logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Suamiku ingin Menjual Bayiku

"Wah iya, cantik banget bayinya. Sudah dikasih nama belum?" Bu Rahmat mendekati putriku yang baru saja terlelap di sampingku usai menyusu. Pagi sekali ia berkunjung, seakan tak sabar ingin melihat anak yang baru kulahirkan.
"Belum terpikir sebuah nama pun, Bu," jawabku sambil tersenyum pada Bu Rahmat, tetangga jauhku itu membelalakkan mata dengan rona senang.
"Gak usah dikasih nama dulu, kebetulan malah. Gimana tawaranku waktu itu, biar putrimu ini jadi cucuku saja. Kamu kan masih repot ngurusin Aisyah."
Aku tercenung, mengalihkan tatapan pada bayiku. Rupanya perkataan Bu Rahmat tempo hari sungguh-sungguh. Ia ingin meminta bayi yang akan kulahirkan, untuk diadopsi oleh anaknya yang tinggal di kota kabupaten. Anak Bu Rahmat belum dikaruniai keturunan meski sudah lima belas tahun lebih menikah.
"Bayi cantik ini akan punya masa depan cerah, ia akan hidup nyaman tercukupi bahkan berkelimpahan harta nanti." Bu Rahmat meyakinkanku.
Rupanya Bu Rahmat tak menghiraukan penolakanku waktu itu, ia masih saja mengulangi tawarannya padaku dulu. Aku hanya memandangi bayiku, anak yang kulahirkan dengan susah payah di tengah jalan dekat kebun sawit ini akan diminta orang?
"Berapa uang yang bisa ibu berikan untuk mengadopsi anak kami?"
Suara itu? Aku menoleh, nampak Bang Muis sudah berdiri di belakang Bu Rahmat. Ya Allah kenapa lelaki itu harus datang saat ini hingga ia mendengar perkataan Bu Rahmat.
"Jangan khawatir Pak Muis, menantu saya itu pengusaha tambang batu bara. Mau minta berapa pasti dikasih, yang penting disahkan secara hukum adopsinya dan tidak ada lagi tuntutan setelah itu."
"Saya sudah jawab tawaran Bu Rahmat waktu itu, dan tidak akan berubah pendirian saya." Aku berkata cepat, takut Bang Muis mengiyakan permintaan wanita paruh baya itu.
"Waktu itu sampeyan masih belum merasa repot mungkin. Lha sekarang lihat saja, Aisyah itu masih butuh perhatian mamaknya." Bu Rahmat menunjuk Aisyah yang duduk terisak sendirian di lantai beralaskan tikar.
Putriku yang belum genap berusia dua tahun itu, tadi sempat menangis saat melihatku menyusui adiknya dan ingin berada di sampingku juga. Mbak Mia sudah berusaha menenangkannya tadi sebelum berpamitan untuk pulang mandi pagi dulu sebentar.
Bukannya mendatangi Aisyah yang terlihat butuh perhatian, Bang Muis malah mendekat pada Bu Rahmat.
"Bisa saya bicara langsung dengan menantunya sampeyan, Bu?" kata suamiku yakin.
"Bang! Aku lebih berhak memutuskan, aku yang susah payah melahirkan." Suaraku lantang, menggema memenuhi ruang sempit tempatku dirawat.
"Duh, maaf. Aku jadi bikin kalian bertengkar. Begini saja, Bu Nurma rundingan dulu sama Pak Muis. Nanti kabari aku, yang jelas aku sudah jatuh hati sama bayinya." Bu Rahmat menatap gemas pada adeknya Aisyah, seolah ingin segera menimangnya.
Wanita terpandang yang cukup disegani warga desa itu tersenyum penuh arti pada suamiku, seakan bicara dari hatinya agar Bang Muis memenuhi keinginannya.
Bapak dari keenam anakku itu mengangguk hormat mengiringi langkah Bu Rahmat meninggalkan kami berempat.
"Ajak Aisyah pulang lalu mandikan, ia belum makan pagi juga. Afifah sama Ridho mana, tak diajak kemari?"
"Afifah sedang mencuci baju. Ridho masih di tempat pakdhe."
"Astaghfirullah! Abang gak jemput Ridho? Kenapa bukan abang yang cuci baju?" Ah, kenapa kutanyakan hal yang sudah kutahu jawabannya, suamiku itu tak pernah mau membantu mencuci baju.
Afifah anak keduaku, usianya sudah sebelas tahun, ia sudah terampil membantu pekerjaanku di rumah. Azizah putri pertamaku berusia empat belas tahun, ia sedang belajar di sebuah pondok pesantren di kota kabupaten. Kedua putriku itu dididik dengan keras oleh suamiku
"Pakdhe yang menahan Ridho di rumahnya, tak boleh kuajak pulang. Ini tadi baru kuantar baju gantinya Ridho sebelum ke sini."
Sudah malas rasanya berbicara dengan lelaki di hadapanku itu, tak kusahuti lagi ucapannya yang bisa membuat naik darah.
"Mak, Mamak ...." Aisyah terisak memanggilku.
"Sini, Nak." Kulambaikan tangan agar putriku itu mendekat.
"Mamak sedang sakit, Aisyah pulang sama bapak dulu, ya. Nanti sama Mamak lagi kalau Mamak sudah sembuh." Kubelai lembut pucuk kepala putriku.
Aisyah menatapku tak paham. Ya Allah, hatiku seperti ditusuk ribuan jarum melihat matanya yang kebingungan. Ia masih begitu membutuhkan perhatianku.
Sungguh kusadari ... mengatur jarak kelahiran sangatlah penting, anakku membutuhkan kasih sayang, namun aku tak berdaya menentang amarah suamiku. Kini penyesalan semakin menggelayut, betapa bod*hnya aku, mengorbankan anak-anak dan diriku hanya demi lelaki berhati batu.
Bang Muis mendekati adiknya Aisyah, ia mengulurkan tangan hendak menggendong bayi mungilku.
"Jangan digendong, biarkan dia tidur. Abang tak berhak memberikannya pada orang lain, apalagi dengan meminta imbalan uang!" Dengan was-was kucegah Bang Muis mengambil bayiku.
"Nurma, bukannya kamu sudah lelah hidup susah? Jangan munafik!" Bang Muis menyunggingkan senyum kemenangan.
"Gila kamu, Bang. Teganya mau menukar buah hatimu dengan sejumlah uang!" rutukku geram.
"Kamu tak dengar tadi? Anak itu nanti akan hidup bergelimang kemewahan, kita justru memberinya keberuntungan, Nur." Suamiku mengulangi ungkapan Bu Rahmat tadi.
"Jika yang kulahirkan bayi laki-laki, apa Abang akan tetap memberikannya pada Bu Rahmat?" Kucecar ia dengan telak.
Bang Muis tergeragap, mungkin ia tak menyangka aku akan berkata begitu.
"Mmm yaaa buktinya kamu tak bisa memberiku anak laki-laki lagi!" kilahnya tak mau kalah.
"Itu kuasa Allah, Bang, bukan kuasaku. Huh, percuma abang dulu belajar di pesantren. Kurasa abang hanya numpang makan dan tidur saja dulu di pesantren, tak satu pun perilakumu mencerminkan keshalehan."
"Jaga ucapanmu, beraninya kamu menghinaku begitu. Kamu tak pantas keperlakukan selayaknya istri nabi, kamu tak bisa menjaga martabatmu sebagai istriku."
"Maksud abang apa? Kurang apa aku selama ini?" Aku bertanya kebingungan.
"Pikir saja sendiri kesalahanmu! Aku tak akan membuatmu hidup nyaman selamanya, itu hukumanmu yang telah berkhianat." Bang Muis mengarahkan telunjuknya padaku dengan kasar.
"Aku berkhianat? Bertahun-tahun sudah berlalu, Abang ternyata masih tak mempercayaiku? Kamu sakit jiwa, Bang!"
Aisyah menangis melihat kami saling melontarkan kata dengan teriakan. Kudekap putriku dengan sebelah tanganku, menyuruhnya naik ke atas ranjang hingga kami bertiga berdesakan di atas pembaringan.

Komento sa Aklat (19)

  • avatar
    Dedi Yanto

    terima kasih

    05/06

      1
  • avatar
    0392Mahesa

    bagus

    09/05

      1
  • avatar
    Heyyud Heyyud

    sangat lah keren

    14/04

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata