logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Salah Tempat

Anya terlebih dahulu keluar dari kamar, meninggalkan Helen yang masih menutup pintu kamar. Arya yang mendengar pintu kamar terbuka segera keluar dari kamarnya.
Ia menarik tangan Helen kuat tanpa sadar hingga Helen yang tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya jatuh ke dalam dekapan Arya.
Deg.
“Uhm, sorry. Gue kira Anya.” Arya segera melepaskan Helen dari dekapannya. Helen segera menunduk, ia tidak sanggup melihat wajah Arya untuk sekarang ini. Bagaimana tidak, lagi-lagi mereka terjebak suasana awkard.
‘Tuhan, tolong jantung gue rasanya berhenti mompa,’ batin Helen sembari tangannya terangkat memegang dadanya yang kali ini mendadak hilang degupannya.
“Anya dimana yah?” Arya sedikit mengintip di balik pintu kamar Anya yang belum sempat ditutup oleh Helen.
“Sudah ke bawah, Kak.”
Arya mengangguk-angguk, lantas ia kembali melontarkan pertanyaan, “Kalian mau makan siang di bawah yah?”
“Uhm, anu kak...begini...” Helen menurunkan kedua tangannya dari dada, berganti menjadi memegang kedua sisi gaun merah muda yang dipinjamkan Anya untuknya.
Helen tidak tahu harus mengatakan apa, ia tidak menemukan kalimat yang pas. Kalimat yang akan menyelamatkan dirinya dan juga tentu saja Anya.
Arya berjalan menyender di sisi dinding kamarnya, ia masih menatap Helen yang menundukkan kepalanya.
“Anu bagaimana? Uhm...Helen yah?” Arya berpikir sejenak sebelum memanggil nama Helen. Tentu saja Arya tahu kalau Helen adalah satu-satunya teman terbaik Anya. Hanya saja, Arya tidak pernah berbincang pada Helen .
Karena jujur saja, baru kali ini Arya melakukan percakapan hanya berdua saja secara langsung dengan Helen tanpa Anya.
“Yah, Helen Anastasia, kak.”
Helen akhirnya mengangkat sedikit wajahnya menatap takut-takut pada Arya. Sebenarnya yang semakin membuat Helen takut pada Arya bukan hanya karena kejadian yang baru saja menimpa Anya.
Namun, Helen tahu apa julukan Arya di sekolah Mentari Bangsa, si Berandal. Itulah julukan Arya di sekolah Mentari Bangsa. Memiliki catatan perkelahian yang bisa saja setiap minggu terjadi, kemudian rekor tidak naik kelas yang sudah menginjak 2 tahun.
“Kalian mau makan siang di bawah, kan? Kalau gitu gue gak ganggu.” Arya beranjak membuka pintu kamarnya sambil salah satu tangannya dimasukkan ke dalam kantung celana selututnya.
“Ehm, kak!” Helen memegang tangan Arya, ia menggigit bibir bawahnya takut apa yang akan ia katakan akan memperburuk situasi antara Anya dan Arya. Namun, ia juga takut apabila tidak mengatakan yang sejujurnya namanya akan masuk ke dalam daftar hitam milik Arya.
“Begini kak...”
“Yah...” Arya masih setia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Helen.
Sedangkan Helen masih mengumpulkan keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada Arya. Entah mengapa ia hanya perlu mengatakan bahwa mereka berdua akan pergi ke mall, mengapa terasa begitu sulit sekali.
Helen tidak pernah merasakan kesulitan berbicara yang luar biasa seperti sekarang ini.
“Helen! Buruan!”
Helen menoleh sedikit ke arah tangga, Anya telah memanggil dirinya. Dari cara Anya berteriak, tentu saja ia tidak takut ketahuan oleh Arya. Maka, Helen memantapkan niatnya, ia membuka mulutnya dan bersedia mengatakan kebenaran pada Arya.
Helen menarik pergelangan tangan Arya, menahan Arya yang hendak turun ke bawah tangga mencari Anya.
“Kak, kita mau pergi ke mall.” Dengan tekad yang telah kuat dan bulat, akhirnya Helen mengatakan apa yang sedari tadi ia takutkan.
“Kalian mau ke mall!” Arya sedikit terkejut hingga ia menaikkan intonasi suaranya.
Helen dengan refleks menutup bibir Arya sambil berjinjit karena tingginya yang masih kalah dengan Arya.
Arya membulatkan matanya, cukup terkejut dengan aksi agresif yang dilakukan oleh Helen. Pasalnya sedari tadi Helen cukup pasif.
“Shut, maaf Kak. Jangan keras-keras. Nanti Anya dengar.” Helen mengatakannya sambil melihat ke arah tangga.
Arya mengangguk pelan, ia memperhatikan wajah panik Helen yang melihat ke arah tangga. Dengan rambut sebahu yang ia gerai, dan wajah keibuan yang dipancarkan oleh Helen. Arya tidak pernah sedetail ini memperhatikan wajah perempuan. Selain wajah Anya.
Namun, kali ini berbeda dalam sepersekian detik yang ia miliki bersama Helen dalam jarak sedekat ini. Arya mengobservasi wajah Helen.
Helen berbalik kembali menatap pada Arya ia terkejut pada tangannya yang membekap mulut Arya. “Maaf kak.”
Helen buru-buru melepas tangannya dan menyembunyikan tangannya dibalik punggung.
“Yah, tidak apa. Gue titip Anya sama lo, oke?” Arya mengatakannya pada Helen dengan tatapan yang sudah pasrah.
“Oke, kak.” Helen mengatakannya dengan sedikit terbata.
Helen pun menunduk sedikit pada Arya, “Saya pergi dulu yah kak.”
“Uhm, tunggu. Boleh minta nomor ponsel lo? Kalau-kalau terjadi sesuatu sama Anya, lo bisa langsung telepon gue.” Arya menyodorkan ponselnya pada Helen.
Helen menerima ponsel Arya, ia berhenti sejenak melihat pada wallpaper ponsel Arya yang menampilkan wajahnya dan Anya yang tengah berseri riang sambil menatap satu sama lain.
“You two looks perfect,” gumam Helen tanpa sadar.
“Yah?”
Helen menggeleng, “Oh bukan apa-apa kak, kode kuncinya apa yah?”
“Ohh, iyah.” Arya menggeser posisi dirinya berganti menjadi disamping Helen, ia menekan beberapa tuts angka di ponselnya.
Helen tersenyum ia bergumam dalam hati, ‘Hari ulang tahun, Anya.’
Helen mengetikkan 12 nomor pada ponsel Arya dan mengembalikannya pada Arya.
“Saya duluan yah kak.”
“Jaga Anya baik-baik yah. Selamat bersenang-senang.” Arya melambaikan tangannya, melihat tubuh mungil Helen yang menuruni tangga dengan cepat.
Arya berjalan pelan menuju ke arah tangga, ia melihat Anya yang menggandeng Helen sambil tertawa.
“Ternyata lo lebih bahagia sama orang lain daripada gue, Nya.” Arya menunduk, ia kembali ke kamarnya meraih gitar yang ia letakkan dengan asal beberapa waktu yang lalu.
“Ini saatnya kita perform, buddy.” Arya mengelus pelan senar gitarnya, ia memasukkan gitarnya ke dalam tas gitar.
Arya membuka kembali layar ponselnya yang sempat terkunci, ia memasukkan kata sandi kemudian melihat 12 nomor yang belum ia simpan ke dalam daftar kontaknya.
Arya menekan layar tambah kontak baru, menuliskan nama ‘Helen Sahabat Anya’
Arya tersenyum ketika melihat daftar nomor kontak di ponselnya yang ia simpan. Hampir semuanya memiliki embel-embel nama Anya dibelakang kontaknya.
“Gue baru sadar sudah sebanyak ini kontak yang gue simpan, dan semuanya karena Anya.” Arya tersenyum.
Ia kembali melanjutkan aktivitasnya untuk menelepon seseorang. “Bro, malam ini gue manggung yah.”
“Tumben, bro. Lo udah off lama banget lho,” ucap suara diseberang sambungan telpon.
Arya melipat bibir bawahnya. “Hari ini gue pengen manggung.”
“Ya udah datang aja ke lokasi,” sahut seseorang dibalik sambungan telepon.
Arya mengambil kunci motornya, sambil memakai tas gitar yang ia selempangkan di antara bahunya.
“Let’s go.”
Arya mengeluarkan motor kawasaki ninja 650 hitamnya. Brem. Brem.
Bersama kawasaki ninjanya Arya membelah jalanan kota Jakarta. Ia bergerak menuju ke arah sebuah kafe yang berada di pojokan jalan Damai.
Arya berhigh five ria setelah tiba di tempat, ia duduk di salah satu kursi di pojokan kafe.
“Gimana kafe masih rame, walaupun gue dah lama gak ngeband disini?” Arya bertanya pada salah satu lelaki yang duduk tidak jauh darinya. Yang tidak lain dan bukan adalah pemilik kafe.
“Jelas tetap rame dong, kan gue lebih berpengaruh daripada lo, Rya.”
“Dasar Joko, Joko.”
“Nama gue Jacob, man. Jangan diubah-ubah dong.”
Arya tertawa, ia dahulu sering sekali ngeband di kafe ini sewaktu Ayahnya berkunjung di Jakarta. Saat itu, sewaktu pulang sekolah Anjas pasti tidak akan bisa menemukan Arya dimanapun. Arya berusaha untuk menjauhi Anjas, ia tidak ingin Anjas mengunngkit perihal kelulusan SMA yang ia tunda.
“Tapi, asli gue rindu lo ngeband sini bro. Lo kemana aja selama ini?” Jacob menepuk pelan senar gitar Arya yang diletakkan di atas meja.
“Di rumah lah.” Arya tersenyum, sambil memangku gitarnya di pangkuan.
Jacob menggeleng-gelengkan kepalanya. “Cuma tempat ini yang menerima lo kapanpun, bro. Tos dulu dong.”
Jacob meraih segelas minuman vodka yang dituangkan salah seorang baristanya di meja mereka.
“Gue harap begitu.” Arya mengangkat vodkanya mereka menenggak dalam satu tenggakan.
Arya kembali manggung di Bright Cafe. Cafe yang buka hingga 24 jam, dimana akan berganti fungsi menjadi klub malam pada malam harinya. Sungguh sebuah ide berlian, siapa lagi kalau bukan Jacob yang menjadi dalangnya.
Sedangkan Anya dan Helen berkeliling mall dan makan siang disana. Mereka bahkan juga pergi ke tempat bermain yang berada di dalam mall. Anya tidak akan pernah bisa lepas dari tempat bermain. Ia pasti akan ke tempat bermain, bersama siapapun ia pergi.
“Makasih Len, gue seneng banget bisa jalan berdua aja sama lo.” Anya menggandeng Helen erat.
Di antara lautan manusia Anya adalah salah satunya yang menarik perhatian. Ia memakai tas berukir barbie yang ia selempangkan di sisi tubuhnya.
“Anw, Len. Malam nanti kita ke Bright Cafe yuk.”
“Nya, kita mau pergi sampai malam? Nanti lo dicariin Kak Arya, lho.”
Anya tersenyum lebar, “Gue udah blok kontak Bang Al.”
Anya menunjukkan kontak WA serta kontak panggilan Arya yang telah diblokir Anya. “Tidak akan dicari. Kita tidak akan dicari.”
Anya berputar-putar riang, Helen hanya tersenyum kikuk. Bagaimana ini jika Arya mendadak meneleponnya dan menyuruhnya segera membawa Anya pulang. Siapa yang bisa menang berdebat dengan Anya si keras kepala. Sampai kapanpun juga tidak akan memenangkan perdebatan dengan Anya.
“Oke, tapi kita harus segera pergi kalau tidak mau pulang kemaleman.” Helen akhirnya mengikuti kemauan Anya.
Tepat pada jam 6 sore, mereka beranjak memesan taksi online menuju ke Bright Cafe. Sesampainya disana Helen dan Anya masih tidak merasa bingung dengan waitress yang membawa mereka ke sisi dalam kafe. Dimana harus berjalan masuk ke tangga turunan.
“Nya, kok tempatnya berisik banget yah. Dan musiknya juga bikin telinga sakit, Nya.”
Anya melihat ponselnya dan ia tersenyum ketika melihat layarnya. “Hehe, gue lupa baca tulisan yang paling bawah. Jadi, ini tempatnya kalau udah mulai jam 6, bakal di alihin ke Kafe lampu-lampu.”
Helen menggeleng pelan, “Nya, bagusan kita pulang yuk. Ini bukan tempat yang aman sepertinya, Anya.”
Anya menggeleng, “Setidaknya kita perlu coba dulu menunya, bukan?”
Helen menggeleng sambil melihat suasana kafe yang benar mirip seperti klub malam yang biasa hanya ia saksikan di televisi.
“Nya. kita pulang aja yuk.”
Anya mendengus, “Masa lo takut banget sih, Len. Tenang aja bakal aman kok.”
Helen lagi-lagi menggeleng, bagaimana tempat yang berisik dan penuh dengan orang berpakaian terbuka dan penuh dengan tato bisa dibilang tempat aman bagi Anya? Sudah jelas mereka memasuki tempat yang tidak seharusnya.
Anya malah duduk di salah meja di tengah ruangan, dengan desain kursi bar yang tinggi. Helen dan Anya duduk di atasnya. Anya mulai membaca buku menu, kepalanya sedikit pusing membaca menu yang semuanya cukup asing baginya.
“Nya, gimana menunya aman?”
Anya mengangguk, “Yah cukup aman kok, pesan ini saja Len.”
Anya menunjuk pada salah satu gambar yang menunjukkan gambar spaghetti. “Ya udah kita pesan itu, Nya.”
Waitress pun datang dan sedikit tertawa ketika mendengar pesanan dari Anya dan Helen. “Maaf mbak, itu menu untuk siang hari hingga pagi hari. Khusus untuk malam kita hanya menyediakan bir, wine dan segala jenis minuman saja.”
Anya mengerucutkan bibirnya, lantas ia menunjuk salah satu minuman.
“Ini saya pesan ini saja.” Anya mengatakannya sekali lagi pada waitressnya.
“Nya, lo serius itu wine.” Helen berbisik di telinga Anya di tengah musik yang begitu ribut dan tidak tenang.
“I’m sure. Kecil gitu gak bakal bikin kenapa-napa kok, Len.” Anya menepuk lengan Helen.
Helen hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Selesai minum, kita pulang. Oke?”
Anya mengangguk.
“Nona pesan apa?” sang waitress pun bertanya pada Helen.
“Jus jeruk aja ada, Mas?”
“Ada, mau di taruh cocktail?”
Helen menggeleng pelan.
Jujur saja ini pertama kali Anya dan Helen pergi ketempat asing ini. Helen belum pernah menginjakkan kakinya di bar seperti ini. Apalagi Anya yang keterlaluan polosnya. Ia bahkan tidak pernah meminum wine yang sering ia dengar.
Pesanan mereka pun datang. Anya menenggak winenya dalam satu kali tenggak. Bahkan sebelum Helen dapat menyuruhnya menyeruput dengan pelan.
“Len, rasanya manis-manis pahit gitu. Tapi enak, kok.”
Helen menatap Anya yang memutar gelas winenya pelan, sambil mengecap bibirnya yang memiliki bekas wine disudutnya.
“Len, gue ke kamar mandi bentar yah.” Anya beranjak turun dari kursi bar dengan sedikit sempoyongan.
Helen segera menahan lengan Anya, “Gue temenin lo.”
Anya tertawa, “Gue ke kamar mandi bentar doang, Len. Jangan mirip bang Al deh.”
Akhirnya Helen menyerah ia membiarkan Anya pergi ke kamar mandi sendiri. Dalam lampu warna warni yang cukup temaram. Helen memperhatikan Anya yang berjalan masuk ke dalam kamar mandi.
Helen menyeruput sedikit jus jeruknya. Ia kembali menatap ke arah lorong kamar mandi. Namun, Anya tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
“Anya kemana sih? Kok belum balik juga.”
Helen segera menyusul Anya masuk ke dalam lorong kamar mandi. Betapa terkejutnya ia ketika mendapati Anya tengah di kepung oleh beberapa lelaki tepat di lorong kamar mandi.
Helen kebingungan, jelas ia tidak memiliki tenaga untuk memukul para lelaki itu. Di tengah kekalutannya, Helen dengan tangan gemetar menelepon sederet nomor yang sempat mengirim pesan ‘P’ padanya.

Komento sa Aklat (21)

  • avatar
    Arlin Febrianti

    Kerenn

    26/06/2023

      0
  • avatar
    soleha huda

    Mantap bangat 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻

    05/06/2023

      0
  • avatar
    MegasariDesti

    keren

    20/05/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata