logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 6: Duga

Ternyata Mina benar, si Handoko pantas dijuluki Dewa Sesk. Cara dia menyentuh mampu mengacaukan keharmonisan sistem pancaindra. Karena itulah, sebelum hilang kewarasan lagi, aku berusaha mundur dan menjauh darinya.
Dia melepaskan tangan ke samping, tetapi tatapannya terlihat semakin fokus. Sungguh, betapa kuingin melompat ke atas tulangnya dan menggigit, se-sakti itukah Handoko? Oh My God, seketika diri ini berubah menjadi penggila sesk karena dia! Tidak! Ini merupakan kabar buruk, karena aku tidak mau menjadi tipe wanita seperti itu. Mungkin, keadaan ini disebabkan oleh hormon kehamilan.
Kuambil napas dalam, mengendalikan diri, lalu mengalihkan pandangan darinya. "Ma ... maksud lo apa?"
Aku segera memunggunginya dan langsung pergi ke bar—juga langsung berbalik pergi ke lantai dansa, karena ingat bahwa aku tidak boleh minum alkohol. Bersembunyi di dalam lautan penari sampai mencapai tengah, memastikan Handoko tidak bisa melihat. Beberapa orang mencoba menyentuh, sementara kudorong tubuh-tubuh yang menggiling itu ke samping, tetapi aku menjabat tangan mereka.
Kulemparkan tangan ke udara, menggerakkan tubuh seirama dengan musik. Bahkan memejamkan mata untuk menyatu dengan nada. Beberapa kali terasa ada tangan di pinggang, tetapi aku melepaskannya begitu saja. Aku sudah terbiasa dengan itu, selama siapa pun yang memegangnya menjaga tangan di sana, dan tidak tersesat di bagian lain.
Keningku mengernyit ketika merasakan untuk ketiga kalinya, seolah-olah seseorang mengusir mereka yang memegang pinggangku. Rasanya semua orang menjauh dan seseorang mencegahku mendekat. Lebih mengejutkan lagi, aku diberi ruang di tengah, dan para penari berjarak sekitar satu meter dariku.
Aku terengah-engah ketika tiba-tiba berbalik, dan diseret ke arah seseorang. Terjebak di dada orang yang menarikku saat lengannya melingkari pinggang. Aku mendongak untuk mengidentifikasi orang itu, rahangku hampir jatuh ketika melihatnya menggunakan lampu sorot.
Ternyata dia ... Handoko Wijaya.
Aku mendorongnya menjauh, tetapi dia tidak bergerak. Sebaliknya, dia semakin mempererat pelukan di pinggangku. Lalu menarik lebih dekat, membuatku tenggelam ke dada hingga bisa mencium aroma tubuhnya. Rasanya ingin muntah karena akhir-akhir ini, aku selalu merasa mual ketika menghirup parfum.
Tanpa sadar, aku semakin mengendus dada Handoko Wijaya. Aromanya membuat ketagihan, menciptakan rasa aman dan santai. Ya ampun! Jangan-jangan si Debay suka bau surgawi Handoko!? Aku menarik napas dalam-dalam, seraya menghirup aroma tubuhnya. Lalu semakin menundukan wajahku, hingga terdengar detak jantung. Lucu, nadanya sinkron dengan milikku. Terasa damai saat mendengarnya. Ah ... apakah aku tersesat? Seolah-olah air es dituangkan ke atasku, saat dadanya bergetar karena tawa. Ya Tuhan! Apa yang kulakukan?
Bagaimana aku bisa .....
Karena panik, kudorong Handoko menjauh—untungnya, lengannya juga mengendur di pinggangku. Aku menelan ludah, melihat wajahnya. Oh God! Aku benar-benar butuh portal, untuk kabur dalam kasus darurat seperti ini.
Dia menyeringai, dan tampak geli menatap dadaku.
"Gu ... gue." Aku terdiam, bingung hendak berkata apa. Namun sebelum bisa memikirkan kata yang tepat, aku menahan napas. Handoko membungkuk dan menangkup wajahku dengan kedua tangan, kolam biru gelapnya menatap-menembus kolam hitamku.
"Lo manis banget, kayak es krim," katanya. Suara serak dan pujiannya melemahkan lutut, dan membuatku mengeluarkan air liur. Justru dialah yang terlihat seperti es krim di mataku. Sialan! Napas panasnya semakin menghipnotisku, larut dalam angan d dalam himpitan waktu. Karena gugup, kugigit bibir bawah. Dia mengerang. Dengan ibu jarinya, dia melepaskan bibir dari gigiku. "Yang terjadi di antara kita waktu itu, sangat lezat," katanya. Dalam hitungan sepersekian detik, bibir kami bersentuhan.
Wow, sungguh sebuah kelezatan es krim dalam satu gigitan!
Handoko mencium di tengah lantai dansa, di mana kami dikelilingi banyak mata yang menonton. Salah satu tangannya berada di belakang punggungku, menarik lebih dekat padanya sementara yang lain, tetap memegang wajahku saat mencium. Entah mengapa aku tidak mendorongnya, meskipun sebenarnya harus. Karena sungguh, aku gagal berpikir jernih saat Handoko menyerang mulutku.
Dia mencium dengan penuh gairah, bibirku seolah memiliki otak sendiri untuk membalas ciumannya. Tangannya bergerak ke belakang kepalaku, lalu menekan cengkeramannya untuk memperdalam ciuman. Lidahnya menyapu lipatan bibir, mencari jalan masuk—yang tidak kuberikan padanya. Dengan geraman, dia menyerang bibir bawahku. Mengisap lalu menggigitnya, menariknya dengan sensual. Aku menghela, dan dia mengambil kesempatan untuk memasukkan lidahnya ke dalam mulutku. Aku mengerang, jika bukan karena kerasnya musik, mungkin dia sudah mendengar geramanku.
Menanyakan apakah Handoko pandai berciuman adalah pernyataan yang meremehkan. Dia adalah seorang pencium yang hebat.
"Handoko? Berani-beraninya lo!"
Ciuman kami seketika berhenti setelah seorang wanita berbicara. Aromanya sangat memuakkan, aku teringat wanita di acara wisuda tadi. Untungnya, aroma Handoko lebih dominan sehingga aku tidak ingin muntah. Ya! Aroma Handoko bagaikan penangkal bau wanita yang memuakkan.
Kudorong Handoko, lalu melangkah mundur untuk membuat jarak. Kulirik wanita itu, matanya melebar dan tampak menangis saat melihat Handoko.
"Lo selingkuh! Lo bilang, lo milik gue malam ini!" teriak wanita itu. Dia membuat keributan, tetapi itu bagus. Sepertinya tidak ada yang memperhatikan, karena teriakan dan tarian di lantai dansa terus berlanjut. Tidak ada yang memperhatikan kami.
"Gue bukan milik siapa-siapa," kata Handoko dingin.
"Ta tapi, lo udah janji mau kencan sama gue malam ini!" Wanita itu menatapku tajam."Malah sekarang gue lihat lo cium dia!"
"Gue gak pernah janji apa-apa tuh!"
"Tapi lo udah cium gue!"
"Lo sendiri yang nyerahin tubuh ke gue!" ucapnya seraya mengangkat bahu.
Bibir wanita itu berkedut dan tangannya mengepal. Jika bukan karena kegelapan, rona merahnya pasti terlihat.
"Gue benci lo, Handoko! Bawa pelacur lo tu!" Dia memelototiku dan hendak berbalik, tetapi Handoko menghentikannya. Rahangnya bergetar, tangan mengepal dan mencengkeram lengan wanita dengan erat. Kuku hampir tenggelam ke dalam kulitnya.
"Satu-satunya pelacur di sini, ya lo lah! Ngomong sama dia kayak gitu lagi, gue bakal bunuh lo," kata Handoko, kemarahan terlihat dari suaranya. "Sana pergi dari hadapan gue!'
Wanita itu pergi, tidak menunggu ditegur untuk kedua kalinya. Meskipun gelap, pucatnya terlihat jelas. Langkahnya begitu cepat, berjalan pergi dan tidak melihat ke belakang.
Handoko berada tepat di sisi setelah itu. Kemarahan yang tertahan masih terlihat dari ketegangan rahangnya. Dia menghela sebelum menatapku. "Maaf soal itu, Es Krim. Lo baik-baik aja kan?" Dia mengangkat tangan untuk membelai pipiku lagi, tetapi ... tidak semudah itu, Ferguso! Aku melangkah mundur darinya.
Hampir saja aku tertawa. Dia bertanya apakah aku baik-baik saja. Hah ... serius? Aku bisa berdalih dan membela diri, saat tidur dengannya bulan lalu. Namun apa alasanku sekarang? Karena aku berciuman dengannya sekarang! Aku baru saja disebut 'pelacur'.
Tanpa ragu, aku setuju dengan ucapan wanita itu. Namun alasan kenapa aku tidak pernah berebut perhatian Handoko, adalah karena tidak ingin menjadi seperti para wanita, yang hampir memamerkan diri padanya. Nyatanya, aku tidak terlihat berbeda dari mereka. Betapa munafiknya mengatakan bahwa Handoko bukan selera, sedangkan disentuh sedikit saja olehnya, aku bergetar.

Komento sa Aklat (100)

  • avatar
    Rizal AkbarMuhammad

    bagus novelnya

    7d

      0
  • avatar
    Alzh Rni

    mantapp lahh cerita nya

    9d

      0
  • avatar
    Pri Agustin Wojayanti

    iya

    24/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata