logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

6: Lamaran Masa Lalu

Jika membahas perihal lamaran. Dulu saat Mas Fattah melamarku--yang belum genap sebulan yang lalu. Karena aku tidak punya keluarga yang bisa dia temui langsung, terlebih lagi kebanyakan kerabatku kerabat jauh yang kurang memperdulikanku, dia melamarku langsung, menanyakan kesediaanku secara langsung. 
Di antara ribuan para santri yang menyaksikan.
Masih begitu kuingat jelas, karena belum terlampau lama kenangan ‘buruk’ itu berlalu. Sebenarnya, aku ingin menyebutnya kenangan indah. Tapi, setelah apa yang terjadi. Mustahil aku menganggapnya demikian, ‘kan?
Di antara lapangan yang dipenuhi santri, aku berdiri di atas panggung dengan lantunan salawatku yang diikuti gendangan rabanah dari para santriwati. Karena suaraku lumayan bagus, aku ditunjuk untuk memimpin salawatan bersama tiga pelantun lain.
Giliranku bersenandung. Tiba-tiba mic lain sudah ada di tangan Mas Fattah, berirama, teduh mengikutiku melantunkan salawat.
 Saat itu aku tersipu, kami menjadi sorotan utama para santri. Aku tidak bisa menahan senyumku yang merekah, Mas Fattah juga tersenyum lebar. Apalagi lantunannya terdengar begitu indah dan memanjakan telinga, aku nyaris tidak bisa mengimbanginya.
Setelah usai, gendangan rabanah berhenti.
Mas Fattah memanggil namaku,
“Nadia Alfanah,” aku masih begitu ingat. Suara syahdu yang memanggilku penuh cinta.
“Dengan dasar kebaikan hatimu, keelokan dan indahnya akhlakmu, dan perasaan tulus yang Allah anugerahkan kepadaku. Izinkan aku, untuk memintamu menjadi istriku. Niat mulia yang ingin mengajakmu mencari surga Allah bersama-sama.” 
Meskipun terdengar yakin, aku bisa menebak kegugupan nyata di balik kalimatnya.
Tidak bisa digambarkan bagaimana bahagianya aku saat itu. Nyaris tidak bisa berkata, peganganku di mic semakin mengerat. Apalagi seruan para santri, yang mendukung Mas Fattah agar lamarannya segera kuterima.
Setelah menyemangati diri sendiri, aku mengikuti kata hatiku. Untuk menerimanya, lelaki yang kudamba-dambakan selama di pesantren. “Iya, Mas. Atas dasar kemuliaan hatimu, elok paras dan ketaatanmu, terutama perasaan tulus yang juga Allah anugerahkan kepadaku. Kuterima lamaranmu, Mas. Mari mencari surga Allah bersama-sama.”
Sampai aku lupa diri, mahkota apa yang bisa kuberikan kepada Mas Fattah? Setelah mahkota itu direnggut orang lain secara paksa. Hingga aku dipaksakan untuk menyadari sendiri kekuranganku meskipun terlampau terlambat, setelah ijab kabul dijawab tegas oleh Mas Fattah untuk menjadikanku sebagai istri.
Ketakutan menyerangku saat dia memelukku, membawaku ke kamar, menciumku lembut. Dan selebihnya ... yang membuatnya tahu aku tidak lagi perawan.
Setelah itu, menatapku saja dia jijik. Kalimat pertama tercelus dari bibirnya, yang membuatku hancur seketika.
Cinta yang tulus, yang katanya dianugerahkan langsung oleh Allah. Lenyap begitu saja. Aku mencari-cari cinta itu di matanya, terlampau tenggelam jatuh, aku tidak lagi menemukannya.
Setelah itu dia meninggalkanku sendirian di kamar. Membiarkanku terisak-isak, tanpa berusaha membujukku. Saat aku berusaha untuk menjelaskan semuanya kepadanya, dia menutup telinga. 
Karenana kecerobohanku yang terlalu mendesak untuk menjelaskan kepada Mas Fattah, hingga didengar satu pasang telinga yang menjadi mulut yang menyampaikan ke telinga yang lain. Ketidaksucianku langsung tersebar pesat.
“Nadia Alfanah binti Lukman Ahid, kujatuhkan talak tiga padamu! Kutalak kamu! Kutalak kamu! Kutalak kamu!”
Amat teringat, talak yang dijatuhkannya padaku. Seketika membuat aku tersedu-sedu di dalam gudang kecil, tersudut ke dinding. Tadinya, aku nekat ingin kembali menguping. Melihat Fitri hendak melewatiku, takut kepergok aku masuk ke gudang di dekat dapur. Yang menyimpan barang pokok dan peralatan memasak.
“M-mas Fattah ....” Aku memanggil namanya, hanya untuk obat lara karena merindukannya, “Mas Fattah ....” aku masih menangis, terisak-isak. “Mas Fattah ....” Aku memeluk kedua kaki, masih meratapinya. 
“Katanya, kamu mencintaiku, Mas ... kamu serius memintaku menjadi istrimu ... lalu sekarang, kamu tak kalah serius melamar Fitri, apa keseriusanmu itu memang ditujukan kepada semua perempuan? Mas Fattah ....”
“Siapa itu?” Pertanyaan bingung di luar dinding. Tangisanku langsung terhenti. Suara Mas Fattah meninggi, “Siapa yang menyebut-nyebut namaku?” Dari derap langkahnya sepertinya dia menjelajahi sekitar untuk mencari terdakwanya.
Aku semakin merapat ke dinding, membekap mulut dengan sebelah tangan. Jangan sampai aku ketahuan dan kehadiranku kepergok olehnya. Tapi ketakutanku menjadi nyata, saat pintu gudang didobrak dan Mas Fattah mendapatiku yang semakin merengsak ke sudut ruangan. Aku berusaha menutupi wajah, tapi wajahku terlanjur dikenalinya.
“Nadia?” Nadanya terdengar kaget, dan berubah sinis, “Kenapa kamu ada disini?”
Aku menolak menjawab, menghadap dinding. Tetap menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Mas Fattah melangkah mengentak, mendekatiku. Dan membentak, “Nadia, jawab aku!”
°
°
“Nadia, jawab aku!”
Bentakan Mas Fattah semakin menggelegar. Menarik perhatian semua orang di luar gudang. Aku berusaha melarikan diri, tapi langkahku ditahannya. 
Maniknya menatapku tajam dan sayang sekaligus, lalu kembali bertanya kasar, “Kenapa kamu disini?”
“Biarkan aku pergi, Mas.” Aku memelas.
“Jawab dulu pertanyaan aku!” Mas Fattah terdengar murka.
“Itu tidak penting.” Aku menolak menjawab, untuk apa aku mematuhi perintahnya? Toh, dia bukan lagi suamiku.
Mas Fattah nyaris menamparku. Mas Fahmi langsung mencegahnya setelah melepaskan gandengan Cicil dari tangannya. Gudang mulai dikerubungi banyak orang. Termasuk Fitri, Fatimah dan keluarga Mas Fattah serta Bu Fahma.
“Fahmi, kenapa Nadia ada di rumahmu?” Mas Fattah balik meinsterogasi Mas Fahmi.
Mas Fahmi menghembuskan napas perlahan, lalu berterus-terang. “Aku yang membawanya kemari.”
“Hah?” Kaget, Mas Fattah tertawa mencemooh. “Kenapa kamu membawa janda yang ditalak tiga suaminya ke rumahmu?”
Mas Fahmi menatapnya dingin. “Karena setelah pergi dan ditalak olehmu, dia tidak punya tempat pulang. Jadi, aku menjadikan rumahku sebagai tempatnya pulang.”
“Lucu sekali sikap kepahlawananmu.” Mas Fattah tertawa.
Lalu melirik tajam Mas Fahmi, “Atau jangan-jangan ada maksud lain? Kamu membawa Nadia kemari, jangan-jangan kamu memiliki hasrat tertentu kepadanya--”
“Jangan omongan kamu, Mas!” Aku meninggikan suara. Kini, aku menjadi sorot perhatian utama dari semua orang. Mas Fattah menatapku tajam, aku terlihat marah dan kecewa kepadanya. Jangan sampai karenaku, Mas Fahmi mendapatkan hinaan dan cemoohan yang sama. Jangan sampai! Mas Fahmi orang baik, berbeda denganku yang pantas mendapat celaan.
“Atau jangan-jangan ....” Mas Fattah tidak bisa membendung prasangka dan rasa takutnya, “Kamu sudah tidak suci, karna sebelumnya pernah berzina dengan Fahmi ....”
PLAK! Aku menamparnya keras. “Tidak!” Pekikku. “Jangan menghina Mas Fahmi! Jangan!”
Tatapan Mas Fattah ke arahku menajam, “Lalu siapa yang mengambil mahkotamu yang seharusnya kamu berikan ke aku, hah?” Suaranya mendingin, terdengar serak dan tercekat bersamaan.
“Kuberikan penjelasan atau tidak ... kamu tidak akan mau mendengarkan, Mas ....” aku menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Menangis lagi, dan kali ini Mas Fattah terlihat tidak tega.
“Jelaskan. Katakan, sekarang.” Paksaan Mas Fattah terdengar mendesak.
Mas Fahmi ikut menatapku, seperti yang lain menungguku menjawab.
“W-waktu keduaorangtuaku meninggal, k-karena dirampok ... Ayahku meninggal dibunuh terlebih dahulu, sedangkan Ibu meninggal karna berusaha menyelamatkanku ... yang dinodai oleh para perampok tersebut ....” Tubuhku gemetar, nadaku bergetar. Saat mengatakannya, masa lalu kelam berputar di kepalaku.
Mas Fattah terhenyak. Kulihat tangannya gemetar, pandangannya sendu, yang tadinya menatapku sinis. Tanpa sadar tangannya refleks hendak meraih wajahku dengan mulut yang membuka, tapi peringatan Mas Fahmi menghentikan pergerakannya.
“Percuma, Fattah. Kamu tidak bisa merujuk Nadia, karena kamu menjatuhkan talak tiga kepadanya.” Kenyataan itu membuat mata Mas Fattah berembun, seperti menyesali segalanya.
“T-tidak, a-aku tidak berniat d-demikian ....” Nada suara Mas Fattah masih terdengar sama, tergagap dan gemetar. Dia menoleh ke samping, matanya berembun, seperti siap meleleh.
Fitri yang menyaksikan betapa terguncangnya Mas Fattah, terlihat sedih dan kecewa. Pegangannya di tangan Cicil mengerat kuat. Dari tatapan tajamnya, sepertinya dia mulai memusuhiku dan membenciku.
Mas Fattah melangkah meninggalkan gudang, mengabaikan Fitri yang berjalan mendekatinya membuat Fitri membeku di tempat. Mas Fattah langsung beranjak ke teras depan, berhenti di sana sambil mencengkeram salahsatu pillar.
Dan terdengar sampai sini, Mas Fattah menangis. Tersedu-sedu, sambil membekap mulut dengan sebelah tangan. Ibunya langsung menghampiri dan menyabarkannya sambil mengusap punggungnya, sedangkan Cicil yang terlihat tidak tega melihat luapan kesedihan Kakaknya memeluk erat kaki sang Kakak.
Fitri menangis di depan gudang. Jelas saja, dia menangisi Mas Fattah yang menyesaliku.
Aku bergeming di tempat. Entah apa yang kurasakan, semuanya bercampur aduk.
“Hapus air matamu, Nadia.” Mas Fahmi mengingatkan.
Aku mengangguk, refleks mengambil ujung sorban yang melingkar di leher Mas Fahmi dan mengusapnya ke pipi dan sudut mataku. Menghapus semua cairan bening yang meleleh dimana-mana. Mas Fahmi membiarkanku, lalu berbisik tanpa menatapku, “Aku tahu, Nadia. Kamu memang perempuan baik.”

Komento sa Aklat (64)

  • avatar
    sintabaktisinta

    ceritanya di awal seru... tp ngegatung bgt ceritanya

    02/04/2022

      0
  • avatar

    keren

    4d

      0
  • avatar
    M1zknown

    I LOPE ITTTTTT

    5d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata