logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bi Ratih Murka

MENGAPA AKU DIBEDAKAN? (2)
Aku adalah anak keempat dari tujuh bersaudara. Kakak-kakakku masing-masing berjarak dua tahun. Tapi A Feri denganku hanya berjarak satu tahun, karena waktu A Feri baru berusia tiga bulan, tanpa direncanakan Ibu mengandungku di dalam rahimnya. Ketika aku dilahirkan, Ibu masih repot mengasuh A Feri yang masih kecil, jadi aku dititipkan Ibu dan Bapak kepada Bi Ratih, adik kandung Ibu yang sampai saat ini belum mempunyai buah hati.
Bi Ratih, yang memang sedang menanti buah hati, tentu saja dengan senang hati menerima aku. Walaupun aku tinggal dengan Bi Ratih, aku tetap menggunakan identitas asliku, aku dikenalkan dengan ibu kandungku dan saudara-saudaraku. Bi Ratih sangat menyayangiku dengan tulus meski dalam keterbatasan finansial. Suami Bi Ratih bekerja serabutan jadi penghasilannya pun tidak tetap.
Ketika hari pertama aku akan mulai masuk sekolah dasar, Teh Alia menemaniku karena kami bersekolah di sekolah yang sama, begitu juga kakak-kakakku yang lain. Aku duduk di kelas satu, A Feri kelas dua, Teh Alia kelas empat dan A Farel, kakak sulungku kelas enam. Meskipun aku kadang merasa dibedakan, tapi aku bahagia masih bisa bebas bermain dengan saudara-saudara kandungku, juga berkunjung ke rumah Ibu kapanpun aku mau.
Suatu hari, aku bangun pagi dan seperti biasa aku membantu Bi Ratih membereskan rumah. Hari ini aku masuk sekolah pukul sepuluh, jadi aku bisa agak santai dan tidak terburu-buru mengerjakan pekerjaanku. Aku lihat Bi Ratih menuju keluar dengan membawa pakaian kotor.
"Bi, kok bajunya dibawa keluar?" tanyaku yang heran melihat Bi Ratih membawa ember besar juga.
"Air tadi tiba-tiba mati Len, jadi Bibi mau nyuci di ledeng. Tapi kalau kamu mau mandi, masih ada air satu ember kamu pakai aja, uang bekal sudah bibi simpan di tasmu. Kalau mau berangkat sekolah, kunci rumah simpan di tempat biasa ya." jawab Bi Ratih.
"Oh iya Bi, Bibi hati-hati ya, maaf Lena gak bisa bantu." Aku berkata sambil merasa bersalah melihat kerepotan Bi Ratih.
"Gak apa-apa Len, kamu sekolah aja yang bener. Kamu kan sudah bantuin Bibi beres-beres rumah. Ya sudah, Bibi berangkat dulu ya." Akhirnya Bibi pergi dengan membawa ember yang berisi pakaian kotor kami.
Aku kadang malu karena pakaianku masih dicuci Bi Ratih, tapi waktu aku mau cuci baju sendiri Bibi selalu melarangku dengan alasan aku ini masih kecil, tugasku hanya belajar dengan baik supaya kelak menjadi orang yang sukses dan bisa mengangkat harkat dan derajat keluarga.
Setelah kepergian Bibi, aku langsung bergegas mandi dan bersiap berangkat ke sekolah. Biasanya Teh Alia selalu mampir kesini untuk mengajakku berangkat bersama karena memang jalan ke sekolah kami melewati rumah Bi Ratih, jadi setiap hari kami berangkat bersama.
Sambil menunggu Teh Alia, aku pergi ke warung sebentar membeli pensil karena pensilku sudah pendek. Sepulang dari warung, aku melihat pintu rumah sudah terbuka. Aneh, padahal tadi aku sudah menutup rapat pintunya, walupun memang tidak dikunci karrna aku hanya keluar sebentar.
Saat aku masuk, ku lihat ada Teh Alia sedang berjalan mundur membelakangiku
"Lagi apa, Teh? tanyaku sambil menepuk pundaknya.
"Astaghfirullah, Lena, kamu ngagetin aja. Teteh ya cari kamu lah Len. Dari mana kamu?" jawabnya dengan nada seperti orang yang gugup.
"Aku habis beli pensil, pensilku udah pendek banget. Teteh kenapa kok keringetan gitu? Teteh sakit?" tanyaku lagi karena melihat kening Teh Alia yang penuh dengan keringat.
"Gak apa-apa, udah cepetan kita berangkat." jawabnya sambil berjalan keluar.
"Iya, tapi Teteh beneran gak apa-apa kan? Teteh agak pucat loh." tanyaku memastikan.
"Masa sih, Teteh sehat kok makanya sekarang mau sekolah juga." timpal Teh Alia sambil berjalan keluar.
Aku mengikutinya berjalan keluar, mengunci pintu dan menyimpan kuncinya di pot bunga, sesuai perintah Bi Ratih. Kamipun berjalan beriringan menuju sekolah.
Tiba di sekolah, kami berpisah menuju kelas masing-masing. Aku langsung menuju kelasku, duduk sambil beristirahat setelah berjalan kaki selama 20 menit. Teh Alia pun menuju kelasnya. Tak lama, bel berbunyi dan aku mulai mengikuti pelajaran di sekolah.
Setelah kurang lebih satu jam aku dan teman-teman sekelasku belajar dikelas, tiba-tiba kami dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang sangat keras. Jelasnya bukan seperti ketukan, tapi gebrakan. Bu Guru yang terlihat kaget pun langsung membuka pintu, ternyata itu Bi Ratih dan seorang bapak-bapak yang tak begitu ku kenal. Aku mengerutkan kening, dalam hati bertanya-tanya ada apa mereka kemari.
"Maaf Bu Guru mengganggu." Bapak-bapak itu membuka suara saat Bu Guru membuka pintu kelas kami.
"Ya, ada apa ya Pak?" tanya Bu Guru yang terlihat penasaran.
"Kami ingin menemui Alena." jawab Bapak-bapak itu.
"Oh iya silahkan, ada perlu apa ya? Sepertinya ada hal penting?" tanya Bu Guru dengan ramah.
Tanpa diduga, bukannya menjawab pertanyaan Bu Guru, Bi Ratih malah langsung menerobos masuk kelas dan menghampiriku dengan wajah yang penuh amarah. Bibi memeriksa tas ku, mengacak-ngacak buku dan semua isi tasku. Bibi juga memeriksa bajuku, semua yang menempel dibadanku diperiksa Bibi dengan kasar. Aku yang merasa kaget dan malu karena menjadi tontonan teman-temanku di kelas, hanya bisa diam sambil bertanya-tanya dalam hati, ada apa sebenarnya?
*****

Komento sa Aklat (86)

  • avatar
    LaupaseMalau

    terima kasi

    22d

      0
  • avatar
    HRImran

    Wahhh ceritanya sangat menarikk,bagus bngtt pokoknya🫰😍

    29d

      0
  • avatar
    Yudiapp23

    sangat terkesan cetia yah bagus sekali👍

    07/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata