logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Patah Hati Pertama

Hal yang tidak diinginkan itu terjadi. Cinta pertama dan harapan kini mulai memudar. Fauzan berdiri saling berhadapan dengan ibunya di ruang tamu. Wajahnya menengadah dengan tatapan seolah memohon penjelasan. Ibunya berdiri sambil berpangku tangan, sesekali jarinya mengusap lengan kanannya yang sedikit dicengkeram.
Rumah kecil peninggalan ayahnya itu menjadi saksi dua manusia yang tidak pernah bertengkar. Seorang malaikat yang seakan menjelma lain. Dinginnya lantai kayu membuat Fauzan membeku. Malam semakin larut dengan rintihan suara jangkrik.
"Maafkan ibu, Nak!" Kata maaf itu berkali-kali ia dengar dari lisan ibunya. Fauzan bergeming dengan wajah yang mulai tertunduk. Semakin menunduk dalam dan tubuhnya bergetar. Napas yang tersengal dan sedikit menggigit bibir. Matanya mulai memerah. Ia tidak sedih, ia hanya ingin meluapkan kekecewaan. Kain sarung yang tersampir menutupi kedua pundaknya itu menyembunyikan kepalan tangan mungil.
"Ayah …." Suara Fauzan tersekat untuk melanjutkan ucapannya.
"Ibu akan menikah dengannya, maafkan ibu, Nak. Sudah terlanjur menjadi gunjingan warga, ibu tidak mau mendengar penolakan."
Fauzan menggigit bibirnya dengan kuat, sehingga darah merembes dari salah satu sudut bibirnya.
"Setuju atau tidak. Ibu akan menikah lagi!"
Fauzan masih bergeming. Tidak ada kata-kata yang dapat ia susun, keberanian hanya sebatas terucap dalam hatinya.
"Lagipula kamu butuh sosok ayah, kan? Ibu tak bisa mendidikmu seorang diri dan membiayai sekolahmu."
Ningrum menghela napas panjang, ia kecewa dengan sikap Fauzan. "Pergi masuk kamar, lalu tidur!" titahnya. Ia beranjak dari hadapan Fauzan sambil menggerutu.
Fauzan melangkah pelan menuju kamarnya. Dalam melangkah ia menoleh ke arah ruang tengah di mana terdapat satu gelas kosong dan beberapa toples berisi cemilan. Ada satu kantong kresek hitam yang sedikit terbuka sehingga isinya dapat dilihat. Di dalamnya terdapat satu buah semangka dengan ukuran besar. Fauzan tersenyum getir, lalu memasuki kamar dan menutup rapat pintunya.
Esok harinya, Acara lamaran pun digelar. Fauzan sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Hari ini adalah hari di mana turnamen sepak bola antar kecamatan di mulai. Fauzan melewati setiap pertandingan tanpa dihadiri sosok ibunya. Ia tidak meminta, tidak berani berkata. Baginya, ibunya sudah memiliki dunianya sendiri.
"Kan, benar dugaanku, kalau Mang Kono suka sama Bu Rum," ucap Rasih sambil mengupas wortel. Dua ibu-ibu sudah datang sejak pagi untuk membantu Ningrum menyiapkan makanan.
"Akad nikahnya kapan, Rum?" tanya Nur memastikan.
"Secepatnya," jawab Ningrum singkat.
Derit lantai kayu saat dipijak membuat suasana dapur menjadi hening. Tatapan tiga wanita itu mengarah ke pintu ruang tengah. Fauzan berjalan menuju rak piring, lalu menghampiri Nur yang sedang mengipasi nasi panas di depannya.
"Bi Nur, minta sedikit," pintanya.
Ningrum mengalas lauk yang sudah matang dan menyodorkan ke hadapan Fauzan. Wanita itu tak berkata sepatah kata pun, begitu juga dengan Fauzan. Dua wanita yang membantu Ningrum pun hanya terdiam seakan peka dengan atmosfer di tempatnya.
Fauzan menggeser tempat duduknya mendekati toples berisi garam. Ia makan dengan lahap hanya berlaukan garam. Setelah selesai makan, Fauzan bergegas pergi keluar rumah tanpa pamit.
"Zan. Ayok!" ajak Karvo. Fauzan pun berjalan mendekati temannya itu. Wajahnya masih ditekuk.
"Mobil yang membawa kita katanya mobil Pak Ustadz. Semoga kita menang, ya, Zan!" Karvo berharap dengan mata berbinar.
Fauzan hanya menjawab dengan deheman. Keduanya kembali berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah hamparan rumput ilalang.
"Rum, kamu belum izin ke Fauzan?" tanya Nur. Dia adalah tetangga yang paling dekat sekaligus ibunya Karvo.
"Sudah. Tapi dia tidak setuju. Aku harus bagaimana, Nur? Cibiran warga terlalu menyakitkan. Lagi pula, bukannya tidak baik menolak niat baik orang?" Ningrum berkata dengan suara lantang. Namun raut wajahnya tak bisa berbohong, sorot matanya menatap ke arah pintu keluar.
Nur mengatupkan bibirnya. Ia terdiam cukup lama, sampai jeritan Rasih menyadarkannya.
"Hampir saja, Bu Nur!" ucap Rasih sambil mengangkat panci yang sudah kosong karena airnya habis.
Sesampainya di sekolah, Fauzan dan keempat temannya berkumpul di dekat mobil bak terbuka. Dari sekian banyak perlombaan, yang berhasil lolos ke babak terakhir hanya bola sepak dan tiga murid lainnya. Ketiga murid itu mengikuti lomba cerdas cermat pada bidang bahasa, pembacaan puisi juga matematika. Sisanya belajar seperti biasa.
"Ayo, naik mobil!" titah Caca. Pria bertubuh tegap itu memberi arahan pada murid-muridnya untuk bersiap.
Satu per satu anak-anak berseragam merah putih dan olah raga berwarna hijau muda itu menaiki bak mobil. Dari arah kantor guru, seorang pria yang rambutnya mulai memutih menghampiri.
"Pastikan anak-anak sarapan dulu," ucap pria itu. Ia adalah kepala sekolah di SD tersebut.
"Baik, Pak." Caca mengangguk faham. Setelah semua murid yang akan mengikuti lomba selesai bersiap di atas mobil. Caca pun mulai menaiki mobil bersama anak-anak di bak terbuka itu.
"Sesampainya di sana, yang belum saraoan, harus sarapan dulu. Cerdas cermat akan dimulai pukul delapan. Sementara tim futsal kita, mendapat jadwal pukul sepuluh. Kalian siap?" tanya Caca. Pernyataan tersebut sudah diulangnya entah ke berapa kali. Jawaban anak-anak pun begitu meyakinkan.
Sesampainya di lapangan kabupaten. Mobil bak terbuka itu berhenti. Jaraknya tidak jauh, hanya satu jam perjalanan dari sekolahnya berada.
Caca pun mulai menanyai apakah ada yang belum sarapan atau sudah. Lalu, ia memberikan satu per sartu muridnya kotak susu. Setelah memberikan arahan lagi, kumpulan murid itu bubar. Tiga murid yang memakai seragam merah putih dibimbingnya menuju balai desa yang akan dijadikan tempat untuk cerdas cermat.
Setelah mengantar tiga muridnya, Caca kembali berjalan menuju mobil bak terbuka itu terparkir. Ia mengomando tim futsalnya menuju lapang yang luas.
"Kita duduk di sini dulu. Perhatikan, sebelah sana adalah lawan kita. Permainan akan ada dua tahap. Karena tersisa empat tim lagi. Tahap pertama, kalian akan melawan tim itu, lalu tahap kedua, yang menang akan melawan yang menang, semoga kalian menang, supaya mendapat setidaknya juara dua."
"Harus juara satu, Pak!" seru Dasep percaya diri.
"Iya, kan, Zan! Kita harus menang?" tanya Arif.
Fauzan hanya mengangguk. Sebenarnya ia tidak yakin. Apalagi hari ini adalah hari lamaran ibunya. Fauzan menghela napas panjang.
Tepat pukul sepuluh, duabtim futsal mulai bersiap di lapangan. Caca sekali lagi mengingatkan muridnya tentang strategi yang sudah dipelajari beberapa hari lalu.
Setelah pemanasan dan lempar koin selesai. Bola mulai dioper. Canda tawa terdengar dari kerumunan tiga anak di tengah lapang yang sedang berebut bola, sementara yang lain bersorak dan ada juga yang tengah waspada.
"Zan, oper sini!" teriak Karvo saat Fauzan berhasil merebut bola dari tim lawan. Namun, dari sudut berlawanan ada tim lawan yang sedang berusaha menghalangi langkah Fauzan. Saat itulah Fauzan menendang bolanya ke arah kanan, sehingga bola meluncur ke arah Karvo dengan sempurna. Keadaan yang lengang dari lawan membuat peluang gol semakin banyak. Satu tendangan dari Karvo tak mampu ditakis oleh kiper tim lawan.
"Gol!" seru Karvo sambil berlari gembira.
Permainan di babak pertama itu begitu sengit. Tim yang dipimpin oleh Fauzan masih bermain dengan santai tapi serius. Sesekali ada gelak tawa dari mereka.
Setelah selesai pertandingan di babak pertama. Karvo berlari ke sisi lapang sambil berteriak penuh bahagia, di tangannya baju olahraga berkibar tertiup angin, Karvo melepas bajunya saking senang karena menang. Caca yang mendampingi tim futsal itu bertepuk tangan. Satu per satu anak-anak itu menghampiri Caca.
"Terima kasih!" ucap Caca pada tim futsal yang dibimbingnya.
Lima belas anak-anak itu tersenyum. "Terima kasih kapten!" ucap serentak anak-anak itu pada Fauzan.
Anak laki-laki itu tersenyum tipis. Matanya berembun. "Terima kasih untuk kalian!"
Mereka pun istirahat dengan suasana haru karena menang di babak satu. Itu tandanya, tiket menuju peringkat satu di depan mata mereka.
"Zan!" Seru Arif sambil menghampiri Fauzan.
"Zan, kamu nggak apa-apa pulang sore?" tanya Karvo sambil mengibaskan ujung baju ke arah lehernya. Ijon menyikut pinggang Karvo yang telanjang, membuat temannya itu meringis.
"Malas."
"Bukannya acaranya nanti malam?" tanya Arip.
"Kata ibuku, sekarang." Karvo memberitahu mewakili Fauzan.
"Tumben lamaran siang-siang." Ketiga anak-anak itu berbincang, Fauzan berdiri dan melangkah menjauh. Agus mengekorinya sambil memberi isyarat pada ketiga temannya untuk segera diam.
"Maafkan kita, Zan!" pinta Agus sambil melingkarkan lengannya di pundak Fauzan. Lalu, keduanya duduk di ujung kursi. Sedikit menjauh dari kerumunan tim-nya.
"Tidak apa-apa."
"Masih semangat untuk babak terakhir?" tanya Agus.
"Harus!"
"Kamu malam ini, beres ngaji mau nginap?"
"Memangnya boleh?"
"Ibuku ngizinin." Agus mengacungkan jempol.
Caca menghampiri Agus dan Fauzan. Ia memberikan sebungkus roti dan satu kotak susu pada Fauzan juga Agus. Botol air putih berjejer rapi di dekat kursi Caca. Beberapa anak memilih air putih untuk diminum.
"Permainan tinggal dua jam lagi. Semoga waktunya tidak sedikit untuk kalian istirahat."
"Nggak lanjut besok, ya, Pak?" tanya Agus.
"Panitia bilang, harus selesai hari ini. Apa kalian berdua masih semangat?" tanya Caca memastikan. Fauzan mengangguk. Begitu juga dengan Agus.

Komento sa Aklat (24)

  • avatar
    wahidahnrfarhana

    best, tapi tergantung

    23d

      0
  • avatar
    FebrianniEny

    👍👍👍

    28d

      0
  • avatar

    sangat baguss ceritanyaa

    25/05

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata