logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 5: Wisuda

"Udah udah, jangan berdebat," ucap Handoko yang sedang mendekat.
Aku membeku, terutama karena Handoko tidak mengalihkan pandangan dariku, padahal dia sedang berbicara dengan Lazam. Aku menatap cemas ke arah Mina. Dia juga menatapku, melirik perutku lalu ke Handoko. Kami sepertinya memikirkan hal yang sama.
"Diam, Bung, atau gue bakal panggil lo Hani."
"Coba aja, kalo berani. Mau gue bunuh nih kayaknya," jawab Handoko.
Duh ... tiba-tiba aku merinding mendengar apa yang dikatakan Handoko. Padahal itu hanya lelucon umum, tetapi aku merasa ngeri mendengar nada bicaranya. Seolah-olah dia sedang mengatakan kejujuran dan sepertinya, bukan hanya aku yang terpengaruh, karena Mina pun melongo dan terlihat lebih erat memeluk Lazam.
Handoko menoleh ke Mina. "Hai Mina, selamat."
"Makasih."
Handoko mengangguk dan menatapku lagi. Dia terlihat ingin menggigit. Aku menggigit bibir dan gugup menatap Mina.
"Eh, Handoko, ini sahabatku Amelia. Amel, ini Handoko," kata Mina, canggung. Ya, wajar kalau dia canggung, karena sedang memperkenalkan diri kepada orang yang ... kami tahu bahwa dialah ayah dari bayiku.
Kami berdua diam, hanya menatap. Genderang di dadaku semakin bergetar kuat. Mata birunya begitu tajam hingga membuatku tersedak, melemahkan lutut dan itu ... aneh.
"Bung, lo naksir ya sama si Imut?" Lazam tertawa. Berkat Lazam, aku bisa lepas dari tatapan menghipnotis Handoko, saat dia menoleh ke Lazam dengan cemberut dengan tatapan tajam. Lazam berhenti tertawa dan menggaruk kepalanya.
Namun itu tidak berlangsung lama karena sekali lagi, aku terjebak oleh mata biru Handoko. Mata yang sama, menggelap dalam nafsu saat kami berciuman, saat saling menyentuh. Sialan! Aku masih ingat sejelas itu!?
"Hai."
Aku melongo lagi saat Handoko menyapa. Apakah aku yang diajaknya bicara? Ya ampun, tentu saja iya. Lalu apa yang harus kujawab? Jika dia bisa santai setelah berhubungan badan, aku tidak bisa. Banhsat! Bisakah aku ber-teleportasi? Aku butuh pelarian, seperti ... merokok. Takdir sepertinya setuju karena doaku terkabul.
"Hai, Handoko," sapa seorang mahasiswi se-lulusan, dia mendekat ke arah kami. Dengan menggoda, dia menatap Handoko dan memegang lengannya. Sayangnya untuk wanita itu, Handoko sepertinya tidak tertarik karena dia masih menatapku. Duh ... aku benar-benar tak nyaman.
"Handoko Sayang ...."
Kata-kata lain dari wanita itu tidak masuk ke telingaku, karena angin bertiup tepat saat kuhirup wangi wanita itu. Aromanya sangat memuakkan, sehingga membuatku merasa mual. Aku pun langsung menutup mulut.
"Amel, lo gak kenapa-napa kan?" Lazam bertanya, sepertinya dia cemas melihat reaksiku.
"Amel ...."
"Gue gak papa," ucapku seraya menghadap Mina. Aku masih bisa merasakan tatapan Handoko dan sepertinya, aku juga menarik perhatian wanita itu. Masa bodoh, sih ....
"Kayaknya gue nyium sesuatu yang gak enak, permisi."
Aku tidak bisa menunggu siapa pun menjawab, segera 'ku berjalan menuju kamar kecil. Parfum jenis apa yang digunakan wanita itu, aromanya terlalu berani dan memuakkan. Aku segera berkumur dan menutup mulut, lalu langsung menuju tempat parkir. Sepertinya aku tidak akan kembali ke Mina. Di dalam mobil, aku mengambil ponsel dari dompet untuk mengirim SMS ke Mina: Pacarnya Handoko bau, kayak tikus mati. Debay gue gak suka.
Sms-ku langsung menerima jawaban dari Mina: Oke nanti gue kasih tau ke ibu kalo lo gak enak badan. Sampai ketemu lagi ya, jaga Debay baik-baik.
Sambil mendesah, aku memasukkan ponsel kembali ke dalam tas. Kemudian pergi ke kost untuk beristirahat.
* * *
"Siap?"
"Ya." Aku memeluk Mina saat keluar dari kost, bersamaan dengan Lazam yang juga keluar-dari kost mereka yang berada di seberang. "Hai, Bocah Elzam."
"Dih, dasar si Imut Amel," jawab Lazam dengan gigi terkatup. Aku hanya tertawa dan mengunci pintu kost, lalu menghampiri Mina, mengaitkan lenganku dengan lengannya.
"Apa lo yakin sedang baik-baik aja?" tanya Mina, sepertinya khawatir. Aku tahu dia tidak menanyakan kejadian tadi di wisuda-yang membuatku mual karena bau parfum wanitanya Handoko. Dia bertanya karena aku akan pergi. Mungkin pesta terakhir dengan para mahasiswa, adalah pesta terakhir yang kami datangi, sesuatu terjadi dan akhirnya aku hamil. Namun sekarang, dia terlihat mengkhawatirkan kondisiku.
Aku tersenyum, meyakinkan padanya saat kami memasuki lift-yang akan membawa kami ke tempat parkir. Aku menepuk lengannya. "Gue baik-baik aja, Mina. Lo kan tau, gak mungkin gue gak hadir di pesta ini."
"Ya, Sayang. Badai juga gak mungkin bisa cegah macan kayak lo."
Aku hanya menatap Lazam yang bersandar di dinding lift, lalu berkata pada Mina,
"Tenanglah, Induk Ayam. Biarkan gue nikmatin malam ini,” kataku penuh arti pada Mina.
Kami berdua tahu bahwa mungkin, ini pesta terakhir yang akan kudatangi sampai melahirkan, jadi lebih baik bersenang-senang saja. Tentu, sekarang aku tahu batas, jadi tidak ada alkohol. Sungguh ironis karena The Cave (Gua) adalah tempat pestanya lagi. Ditambah tempat itu bukan hanya bar bagiku, tetapi pemicu kenangan. Sekuat apa pun ingin lupa, kenangan itu kini bersemayam di rahimku.
Pesta sedang berjalan lancar ketika kami tiba. Seperti biasa, Mina dan aku tampil modis—bukan karena kami peduli atau orang-orang memperhatikan, tetapi kami memang dua manusia keren.
"Bung!"
Duh ... suara siapa lagi itu? Kedengarannya tidak asing. Ah ... ya, benar. Itu, Handoko, dia ternyata di sini. Aku mengeratkan genggaman pada lengan Mina. Dia membalas dengan meremas tanganku, membuatku yakin bahwa aku akan baik-baik saja.
"Hey, Bro." Lazam tersenyum pada Handoko. "Sudah gue duga, lo pasti datang."
"Hemmm." Handoko memeluk Mina, setelah itu menatapku. Caranya memandang, seperti aku sedang telanjang.
"Hebat! Gimana kalau lo jalan sama Amel? Lo tau kan, gue mau tidur sama pacar gue dulu."
Mataku melebar saat menatap Lazam. Apa yang masuk ke otaknya? Tampaknya Mina juga terkejut dengan saran Lazam. Mina menatapku dan terlihat cemas.
"Sayang, kita gak bisa ninggalin Amel. Kita kan datang ke sini sama dia, terus lo juga tau kalo dia lagi gak enak badan. Kalau dia kenapa-napa, gimana?"
Tiba-tiba aku merasa bersalah, karena Mina tidak bisa bebas menikmati pesta. Aku tersenyum padanya. "Gak udah khawatir, Min. Gue bisa atur sendiri kok."
"Gue gak keberatan nemenin Amel," bisik Handoko.
Aku menatapnya. "Eh, enggak, terima kasih." Aku segera menghindari tatapannya, lalu mengalihkan perhatian ke Mina. "Pergilah kalian berdua, nikmati malam ini." Aku mengusir mereka
"Mel ...."
"Gue baik-baik aja, Min." Ya, semoga. Aku hanya perlu jauh dari radar Handoko.
"Bung, jagain Amelia. Jangan jauh-jauh, dia masih perawan," canda Lazam seraya menepuk bahu Handoko, kemudian menuntun pergi Mina.
Astaga! Bisakah bumi terbuka dan menelanku? Dasar Lazam tak tahu malu! Meski sepertinya Lazam bercanda, tetap saja itu membuat wajahku memerah. Namun aku bersyukur karena tempatnya gelap, jadi Handoko tidak akan menyadari kemerahanku, apalagi dia sedang menatapku lekat.
Sudut bibir Handoko terangkat, dia belum menghentikan kontak mata. Dia mengangkat satu tangan dan menangkup wajahku, ibu jarinya membelai sudut bibirku dengan cara yang sensual, mengubah lututku menjadi jeli. "Gue khawatir, bukankah peringatan Lazam datang terlambat?" Handoko berbisik di telinga. Napasnya panas mengenai kulitku, membuat bulu romaku berdiri.
Ya! Tentu saja, kita berdua tahu bahwa aku bukan lagi perawan, dan dialah pemetiknya. Selama ini aku dan Mina salah duga, ternyata Handoko mengenaliku.

Komento sa Aklat (100)

  • avatar
    Rizal AkbarMuhammad

    bagus novelnya

    7d

      0
  • avatar
    Alzh Rni

    mantapp lahh cerita nya

    9d

      0
  • avatar
    Pri Agustin Wojayanti

    iya

    24/07/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata