logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Mengapa Aku Dibedakan?

Mengapa Aku Dibedakan?

Ummi Frahmatika


Harapan yang Pupus

Mengapa Aku Dibedakan? (1)
"Ibu.... Alena lulus..." teriakku girang berlari mencari Ibu sepulangnya aku dari sekolah.
"Ya ampun, Alena. Kamu berisik sekali, mengagetkan Ibu saja. Untung Ibumu ini gak punya penyakit jantung." sahut Ibu.
"Maaf, Bu." ucapku pecicilan karena suasana hatiku yang sedang merasa senang.
"Sudah, sudah, ganti bajumu sekarang. Gangguin Ibu aja." ucap Ibu memerintahkanku agar aku mengganti seragam merah putihku ini.
Aku tersenyum-senyum sendiri melihat seragamku ini, seragam ini saksi perjuanganku sampai aku bisa lulus dengan hasil yang sangat baik, mungkin nanti aku akan merindukan seragam ini, saat aku sudah memakai seragam putih biru.
Aku tak menggubris perintah Ibu untuk berganti pakaian, aku malah duduk manis mendekati ibu.
"Bu, Alena mau lanjut ke SMP Negeri ya, kata Bu Guru nilai Alena paling bagus diantara teman yang lain, jadi Lena pasti bisa masuk SMP Negeri," pintaku saat aku memperlihatkan surat keterangan lulus dari sekolah dasar.
"Gak usah sekolah lah, kamu bantuin ibu dan bapak aja kerja cari uang, kamu itu kan adiknya banyak, mereka juga termasuk tanggung jawabmu," jawab Ibu yang sedang sibuk memasak di dapur.
"Tapi Bu, Alena mau sekolah yang tinggi, biar jadi orang sukses, nanti kan kalau Alena sukses, Ibu sama Bapak juga yang bangga. Alena janji akan bersungguh-sungguh belajar dan gak akan sampai mengecewakan ibu dan bapak. Teman-teman Alena juga semua lanjut ke SMP kok Bu," bujukku kepada Ibu yang masih fokus memasak.
"Alena, kamu mau sekolah tinggi-tinggi buat apa? Kamu itu perempuan, nanti setelah lulus ujung-ujungnya ya ke dapur lagi. Jangan lihat teman-teman kamu, mereka gak punya banyak adik kaya kamu. Udah lah gak usah aneh-aneh," Ibu tetap teguh dengan pendiriannya.
"Tapi kakak-kakak Lena, A Farel, Teh Alia, dan A Feri mereka bisa lanjut sekolah meskipun banyak adik," timpalku yang mulai terisak.
"Dengarkan ibu ya Alena, Farel dan Feri itu anak laki-laki, mereka wajib sekolah sampai ke jenjang yang lebih tinggi, Alia juga ibu sekolahkan karena dulu yang sekolah masih 2 orang, jadi Ibu dan Bapak masih sanggup membiayai sekolahnya, kalau sekarang ditambah kamu, Ibu dan Bapak akan sangat keberatan." jawab Ibu yang benar-benar mematahkan semangatku.
"Tapi, Bu. Lena mau sekolah." Aku sudah tak bisa menahan tangisku.
"Sudahlah Alena, nanti Ibu akan berusaha carikan kerjaan buat kamu."
"Lena bukan mau kerja, Bu. Lena mau sekolah."
"Kamu ini dibilangin ngeyel ya, gak ada gunanya Ibu sekolahkan kamu, nanti yang ada Ibu sama Bapak malah keluar uang banyak, setelah lulus paling kamu balik lagi ke dapur." ketus Ibu.
"Ya, enggak Bu. Lena janji akan jadi wanita sukses. Lena mau bisa ke luar negeri, Lena mau keliling dunia."
"Ngawur kamu, kalaupun Ibu dan Bapak punya uang banyak, mending uangnya buat nyekolahin anak laki-laki, daripada nyekolahin anak perempuan yang pasti hanya akan berujung di dapur."
"Ayolah, Bu. Lena mohon." Aku masih berusaha memohon kepada Ibu, berharap hatinya tersentuh dan berubah pikiran.
"Sudah, sudah, sekarang kamu bantu ibu cari adik-adik kamu, tadi katanya mereka mau main di lapangan, suruh mereka pulang untuk makan siang." cerocos Ibu tanpa memberi kesempatan padaku untuk menjawab lagi.
Akhirnya bulir-bulir bening dari mataku sudah tidak bisa ditahan lagi, hancur sudah harapan dan cita-citaku dalam merangkai masa depan. Padahal cita-cita dan impianku sangatlah tinggi. Banyak hal yang sudah aku susun dalam rencana masa depanku.
Akhirnya, sambil sedikit terisak, Aku keluar rumah memanggil adik-adikku.
"Anita, Rafli, Kamil, dipanggil Ibu, disuruh makan dulu," teriakku kepada adik-adikku yang sedang bermain kejar-kejaran di lapangan."
"Iya Teh, Teteh udah pulang?" jawab Anita yang segera menghampiriku.
"Teteh gimana lulus gak?" tanya Kamil, adik bungsuku.
Aku hanya mengangguk sambil mencoba untuk sedikit tersenyum.
"Wah, Teteh udah lulus, sebentar lagi Teteh seragamnya jadi putih biru ya kaya A Feri." sambung Rafli.
Saat mendengar perkataan Rafli, tanpa terasa air mataku jatuh lagi tanpa bisa kutahan.
"Teteh kenapa kok nangis?" Raut wajah Anita berubah khawatir.
"Teteh gak apa-apa, bahagia aja akhirnya Teteh bisa lulus, kalian tahu kan gimana semangat dan kerja keras Teteh saat ujian."
"Iya ya. Teteh sampai gak mau main sama sekali saking sibuknya Teteh belajar. Emang gak capek ya Teh belajar terus?"
"Ya enggak dong, belajar itu proses hidup dan tidak akan ada berhentinya."
"Gak akan berhenti? Seumur hidup? Jadi seumur hidup aku bakalan terus belajar matematika? Aah, tidak." keluh Kamil yang terlihat lucu sehingga membuat kami semua tertawa.
"Ya gak harus matematika terus, nanti juga kalau sudah besar kamu akan mengerti sendiri. Yuk ah kita pulang, kasihan Ibu sudah nunggu kita buat makan siang." Akupun berjalan pulang bersama adik-adikku.
"Ciyee, yang mau jadi anak SMP. Aku denger Teteh nilainya paling bagus ya? Tadi ada temen sekolah Teteh yang lewat terus bilang kalau Kakakku ini hebat, bisa dapat nilai tertinggi." Anita berceloteh dengan riangnya.
"Alhamdulillah." ucapku tersenyum.
"Wah hebat, bangga dong kita jadi adeknya Teteh." Rafli menimpali.
"Iya dong, nanti aku juga mau pinter ah, biar bisa ranking satu, biar semua keluarga juga bangga sama aku." ucap Kamil.
Mereka terus berceloteh menggodaku sepanjang perjalanan menuju rumah, tanpa mereka tahu, hatiku teriris semakin dalam mendengar harapan dan kebanggaan mereka terhadapku.
*****

Komento sa Aklat (86)

  • avatar
    LaupaseMalau

    terima kasi

    22d

      0
  • avatar
    HRImran

    Wahhh ceritanya sangat menarikk,bagus bngtt pokoknya🫰😍

    29d

      0
  • avatar
    Yudiapp23

    sangat terkesan cetia yah bagus sekali👍

    07/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata