logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

4.

Revan datang ke kantor, menemui temannya yang bernama Darren. Teman sekaligus orang yang dipercaya oleh Revan untuk memegang posisi Direktur Utama di perusahaannya. Darren menghubungi, dan berkata ada yang harus di bahas bersama.
Saat sampai di ruangan Darren, Revan langsung duduk di sofa. Dua cangkir kopi hitam sudah terhidang di atas meja. Beserta camilannya juga.
"Apalagi yang harus dibahas? Bukannya hal penting sudah kamu sampaikan semuanya tadi?" tanya Revan. Darren menghembuskan nafas pelan lalu menyerahkan sebuah dokumen pada Revan.
"Ini tentang kerja sama dengan perusahaan Civy Empire. Bagaimana menurutmu? Apa kontrak kerja mau diperpanjang, atau tidak?"
Revan mengambil berkas tersebut dan membacanya. Kontrak kerja sama mereka akan berakhir beberapa minggu lagi.
"Diperpanjang pun tak ada masalah kan?" tanya Revan.
"Memang sih. Hanya saja aku mendengar berita tentang Dilla. Dan khawatirnya, jika kontrak di perpanjang, dia akan datang mengusik hidupmu dengan si kembar," jawab Darren serius. Revan menatap temannya tersebut dengan sebelah alis terangkat.
"Berita apa?" tanya Revan heran.
"Dilla bercerai dengan suaminya." Revan terdiam mendengar itu. Kembali menatap berkas di tangannya.
"Kamu harus mempertimbangkannya dengan matang. Ada konsekuensi masing-masing jika memperpanjang kontrak, maupun mengakhirinya." Darren menjelaskan. Revan terdiam mendengar itu.
Dilla, adalah ibu kandung Vano dan Vian, mantan istri Revan. Mereka bercerai 10 tahun yang lalu, karena Dilla ketahuan berselingkuh. Sejak saat itu, mereka tak pernah bertemu. Dilla pun seolah lupa kalau dia memiliki dua anak yang hidup bersama Revan. Walau begitu, perusahaan Revan masih tetap menjalin kerja sama dengan perusahaan ayah Dilla sampai sekarang.
"Perpanjang saja kontrak kerja samanya. Jika Dilla berulah, maka aku yang akan menghadapinya," ucap Revan serius dan tegas. Darren mengangguk pelan mendengar itu. Dia hanya ingin Revan tahu dan mengambil keputusan sendiri. Darren tak mau disalahkan jika dia yang memilih dan ternyata salah, tak seperti keinginan Revan.
"Baiklah jika keputusanmu seperti itu. Aku hanya bisa berdoa semoga Dilla tak menganggu hidupmu lagi," ucap Darren. Revan mengangguk dan langsung berdiri.
"Tak ada lagi yang mau dibahas?"
"Tidak. Semuanya sudah selesai." Revan mengangguk dan berjalan keluar dari sana. Tak ada yang harus di urus lagi. Jadi, lebih baik pulang saja ke rumah.
***
Menjadi seorang penulis di komunitas menulis online, membuat Sherin memiliki beberapa teman yang juga seprofesi dengannya. Dan secara mendadak, malam ini salah satu penulis yang cukup Sherin kenal mengajak Sherin untuk bertemu sekalian makan malam.
Namanya Farrel Giovanno. Seorang pria yang usianya beberapa tahun di atas Sherin. Mereka belum pernah bertemu, dan malam ini adalah pertemuan pertama mereka. Selama ini, Sherin dan Farrel berkomunikasi lewat ponsel saja.
"Aku tak menyangka kamu lebih cantik dari pada di foto." Farrel memuji setelah mereka duduk berhadapan. Sherin tersenyum malu mendengarnya.
"Terima kasih atas pujiannya. Kurasa, pujianmu itu terlalu berlebihan," balas Sherin. Mendengar itu, Farrel tertawa pelan.
"Nggak kok. Itu jujur."
"Ngomong-ngomong, kamu ada niatan untuk menerbitkan karyamu gak?" tanya Farrel. Dia melipat kedua tangannya di atas meja, menatap Sherin dengan serius.
"Entahlah. Aku kurang percaya diri untuk menerbitkan karya. Karyaku tak sebagus penulis lain," jawab Sherin tak yakin.
"Jangan seperti itu. Karyamu bagus. Banyak juga yang menyukainya. Bahkan kamu memiliki pengikut yang banyak kan?"
"Iya sih. Tapi, gaya penulisanku masih acak-acakan kayaknya. Aku masih harus belajar lagi."
"Tak apa. Jika kamu mau, aku bisa membantumu menerbitkan karyamu jadi sebuah buku."
"Benarkah?"
"Tentu saja."
"Beberapa minggu yang lalu, banyak pembaca ceritaku yang memberiku saran tentang sebuah penerbitan buku yang bagus. Nama penerbitannya, Impro Digital kalau gak salah." Sherin berkata. Farrel tersenyum mendengar itu.
"Penerbitan Impro Digital, sebenarnya aku yang pegang." Farrel mengakui hal yang membuat Sherin tercengang kaget.
"Penerbitan itu awalnya dipegang dan dikelola okeh kakak iparku. Dan sejak dua tahun yang lalu, pengelolaan berpindah ke tanganku." Farrel menjelaskan. Sherin masih ternganga tak percaya kalau dia sedang berhadapan dengan orang yang mengelola sebuah perusahaan penerbitan yang bagus dan terkenal.
"Itulah alasan kenapa karyamu menurutku pantas diterbitkan. Ide ceritamu menarik dan penyampaiannya benar-benar halus. Aku suka semua ceritamu," ucap Farrel. Sherin tersenyum lagi mendengarnya.
"Aku akan memikirkannya dulu." Obrolan mereka pun terus membahas masalah tentang literasi. Tentang event yang sedang diadakan oleh pencipta komunitas, hingga kolaborasi dengan penulis lain.
Obrolan mereka terhenti saat ada sebuah telepon yang masuk ke ponsel Farrel. Setelah berbincang sesaat dengan seseorang di telepon, Farrel pun pamit pada Sherin. Berkata, ada urusan keluarga. Jadi dia harus pulang lebih awal.
"Aku pulang duluan oke. Jika kamu berubah pikiran, langsung saja hubungi aku." Setelah mengatakan itu, Farrel membayar makanannya dan pergi dari sana. Meninggalkan Sherin sendirian.
Sherin tak berhenti tersenyum saat tahu siapa Farrel sebenarnya. Tak menyangka, bisa bertemu dan berbincang langsung dengan seorang penulis juga pengelola penerbitan.
Sherin tak langsung pulang, masih sibuk dengan makanannya yang baru habis setengahnya. Sesekali Sherin menatap ponselnya, melihat notifikasi di akun menulisnya. Sherin tersenyum melihat komentar-komentar pembaca di ceritanya. Ada yang marah-marah karena karakter antagonis yang diciptakan Sherin. Dan Sherin tertawa geli membaca semua komentar itu.
"Sherin?"
Sebuah suara yang menyebut namanya membuat perhatian Sherin teralihkan. Dia mendongak, menatap seseorang yang berdiri di depan mejanya. Wajah Sherin langsung pucat saat mengetahui siapa orang itu.
"Om Revan?" cicit Sherin. Dia jadi kikuk sendiri berhadapan dengan Revan. Merutuk dalam hati, kenapa harus bertemu lagi dengan ayah si kembar itu. Padahal Sherin sudah merapalkan doa, semoga dia tak lagi bertemu Revan. Dia terlalu malu bertemu dengan pria itu.
"Kamu sedang apa di sini?" tanya Revan. Tanpa bertanya dulu, dia langsung duduk di kursi bekas Farrel. Dan hal itu membuat Sherin gugup setengah mati.
"Em, a-aku barusan ketemu teman, Om," jawab Sherin pelan. Dia tersenyum canggung.
"Oh. Temanmu sekarang kemana? Sudah pulang?" tanya Revan lagi.
"Iya, Om." Sherin diam setelah menjawab pertanyaan Revan barusan. Matanya bergerak gelisah, karena Revan yang masih duduk di hadapannya. Pria itu sedang membuka ponlnya yang barusan berbunyi.
"Om, perihal tadi siang, aku minta maaf," ucap Sherin dengan kepala menunduk. Pipinya sudah merah, berusaha menahan malu. Revan yang semula menatap layar ponsel langsung beralih menatap Sherin.
"Ah, itu tak masalah. Sepertinya Vano dan Vian tak menjelaskan posisi kamar mereka dengan detail padamu," balas Revan. Sherin tersenyum kecut mendengarnya.
"Mereka tidak memberitahu aku apapun, Om. Satpam yang memberi tahu aku tentang pintu kamar berwarna hitam." Revan tergelak pelan mendengar itu.
"Pantas saja kamu salah masuk kamar. Wajar lah. Pak Rudi jarang masuk ke rumah. Sekalinya masuk, pasti cuman ke dapur. Jadi tak begitu tahu kalau ada perubahan di dalam rumah," jelas Revan. Sherin mengerucutkan bibirnya mendengar itu. Benar-benar kesialan baginya.
"Kamu belum pulang? Tak baik perempuan pulang malam-malam sendirian. Bisa mengundang kejahatan." Nada bicara Revan, seperti seorang ayah yang menasehati anaknya. Ah, Sherin jadi terbawa perasaan melankolisnya. Dia tak pernah mendapatkan kata-kata perhatian seperti itu dari ayah kandungnya. Mendengar penuturan Revan barusan, membuat Sherin terharu.
"Iya, Om. Sebentar lagi aku pulang."
"Sendirian?"
"Iya. Aku biasa naik taksi atau ojek saat bepergian."
"Biar saya saja yang antar. Kosanmu satu arah dengan rumah saya. Biar sekalian," ucap Revan menawarkan tumpangan lagi. Sherin terdiam mendengar itu. Bingung harus menolak atau menerima tawarannya.
Setelah berpikir cukup lama, akhirnya Sherin menerima tawaran Revan untuk mengantarnya pulang. Tak apalah. Bisa hemat ongkos. Setelah membayar makanannya, Sherin pun menyusul Revan yang sudah menunggunya di dalam mobil. Berkali-kali, Sherin mengucapkan terima kasih pada Revan yang sudah memberinya tumpangan. Dan Sherin akan memastikan, ini yang terakhir kali. Semoga saja ke depannya dia tak lagi bertemu dengan Revan.

Komento sa Aklat (662)

  • avatar
    Ade Lintang

    Great. I love it. Happy ending ❤️

    30/08/2022

      0
  • avatar
    ManroeBona_Joana

    seru banget...dan penasaran...andaikan bab nya lebih banyak 😍😍

    17/05/2022

      2
  • avatar
    Maya Lahe

    sampai baper bacanya ikut nangis baca kisah hidupnya senang nya happy ending. semangat nulis tor 💪💪

    20/04/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata