logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 7: Psycho

Kenyataan itu membuatku malu, aku terpukul sangat keras.
"Dia benar kok!" kataku pada Handoko, menatap matanya. "Sekarang tinggalin gue sendiri!"
Tanpa menunggu Handoko menjawab, segera kutinggalkan lantai dansa. Astaga! Apa yang salah denganku?
Tak sadar aku menangis, sampai penglihatan menjadi kabur. Kuseka air mata dengan telapak tangan. Berjalan membabi buta ke kamar kecil, tidak melihat ke depan jadi selalu bertabrakan dengan sesuatu. Aku hampit kehilangan keseimbangan, untungnya orang yang menabrak menyentuhku.
"Amel?" Aku mendongak, melihat wajah terkejut Mina, sepertinya dia menyadari bahwa aku menangis. "Ya Tuhan. Lo kenapa?"
"Jangan tanya sekarang." Aku hanya menggeleng dan menutup mulut, agar tidak menangis lebih keras. Dia memeluk dan membawaku ke toilet pria, karena tidak ada seorang pun, agar kami dapat berbicara secara pribadi. sedangkan di toilet wanita, banyak sekali yang keluar masuk.
"Sekarang cerita, lo kenapa nangiis?" tanya Mina sambil mengunci pintu.
"Handoko." Aku mengangguk dan menceritakan apa yang terjadi di lantai dansa, bersama air mata yang terus mengalir. "Gue malu, Min. Bagaimana gue bisa ngebiarin? Gue udah tidur sama dia. Sekarang, gue malah bercuiman. Astaga, bego banget sih gue. Padahal gue bertekad, gak mau ngelakuin apa pun lagi sama dia. Ya Tuhan, gue gak mau, Mina! Gimana klo jika dia tau gue hamil sama dia?” kuraih tangan Mina. "Aku harus pergi ke AS, Min. Dunia kita terlalu kecil di sini. Kalau enggak, dia bakal tahu kalo gue masih tinggal di sini. Gue takut."
Mina membelai punggungku. 'Haduh, jangan mikir kek gitu itu, Amel. Dia gak akan tau. Satu lagi, kalo dia tahu, gak akan juga ngubah apa pun. Mending kita minta dia tanggung jawab. Ayolah, kita pasti bisa!"
Kuhapus air mata lalu mengangguk, "Ya, gak tau kenapa gue khawatir sama nangis ...."
Mina menepuk pipinya. "Wajar, wanita hamil emang emosian." Dia menyeringai. "Gue rasa, Debay bakal jadi aktris sinetron dewasa nanti."
"Gila." Aku tersenyum dan wajahku mengering. "Makasih, Min. Gue ngerasa lebih baik, tapi gue mau pulang. Karena kayaknya, gue gak bisa liat Handoko sekarang."
Dia membuka pintu dan keluar di samping, lalu menoleh padaku. "Oke. Gue telpon Lazam dulu."
"Gak usah." Aku terkejut. "Gue bisa pulang sendiri, Min. Jangan sampai gue ngerusak malammu, oke? Nanti gue naik taksi."
"Ih, tapi kan ...."
"Gak papa, Min."
Dia menghela. "Yaudah, tapi telpon ya kalau lo udah sampe!"
"Ya, Ibu Hansel!"
*****
Aku sedang menunggu taksi. Beberapa menit kemudian, seseorang memanggil. Aku menoleh ke pria yang baru saja keluar dari bar, ia berjalan ke arahku.
"Mau pulang, Amel?"
"Eh, Adam. Iya."
"Mau gue anter?"
Aku tersenyum. " Ih, gausah. Gue lagi tunggu naik taksi."
"Hisssh ... Amel." Dia menepuk dada. "Lo telah menyakiti perasaan gue," godanya. "Sekaliiiii aja. Siapa tau ini terakhir kali kita ketemu?"
Aku menghela dan menyerah. Lagi pula, Adam benar. Masing-masing dari kami memiliki karier yang harus dikejar, dan jalannya mungkin tidak saling bersilangan. Selain itu, Adam juga temanku. Dia juga pernah main mata tapi aku bilang padanya, bahwa kami lebih baik berteman, karena aku tidak melihatnya romantis. Dia menerima keputusanku, dan kami kadang-kadang bergaul bersama.
"Yaudah deh."
"Yeeaaay!" Adam dengan senang hati membukakan pintu kursi penumpang. Aku menyelinap masuk dan menatapnya dengan rasa terima kasih.
"Makasih ya."
"Sama-sama, Nyonya," jawabnya sambil mengerutkan kening. Aku hanya tertawa dan menyesuaikan sabuk pengaman, sementara Adam duduk di kursi pengemudi.
"Ke mana?" tanya Adam. Aku langsung memberinya alamat kost.
Aku bersandar dengan nyaman di bagian belakang mobil, sambil mengamati cahaya redup yang kami lewati.
"Jadi ... Lo pacaran sama Handoko?"
Aku menoleh ke Adam, dia tampak muram dan mencengkeram kemudi dengan erat. Entah apakah firasatku benar, tetapi dia tampak marah ketika menyebut nama Handoko. Aku menggeleng, imajinasi sedang mempermainkanku. Tidak ada alasan bagi Adam untuk marah pada Handoko.
"Eh, gak kok."
"Gue liat kalian joget tadi," katanya, seraya melirik sejenak, lalu kembali memfokuskan perhatian pada jalan.
Aku bergeser tidak nyaman di tempat duduk. Astaga, di sini aku berbicara dengan seseorang yang telah melihat drama. Duh ....
"Ya." Kualihkan perhatian ke luar jendela. Aku belum berbicara, ah ... tidak ada gunanya menjelaskan diri sendiri. Terlepas bahwa tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya, aku tidak ingin Adam menarik kesimpulan berbeda.
"Wijaya sialan." seru Adam, tetapi aku belum berkomentar. Dia juga tidak berbicara dan hanya mengemudi dengan tenang.
Aku mengernyit saat menyadari, bahwa kami menuju ke arah yang berbeda. Aku melirik. "Adam, ini bukan jalan ke kost gue!"
"Iya gue tau," katanya dengan tenang.
"Adam!"
"Lo gak akan pulang, Amel."
Aku tertelan, tiba-tiba gugup mendengar nada bicara Adam. Detak jantung juga meningkat. Namun, aku berusaha tidak panik, lalu menghadapnya.
"Maksud lo apa, Adam? Gue gak punya waktu buat bercanda. Gue mau pulang. Kalau lo gak mau nganter ...."
Rem mendadak Adam menghentikanku. Berkat sabuk pengaman, aku tidak tenggelam ke Dashboard. "Apa-apaan lo! Lo mau bunuh gue!?
"Diam Amel, atau gue benar-benar ngebunuh lo!"
Mataku terbelalak. Seluruh tubuh terasa dingin saat berhadapan dengan Adam. Tatapan yang dia berikan begitu tajam, matanya seakan penuh amarah. Tidak diragukan lagi, dia bisa membuktikan ancaman untuk membunuhku. Dia bukan lagi Adam-temanku yang ceria dan suka bermain. Sekarang dia penuh dengan kebencian, itu terlihat jelas dari matanya yang bersinar. Aku mundur dari jendela dengan ketakutan, dan ... tidak bisa membuka pintu. Dia menguncinya!
"Coba aja lari, nanti gue bakal tembak lo," kata Adam dan tiba-tiba pistol itu menunjuk ke arahku. Aku pucat. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Aku ingin berlari sejauh mungkin, tetapi tentu saja takmungkin. Apa alasan dia berbuat seperti ini?
"A Adam ... kenapa lo kayak gini?"
Dia menyeringai iblis. "Menurut lo!?"
"Gu gue, gak ngerti lah, Tololl!"
"Ya iyalah! Gue bakal ngelakuin apa aja buat ngedapetin lo! Gue berencana ngajak ke pesta bulan lalu di The Cave, ngasih lo obat biar kita bisa lebih bahagia, saat gue meniduri lo. Tapi ternyata lo malah ...."
Aku membeku ketika kata-katanya meresap ke dalam otak. "Jadi, lo yang masukin obat ke dalam minuman gue!?" kataku menuduh.
"Ya, itu gue, dan lo merusaknya. Lo malah membiarkan Wijaya tidur sama lo, dasar Jalang!"
Aku menangis. Telapak tangan Adam menyentuh pipiku. Tak percaya bahwa Adam-lah pelakunya. Dia yang harus disalahkan atas semua yang terjadi. Dia yang membiusku! Oh God! Takbisa kubayangkan apa yang terjadi jika Adam berhasil meniduriku.
Terlepas dari ketakutan sekarang, mau tak mau aku merasa lega. Untuk pertama kalinya, aku merasa berterima kasih kepada Handoko. Dia menyelamatkan. Mina benar, Handoko adalah pilihan yang lebih baik.
"Gue bakal bunuh tuh si Handoko! Lo milik gue, Amelia! Gue juga bakal ngebunuh bayimu bersama kematiannya!"
Itu adalah hal terakhir yang kudengar, sebelum pingsan saat pistol Adam mengenai kepalaku.

Komento sa Aklat (100)

  • avatar
    Rizal AkbarMuhammad

    bagus novelnya

    7d

      0
  • avatar
    Alzh Rni

    mantapp lahh cerita nya

    9d

      0
  • avatar
    Pri Agustin Wojayanti

    iya

    24/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata