagi-lagi Satria berada dalam jangkauan pandangannya. “Gue tenggelam yah?”
Satria hanya mengangguk dan bangkit berdiri menuju ke arah lemari gantung di dekat kolam renang. Ia menyodorkan sebuah handuk kimono berwarna putih kearah Helen.
“Nih, lo bagusan segera mandi, nanti lo masuk angin.”
Satria berjalan meninggalkan Helen, entah mengapa ia menjadi salah tingkah ketika melihat Helen. Satria berjalan menuju ke arah kamar mandi di area kolam renang.
Sebelum ia masuk, ia menekan interkom dan mengucapkan sederet perintah pada Bik Nuni. “Bik, segera persiapkan peralatan mandi dan pakaian untuk Helen.”
Helen bangkit berdiri melihat punggung tegap Satria yang menghilang dibalik pintu kaca.
“Kok gue bego banget sih, sampe bisa pake acara tenggelam.” Helen mengetuk kepalanya perlahan.
Karena merasa diperhatikan, Helen mengangkat wajahnya, ia melihat Jeremi yang berdiri di depan pintu gym melihatnya sambil lalu.
“Apakah memang orang-orang kaya itu aneh yah?” Helen akhirnya berjalan pelan menuju ke lift.
Sialnya ketika pintu lift terbuka, ada Jeremi disana. Yang berdiri dengan wajah dinginnya lengkap dengan baju singlet reebok dan celana pendek.
“Eh, hai...Kak Jeremi.” Helen dengan kikuk mengangkat tangannya menyapa Jeremi.
Jeremi hanya tersenyum tipis.
Helen melangkah masuk, 30 detik di dalam lift rasanya seperti 30 menit bersama Jeremi si dingin.
Jeremi tidak mengatakan sepatah katapun apalagi melihat ke arah Helen yang berada di sampingnya. Jeremi sibuk dengan ponselnya.
Sewaktu pintu lift terbuka, Helen baru bisa bernapas lega, bahkan sebelum ia mempersilakan Jeremi untuk keluar terlebih dahulu. Jeremi telah keluar.
“Kok dingin banget yah dia, beda dengan Satria yang terlalu ramah.” Helen hanya menggeleng pelan, dan berjalan pelan menuju ke kamar yang kemarin malam sebagai tempat ia tidur.
“Non Helen, saya sudah menyiapkan peralatan mandi Non, juga bajunya Non.”
Helen mengangguk, Bik Nuni pun permisi pamit.
***
Selesai mandi, Helen turun ke lantai bawah dan mendapati Satria telah berada di meja makan, sambil melihat ke arah iPadnya.
“Satria, gue pulang dulu, nanti gue balikin baju lo.” ucap Helen sambil tangannya menenteng barang-barang Anya yang ia bawa.
Satria menoleh ke arah Helen, “ Lo belum makan, kan? Makan dulu.”
Helen menggeleng pelan, “Gak usah, gue makan di rumah aja nanti.”
Satria tersenyum, “Gue gak suka makan sendiri, dan lagian ini banyak banget yang disiapin sama Bik Nuni.”
Helen mengedarkan pandangnya pada meja makan yang terdapat 4 gelas berbeda. Di kursi tempat Satria duduk gelas diisi dengan jus jeruk sedangkan kursi diseberangnya di isi susu. Dua gelas lainnya belum diisi.
Satria menepuk kursi di sebelahnya. Namun, Helen memilih duduk di seberang Satria yang telah diisi segelas susu. Helen meminumnya.
“Anyway, itu susu si manusia es.” Satria mengangkat kedua bahunya.
“Ehh....”
“Gak papa, lo habiskan aja. Dia juga gak bakal sarapan disini kalau gue ada disini.” Satria mengatakannya sambil menggigit roti panggang isi tunanya.
Helen akhirnya hanya mengangguk, dan memakan roti panggang yang ternyata diisi dengan telur mata sapi.
‘Eh, ini kok malah telur mata sapi, aneh banget. Tapi, enak banget,’ ucap Helen dalam batinnya, kemudian ia segera melahapnya habis.
“Lo udah siap sarapan, kan? Yuk, gue antar.” Satria bangkit sambil mengambil kunci mobil yang ia taruh di samping piringnya tadi.
“Gak usah, gue bisa pesen ojek balik sendiri.”
“Gue gak suka gak bertanggung jawab sama anak orang. Santai aja, Hel.”
Akhirnya Helen mengikuti langkah Satria. Sedangkan, Jeremi yang berdiri di lantai atas mendengar perkataan Satria.
“Bertanggung jawab?” Jeremi mendengus.
Satria mengantarkan Helen hingga sampai di depan kediaman Anya. “Makasih, Satria.”
“Ini bukan rumah lo semalam, kan? Lo punya banyak rumah?” Satria melongokkan kepalanya melihat ke arah pintu gerbang yang jelas-jelas berbeda dengan rumah Helen semalam.
“Gue mau ambil barang sebentar disini. Makasih yah udah anterin.” Helen turun dari mobil Pajero Sport milik Satria.
“Gue tungguin lo.”

Komento sa Aklat (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata