logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

POV Bi Ratih (3)

MENGAPA AKU DIBEDAKAN? (7)
POV Bi Ratih (3)
Disaat aku terus mencoba merayu Feri, tiba-tiba darah mengalir di kaki Teh Ratna. Aku yang melihatnya sangat terkejut.
"Teh, darah....." Aku berteriak saking paniknya.
"Ya Allah, Bu, ayo kita segera ke Bidan biar Bapak gendong. Feri percayakan saja sama Ratih." Kang Budi segera menggendong Teh Ratna menuju bidan desa kami yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Sementara Feri terus berteriak-teriak memanggil ibunya yang membuatku sedikit kewalahan. Diantara anak-anaknya Teh Ratna, Feri memang tidak terlalu dekat denganku karena ia selalu menempel dengan ibunya. Akhirnya aku gendong Feri berjalan-jalan di depan rumah sambil membeli sarapan untukku dan anak-anak, untungnya ia bisa sedikit lebih tenang.
Saat pulang ke rumah Teh Ratna, kulihat Farel dan Alia baru bangun, tapi mereka belum beranjak dari tempat tidur. Untungnya mereka tidak rewel. Mereka hanya menanyakan ibu dan bapak mereka. Setelah ku jelaskan mereka mengerti dan ikut membantuku menenangkan Feri.
*****
Sudah jam 1 siang, tapi aku belum mendapatkan kabar apa-apa tentang Teh Ratna. Sambil menunggu kabar, aku beres-beres rumah untuk menyambut Teh Ratna dan anaknya nanti. Kebetulan Feri sedang tidur sedangkan Farel dan Alia anteng bermain. Tiba-tiba ada becak berhenti di depan rumah, aku langsung melihat ke depan ternyata itu Teh Ratna. Kang Budi menyusul berjalan kaki dibelakangnya. Aku membantu menggendong bayinya, sedangkan Kang Budi memapah Teh Ratna ke kamar untuk beristirahat.
"Yee, ada adek baru nih buat Farel dan Alia." Sambil menggendong bayi, aku menghampiri Farel dan Alia yang sedang bermain.
"Laki-laki apa perempuan Bi?" tanya Farel.
"Bibi belum tanya, tapi kayanya perempuan, tuh lihat Adek kalian cantik gini." Aku memperlihatkan bayi merah yang sedang terlelap tidur.
"Alia uga catik, Bi." Alia berkata dengan gaya khas anak-anaknya.
"Iya keponakan-keponakan Bibi cantik-cantik dan ganteng-ganteng." ucapku sambil mencium kepala Alia. Sepertinya ia cemburu karena aku menyebut adiknya cantik.
"Bibi bawa dulu ke kamar ya, biar istirahat sama Ibu. Kalian jangan ganggu Ibu dulu, Ibu nya masih sakit." Aku memberi nasihat kepada dua keponakanku itu.
Saat menuju kamar, dari jauh aku sudah mendengar Feri yang menangis berteriak-teriak ingin digendong ibunya. Kang Budi dan Teh Ratna yang kondisinya sedang lelah sangat kewalahan menghadapi Feri.
"Feri sayang, ini lihat Bibi bawa siapa? Cantik kan adiknya Feri?" Aku mencoba mengalihkan perhatian Feri. Kasihan Teh Ratna jika harus menggendong Feri.
"Ayi.. Ayi.." teriak Feri dengan girangnya.
"Iya ini dede bayi. Ssstt, ga boleh teriak ya." Aku mencoba terus mengalihkan perhatian Feri. Akhirnya Feri bisa sedikit tenang. Ia memang senang melihat bayi. Ia selalu tertawa dan menunjuk-nunjuk jika ada Ibu yang membawa seorang bayi lewat di depan rumah.
"Apa aku bilang, Pak. Pasti repot kan. Kasihan Feri baru satu tahun sudah punya adik lagi." Lagi-lagi Teh Ratna membahas itu.
"Gak apa-apa Bu, tuh lihat Feri nya juga seneng. Ibu istirahat dulu ya, Bapak mau mandi." Kang Budi menenangkan Teh Ratna dan menyuruhnya istirahat.
"Nitip dulu ya Tih, Akang ke belakang dulu." Kang Budi memintaku menemani mereka. Mungkin takut Feri tiba-tiba tantrum lagi.
"Iya Kang, silahkan." sahutku
Malam harinya, setelah semua anak-anak tertidur, aku pamit kepada Teh Ratna dan Kang Budi untuk pulang ke rumah dan berjanji besok akan kembali lagi untuk menemani Teh Ratna dan keempat keponakanku. Aku pulang dengan berjalan kaki. Ketika sampai rumah aku lihat lampu sudah menyala padahal dari pagi aku di rumah Teh Ratna. Apa mungkin Kang Rahman sudah pulang? Akupun berjalan lebih cepat ingin segera memastikan keadaan rumahku. Dari pagar, sudah terlihat ternyata ada Kang Rahman sudah di rumah. Suamiku itu menanyakan aku dari mana tak biasanya aku sampai pulang larut. Aku ceritakan kalau Teh Ratna sudah melahirkan dan aku membantu menjaga anak-anak Teh Ratna. Kang Rahman ikut senang mendengar kelahiran anak keempat kakakku itu. Ah, andai saja aku yang dikaruniai anak.
Setelah membersihkan diri aku merebahkan diri di tempat tidur, mungkin karena kelelahan tanpa sadar aku sudah tertidur lelap.
*****
Pagi hari saat aku bangun kepalaku terasa berat sekali, badanku juga tak enak. Kucoba memanggil suamiku. Ia pun datang dengan membawa semangkuk bubur ayam.
"Kang, Ratih pusing". Aku mencoba duduk dengan memegang kepalaku yang terasa pusing.
"Iya, tadi pas Akang bangun, Akang raba dahi Ratih panas, makanya Akang beliin bubur ayam. Sekarang makan dulu ya, sini Akang suapin." sahutnya lalu dengan telaten menyuapiku makan bubur.
"Sudah Kang, jangan banyak-banyak." Aku menghentikan suapan buburnya.
"Hari ini Ratih istirahat saja di rumah ya, jangan beraktivitas dulu. Mungkin kemarin kamu kecapean ditambah pulang malam, jadi masuk angin."
"Tapi Kang, Ratih kemarin sudah janji mau ke rumah Teteh."
"Bukan gak boleh, tapi kesana juga mau ngapain Tih, kalau lagi sakit gini Ratih bukannya bantuin, nanti yang ada malah ngerepotin Teh Ratna. Istirahat saja ya." Kang Rahman memperbaiki selimutku dan mencium keningku.
"Cepet sehat ya istri Akang". lanjutnya sambil bangkit berjalan keluar kamar. Mau tak mau aku pun menuruti suamiku untuk beristirahat saja.
*****
Keesokan harinya, badanku sudah terasa lebih enakan. Tapi Kang Rahman masih tidak memperbolehkanku kemana-kemana. Padahal aku ingin sekali melihat keadaan Teh Ratna.
"Kenapa bengong?" tanya Kang Rahman yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku.
"Gak apa-apa Kang, kepikiran Teteh aja." jawabku mengatakan apa yang sebenarnya sedang mengganggu pikiranku.
"Ya sudah sekarang kamu mandi dulu, nanti kita kesana sekalian Akang juga mau nengokin keponakan baru Akang " ucapnya sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya dan dengan semangat langsung bergegas mandi.
"Akang ke pasar sebentar ya, beli sesuatu buat Teh Ratna dan bayinya. Masa niat nengokin tapi tangan kosong. Akang pulang, Ratih udah siap ya." ucapnya sambil bersiap memakai jaket dan helm.
"Siap suamiku sayang." Kami pun sama-sama tersenyum.
Setelah bersiap, aku menunggu Kang Rahman sambil bersantai menikmati teh hangat. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Aku berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Teteh, Akang. Kok kesini? Teteh udah sehat? Baru saja Ratih sama Kang Rahman mau kesana." ucapku kaget karena tiba-tiba Teh Ratna dan Kang Budi datang kesini. Mereka juga membawa Feri dan adik bayi.
"Kami boleh masuk?" tanya Kang Budi. Mungkin ia merasa canggung karena aku hanya diam mematung.
"Oh iya maaf, ayo masuk." ucapku terbata saking kagetnya dengan kedatangan mereka.
Aku mempersilahkan mereka duduk. Kami duduk dalam keheningan, wajah mereka terlihat cemas. Aku pun bingung mau bertanya apa. Tak lama, Kang Rahman datang dan ia juga sama kagetnya seperti aku.
"Eh, ada Kang Budi sama Teh Ratna. Teteh sama bayinya sudah sehat? Maaf kemarin Ratih kondisinya kurang sehat, jadi tidak bisa mengunjungi Teteh. Sekarang baru sehat lagi, rencananya kami mau ke rumah Teteh sekarang. Oh iya ini untuk Teteh sama Dede bayi." Kang Rahman menyerahkan bingkisan kepada Teh Ratna, tetapi Teh Ratna hanya memandanginya sambil terisak. Aku semakin bertanya-tanya, ada apa ini.
"Terima kasih sebelumnya. Tapi sebenarnya kami kesini karena ada hal penting yang ingin kami bicarakan kepada kalian." Kang Budi akhirnya membuka suara.
"Ada apa sebenarnya, Kang? Kelihatannya serius sekali." Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.
"Begini, sejak adanya bayi kami yang baru lahir ini, kami merasa suasana rumah sangat kacau. Feri yang terus tantrum Dan Alia yang selalu merasa cemburu membuat kami benar-benar kewalahan. Akang takut Tetehmu kena baby blues, jadi setelah Akang pikirkan matang-matang, Akang memutuskan untuk memberikan bayi ini kepada kalian." Jelas Kang Budi. Meski terdengar berat, tapi sepertinya ia sudah yakin dengan keputusannya.
Sementara aku dan suamiku saling memandang, mencoba berinteraksi lewat sorot mata. Aku tahu ia tak akan keberatan, tapi apakah tindakan ini benar? Ku alihkan pandangan menuju Teh Ratna, ia tidak banyak bicara, ia hanya fokus mengelus-elus kepala Feri. Cukup lama kami dalam keheningan dengan pikiran masing-masing.
"Maaf sebelumnya Kang, Teh, apa kalian sudah benar-benar yakin? Bukan apa-apa, saya sama sekali tidak melarang Ratih untuk selalu membantu Teh Ratna menjaga anak-anak. Tapi kalau sampai salah satu anak diberikan kepada kami, rasanya tidak adil untuk anak itu." Suamiku mengemukakan pendapatnya.
"Sepertinya kalian keberatan. Kalau kalian memang tidak mau tidak apa-apa, biar kami cari orang lain yang mau merawat anak ini." Kang Budi sepertinya mulai terbawa emosi, ia mulai menggendong bayi mungil itu dan mengajak Teh Ratna serta Feri untuk segera beranjak.
*****

Komento sa Aklat (86)

  • avatar
    LaupaseMalau

    terima kasi

    21d

      0
  • avatar
    HRImran

    Wahhh ceritanya sangat menarikk,bagus bngtt pokoknya🫰😍

    28d

      0
  • avatar
    Yudiapp23

    sangat terkesan cetia yah bagus sekali👍

    07/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata