logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Perasaan Aneh

Nico sedang menikmati bagaimana rasanya duduk di barisan paling depan. Ia pandangi papan tulis sambil mengulas senyum. Pagi yang cerah bagi Nico, dengan segala rencana yang tersirat dalam kepalanya. Kini, ia menguasai kursi yang seharusnya ditempati Bella.
Beberapa menit kemudian, pemilik kursi sebelah sudah tiba. Nico tetap bergeming, meski wajah cewek di depannya sudah mengerutkan dahi. “Lo sedang apa?”
“Duduk,” jawab Nico santai.
“Maksud gue, lo sedang apa duduk di situ? Itu kan tempatnya Bella.” Lina menaruh tas di meja. “Atau lo ada perlu sama gue?”
“Gue gak ada perlu, ama lo. Gue cuma mau, pindah duduk di sini. Biar liat tulisan, di papan tulis, lebih jelas.” Lagi-lagi Nico tersenyum.
“Apa maksud lo barusan?”
“Gue... mau... duduk di sini.”
“Kalo gue gak setuju gimana? Lo bisa pindah?”
Nico menggeleng. “Bella sudah setuju, dan gue, gak mau pindah.” Betapa dia keras kepala.
“Kalo gitu, gue aja ya yang pindah.” Lina melihat-lihat sekeliling mencari tempat strategis, meja ketiga dari deretan barisannya menjadi incaran. Ia hendak mencabut tas, tetapi benda itu sulit ditariknya.
Tas milik Lina sudah berada di cengkraman Nico. “Duduk!” pinta Nico sambil memandang wajah bulat Lina. “Percuma lo pindah. Gak ada yang bersedia, kasih lo tempat. Raymond sudah menyebarkan, larangan bertukar tempat dengan lo, Lina.”
“Nico!” Bibir Lina mengerucut. Sebal sebal sebal. Lina menduduki kursi dengan cepat, tidak peduli betapa kerasnya benda itu.
Sesuatu yang Nico rasakan adalah kegembiraan melihat cewek di sampingnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Meski begitu, cowok itu lebih memilih bersikap tenang, seakan bukan dirinya penyebab kekesalan Lina.
Kebisuan tiba-tiba mengisi atmosfer di sekitar Nico dan Lina. Lina sibuk mengeluarkan buku-buku dari tas, sedangkan Nico bersandar sambil melirik kegiatan Lina. Suara buku satu demi satu terbanting di meja yang justru menjadi pemandangan menarik bagi Nico.
Sudah sejak kepindahannya di kursi Bella, Nico melihat Lina lebih banyak diam. Saat jam pelajaran sedang berlangsung, cewek itu menjadi kutu buku, yang begitu serius memandangi lembaran kertas bertinta hitam.
Begitu juga ketika belajar kelompok, dari tiga puluh murid dibagi menjadi lima kelompok. Nico dan Lina tergabung dalam satu tim. Dua meja dirapatkan menjadi satu, enam murid melingkari. Setiap kelompok berpencar. Nico dengan sengaja memilih duduk di samping Lina.
Dalam diskusi, keikutsertaan Nico dalam menyampaikan pendapat hanya sedikit. Namun, ketika Lina yang berbicara, dirinya menjadi lebih semangat. Bukan semangat untuk mendukung pendapat Lina, tetapi semangat untuk berdebat dengan cewek itu.
“Kalau begitu, kita bagi tugas. Kan kita ada enam orang. Jadi kita bagi tiga. Siapa yang mau sama gue?” tanya Lina sambil memperhatikan kelima murid di sekitarnya.
Keempat murid saling pandang. Ada yang ingin mengangkat tangan, tetapi Nico lebih dulu memandang tajam. Melihat reaksi Nico, keempat siswa saling berbisik lalu mengumumkan kepada Lina kalau mereka sudah membagi jadi dua tim. “Gak ada yang mau, sama lo, Lin. Jadi tinggal kita berdua nih. Mau gak mau ya, lo sama gue.”
Sial. Lina tidak bisa mengelak. Lagi-lagi Nico membuatnya tidak bisa berkutik. Sepanjang diskusi dengan Nico, Lina berbicara untuk sesuatu yang penting. Selebihnya, lidahnya beristirahat, bibir tertutup rapat.
Hari ini menjadi hari yang menyenangkan bagi Nico, tetapi kebalikan bagi Lina. Satu kelas sudah membicarakan tingkah Nico yang mendekati cewek tembam itu. Sebagian tidak peduli, sebagian lagi menganggap Lina menggunakan sesuatu untuk menarik perhatian Nico. Pemikiran buruk itulah yang membuat, hari ini, Lina merasa tidak nyaman.
Kehebohan terjadi saat pembagian tugas kelompok saat pelajaran jam kedua tadi, berlangsung pelajaran biologi. Awalnya Nico berbeda kelompok dengan Lina, tetapi cowok itu terang-terangan meminta pindah kelompok.
“Bu, saya mau pindah kelompok,” pintanya kepada Bu Nuri, sambil berdiri.
“Kenapa ingin pindah? Kan Ibu sudah bagi kelompok sesuai abjad, biar adil,” jelas Bu Nuri selaku guru mata pelajaran Biologi.
“Tetap saya mau pindah. Saya mau pindah satu kelompok dengan Lina.” Ucapan Nico membuat mata Lina terbelalak, juga membuat seisi kelas riuh sambil berseru, “Huuu....”
Berani sekali Nico. Setelah melalui perdebatan yang menggema ke seisi kelas, Bu Nuri akhirnya menyerah dan membiarkan Nico memilih kelompok yang diinginkan. Sikap Nico saat itu menjadi peristiwa baru, karena hampir seluruh kelas tahu jika Nico lebih banyak diam, hanya banyak berbicara jika ditunjuk oleh guru untuk menjawab soal. Begitu juga urusan pelajaran, tidak aktif dalam diskusi, tetapi selalu menduduki posisi tertinggi dalam perolehan nilai.
Selepas bel berbunyi, Nico lekas cabut dari kursi, memandang Lina sebentar, lalu meninggalkan kelas. Dia meninggalkan Lina yang memasang wajah tak bersahabat––cemberut––begitu saja. Kantin menjadi tempat singgah yang tepat saat ini baginya. Di sampingnya sudah ada Raymond yang menyusul setelah ia keluar kelas.
“Gila lo, ya, Nic. Gue baru tahu lo punya nyali segede itu di depan Bu Nuri. Gue yakin Lina malu banget gara-gara lo nyebut namanya,” ucap Raymond yang kini sedang duduk di salah satu kursi di samping Nico. Dia terkekeh mengingat saat Nico berdebat dengan Bu Nuri.
“Semua gara-gara, ide lo, tahu.” Nico bersandar pada kursi sambil memandang meja yang terdapat dua mangkuk bakso serta dua gelas es teh manis. “Gara-gara lo juga, gue jadi boros, nih.”
“Halah, biasa juga lo traktir gue di restoran. Ini gue lagi baik jadi minta bakso kantin aja. Lagi males jalan juga gue,” jelas Raymond sambil menyeruput kuah bakso yang sudah dituang sambal lima sendok.
“Siapa juga yang mau, ngajak lo jalan.”
“Jadi gimana perkembangannya? Ide dari gue bagus kan nyuruh lo duduk bareng Lina. Gue perhatiin sih dia udah gak betah banget. Lo apain tuh cewek sampai mukanya kusut gitu?” ceroros Raymond meski mulutnya menyimpan segumpal bakso kecil.
“Kagak gue apa-apain. Gua kan, cuma numpang duduk, di tempatnya Bella. Sesuai ide lo itu.”
“Tapi lo seneng kan?”
“Kalo itu, makasih banget. Berkat saran lo, gue jadi bisa liat, mukanya yang gemesin, kalo lagi kesel.” Raut wajah Nico berubah jadi bahagia.
“Terus apa lagi?”
“Hmm... Gini, kok gue ngerasain, perasaan aneh, ya? Lo tau gak kenapa?”
“Aneh gimana? Coba jelasin.”
“Tadi, pas belajar kelompok. Gue kan belajar bareng Lina. Lo pasti liat juga, kan?” Setelah mendapat anggukan dari Raymond, Nico melanjutkan, “Terus gak sengaja, pulpen Lina jatuh. Karena jatuhnya dekat kaki gue, ya gue mau ambilin. Gak tahunya, tangan dia lebih cepet, kena pulpen. Tangan gue, jadi megang tangannya.”
“Terus. Terus!” Raymond menyeruput teh manisnya sambil menyimak cerita Nico.
“Gue ma Lina saling pandang tuh. Sebentar doang. Dia mandang gue sih kesel, kayak gue ini musuh bebuyutannya. Tapi gue ngerasain deg-degan. Terus tiba-tiba gugup. Gue kenapa, ya, Ray?”
“APA?”
“Pelan-pelan oi. Kuping gue bisa rusak, nih, denger suara cempreng lo.” Nico agak menjauhkan kepala dari sisi Raymond.
“Apa gue gak salah denger? Elo... elo....”
“Gue kenapa?”
“Elo suka beneran sama Lina,” jelas Raymond yang membuat Nico terdiam.

Komento sa Aklat (260)

  • avatar
    nadyapAllysa

    keren

    02/01

      0
  • avatar
    JunaediAjun

    sangat bagus

    01/01

      0
  • avatar
    Sarmila

    bagus

    23/12

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata