logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Tetap Menjadi Misteri

MENGAPA AKU DIBEDAKAN? (4)
Bersamaan dengan Pak Didi yang keluar dari rumah Ibu, Bi Ratih pun ikut keluar meninggalkan kami tanpa berkata apapun.
Sepulangnya Bi Ratih dan Pak Didi, kini hanya ada aku dan ibu di ruangan ini. Ibu memandangku dengan tatapan yang, entahlah, sulit ku artikan.
"Bu, percaya sama Lena, Lena benar-benar tidak melakukannya." Aku masih terisak dibawah sambil berjongkok memeluk lutut di dekat ibu.
"Sudahlah, Ibu juga bingung harus bersikap bagaimana dan percaya dengan siapa. Sekarang kamu istirahat aja, nanti biar Ibu minta bapakmu buat ganti uang bibimu." jawab Ibu dengan datar sambil berlalu kembali ke dapur.
Akupun bangkit dan masuk ke kamar, disana ada ketiga adikku yang sedang bermain dengan mainannya masing-masing. Aku temani saja mereka bermain, karena ku lihat ternyata ibu sedang sibuk membuat kue pesanan tetangga.
Ketika jam pulang sekolah, aku mendengar salam dari Teh Alia, A Farel dan A Feri. Mereka datang bersamaan. Aku dan adik-adik dengan semangat bergegas keluar kamar.
"Eh ada Lena." A Feri menyapaku.
"Loh Len, kamu disini? Teteh tadi tunggu di depan kelas, tapi katanya kamu udah pulang duluan dijemput Bi Ratih, ada apa sih?" tanya Teh Alia yang terlihat heran melihatku disini.
Aku diam mematung, rasanya takut dan bingung mau menjelaskan apa kepada kakak-kakakku ini.
"Gak ada apa-apa, Ibu yang minta Alena pulang cepat. Ibu sudah putuskan Alena tinggal disini saja, biar rame dan kita bisa kumpul semua tiap hari. Sekarang ayo kalian ganti baju dulu terus makan, Ibu udah siapin makan siang kalian. Ajak adik-adik juga ya, Ibu mau nganterin pesenan dulu." Ibu yang tiba-tiba muncul dari dapur langsung menjawab pertanyaan Teh Alia. Aku lega sekali karena aku terbebas dari pertanyaan Teh Alia yang membingungkan untuk ku jawab.
"Iya, Bu." jawab kami bersamaan.
"Oh iya Rel, tolong nanti bawain baju-baju Alena di rumah Bi Ratih ya, kasihan tuh pake baju adekmu kekecilan, pake baju Alia juga kebesaran." perintah Ibu kepada A Farel.
"Iya, Bu." jawab A Farel singkat.
Setelah makan siang, kami menonton TV bersama. Suasana disini selalu ramai karena banyak orang. Tapi meskipun suasananya ramai dan penuh tawa, aku selalu kepikiran Bi Ratih. Bagaimanapun Bi Ratih sudah ku anggap ibuku juga. Aku di urus Bi Ratih sejak aku masih bayi sampai sebesar ini. Tujuh tahun bukanlah waktu yang singkat. Aku jadi kepikiran, siapa yang sudah mengambil uang bibi. Memang tidak ada orang lain di rumah kami, hanya aku dan Bi Ratih yang sering berada di rumah. Tapi aku sama sekali tidak mengambilnya, lalu kira-kira siapa yang mengambil uang itu.
Tiba-tiba aku ingat, sebelum ke sekolah, ketika aku pergi ke warung untuk membeli pensil, ada Teh Alia masuk ke dalam rumah. Apa mungkin Teh Alia yang tega mencuri uang Bi Ratih? Tapi kalau bukan siapa lagi? Aku takut untuk menanyakan hal itu kepada Teh Alia. Ditambah Teh Alia menjanjikan aku dan adik-adik membeli es krim nanti sore. Dapat uang dari mana Teh Alia. Aku terus berpikir keras tapi tidak berani untuk menanyakannya secara langsung kepada Teh Alia.
Malam harinya, bapak dan ibu memanggilku ke kamar mereka. Mungkin mereka ingin membicarakan kejadian siang tadi. Supaya tidak ada yang ikut mendengar, jadi mereka sengaja memanggilku ke kamar. Aku dan saudara-saudaraku memang tidak pernah masuk ke kamar bapak dan ibu jika tidak di minta.
Aku mengetuk pintu kamar bapak dan ibu, bapak membukakan pintu dan menyuruhku masuk.
"Alena, Bapak sudah dengar cerita tentang Bi Ratih yang menuduhmu mencuri. Bapak ingin dengar langsung apa tanggapanmu?" Tanpa basa-basi bapak langsung menjelaskan maksudnya memanggilku ke kamar. Padahal mungkin bapak masih capek baru pulang dari tempat bekerja. Bapakku adalah seorang buruh pabrik, yang setiap hari pergi pagi dan pulang menjelang malam.
"Alena tidak tahu apa-apa, Pak. Alena sungguh tidak mencuri uang Bi Ratih. Untuk apa Alena mencuri uang Bibi. Alena tiap hari sudah dikasih uang jajan sama bibi. Meskipun tidak besar, itu sudah cukup untuk Alena. Dan selama Alena di rumah bibi, Alena tidak pernah berani masuk ke kamar Bibi jika bukan Bibi yang minta." Aku menjawab dengan sedikit terisak. Entahlah setiap mengingat kejadian tadi rasanya aku ingin sekali menangis.
"Ya sudah, Nak. Bapak percaya anak Bapak. Biar nanti Bapak yang ganti uang Bibimu. Udah, kamu jangan nangis. Nanti saudara-saudaramu lihat." Bapak berusaha menenangkanku yang sudah berlinang air mata.
"Iya Pak, maaf gara-gara Alena, Bapak jadi harus ganti uang Bibi, tapi Alena benar-benar tidak mengambil uang itu." Aku berusaha menghapus air mataku.
"Sudah, sudah. Sekarang Ibu sama Bapak mau ke rumah Bibimu. Kamu dirumah ya, jagain adek-adekmu. Kasihan tuh Alia sendirian jagain ketiga adekmu." Ibuku berkata sambil bersiap-siap memakaikan kerudung instannya.
"Iya Bu, salam buat Bibi, sampaikan maaf Alena kepada Bibi." Semoga maafku diterima oleh Bibi, karena bagaimanapun aku sangat menyayanginya.
Kejadian itu sudah lima tahun berlalu, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana Ibu, Bapak dan Bibi menyelesaikan masalahnya. Sikap bibi kepadaku sudah kembali baik, tidak marah lagi. Tapi sejak kejadian itu aku terus tetap tinggal bersama Ibu dan Bapak.
*****

Komento sa Aklat (86)

  • avatar
    LaupaseMalau

    terima kasi

    22d

      0
  • avatar
    HRImran

    Wahhh ceritanya sangat menarikk,bagus bngtt pokoknya🫰😍

    29d

      0
  • avatar
    Yudiapp23

    sangat terkesan cetia yah bagus sekali👍

    07/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata