logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Hujan di Wajahmu (7)

Arina sudah siap untuk menemui Satrio di kantor pemasaran nanti. Dia saat ini hanya sedang menunggu taksi online datang menjemputnya. Disaat yang senggang seperti ini Arina menghabiskan waktunya untuk membaca sebuah novel yang dia beli semalam.
"Mau berangkat, Rin?" sapa Sinta yang baru saja keluar dari balik pintu rumahnya.
"Iya." Arina mengangguk pelan.
"Oh iya, tadi malam kamu kenapa, kan habis ketemu pembeli, kok mukanya kecut begitu?" tanya Sinta penasaran.
"Gapapa, kok. Oh iya, nanti setelah pulang aku akan beli bakso. Kita makan bareng ya?!" Arina mengalihkan pembicaraannya.
Sinta mengerti, sepertinya Arina tidak ingin membahas hal itu.
"Yang pedas ya!" Sinta tersenyum. Namun dalam hatinya, Sinta sangat khawatir dengan Arina.
Mengingat hal yang buruk terjadi pada temannya dulu, membuat Sinta begitu cemas. Namun dia tidak bisa memaksa Arina untuk menceritakan yang sebenarnya. Mungkin Arina bisa mengatasi masalahnya ini sendiri tanpa bantuannya.
Tak lama kemudian sebuah taksi datang menjemputnya. Arina langsung masuk ke dalam mobil tersebut dan pergi. Sesampainya di kantor pemasaran, dia pun menunggu kedatangan Satrio.
Setelah beberapa saat kemudian akhirnya yang dia tunggu akhirnya datang juga.
"Selamat pagi!" Satrio menyapa Arina.
"Iya, selamat pagi, om."
Setelah itu Arina dan Satrio pergi mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan. Perlu beberapa menit untuk menyelesaikan itu semua.
Setelah urusannya selesai, Satrio mengajak Arina untuk pergi ke sebuah kafe kecil. Dia bilang ada sesuatu yang ingin dibicarakan kepada Arina. Karena saat ini Arina merasa senggang, akhirnya dia menerima tawaran Satrio.
"Kamu lagi ada masalah sama Dani?" Satrio tiba-tiba bertanya.
"Cuma masalah kecil kok, om," jawab Arina seraya tersenyum kaku.
"Kelihatannya tidak begitu, dari tadi dia murung terus tadi pagi."
Arina merasa sedikit bersalah karena telah meninggalkan Dani begitu saja tadi malam. Tapi itu bukanlah tanpa sebab, Arina tidak begitu suka saat Dani menutup-nutupi sesuatu kepadanya, itu sama saja seperti Dani sedang membohonginya. Dia begitu takut dengan kebohongan. Karena kebohonganlah yang membuat hatinya hancur, sehancur-hancurnya.
"Mungkin Dani telah melakukan kesalahan yang membuatmu tidak nyaman. Tapi percayalah, dia melakukan itu demi kamu, hanya saja dia tidak berpikir panjang. Saya juga baru melihat Dani secinta ini kepada perempuan setelah dia berniat menutup hatinya." Satrio menarik gelas kopinya. "Dia pernah dipermainkan oleh perempuan. Bisa dibilang mereka hanya memanfaatkan uangnya. Mereka sama sekali tidak pernah mencintainya dengan tulus." Satrio meneguk kopinya.
Arina terdiam sejenak, lalu bertanya. "Apa Dani mengalami semua itu selama ini?"
"Iya, dia pernah bercerita kepada saya, kalau mantan kekasihnya pernah meminta uang untuk berobat orang tuanya. Tapi kenyataannya, Dani melihat mantan kekasihnya itu berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Dia juga mencari tahu tentang desas desus keluarganya yang katanya pernah dirawat di rumah sakit, namun nyatanya semua itu hanyalah kebohongan. Lalu setelahnya, dia mulai membenci perempuan, tapi entah kenapa setelah dia bertemu denganmu kebenciannya langsung menghilang.
Arina menelan ludahnya. Bahkan sepertinya kisah Dani lebih parah darinya. Sekarang Arina benar-benar merasa bersalah. Arina benar-benar merasa malu sekarang.
"Om ... Apa om bersedia untuk menceritakan hal lain tentang Dani yang masih belum saya tahu?" Arina menatap dalam Satrio.
"Tentu, kalau kamu ingin mendengarnya." Satrio tersenyum.
Satrio mulai menceritakan semua hal yang dia tahu tentang Dani, kecuali tentang kafe dan keluarganya. Dani pernah berpesan kepada Satrio agar jangan pernah mengatakannya kepada Arina. Dia tidak mau kalau Arina mendengar semua itu dari mulut orang lain, selain dirinya.
Mata Arina mulai berkaca-kaca setelah mendengar semua cerita tentang Dani. Dia tidak pernah menyangka kalau Dani seperti itu.
Arina menutup mulutnya erat, matanya masih berkaca-kaca.
"Om berharap agar kamu bisa menentukan pilihanmu. Masalah yang kamu tinggal, akan terus mengejarmu," Satrio meneguk kopinya di tegukan terakhir. "Arina, saya izin pulang ya. Terima kasih atas waktunya hari ini." Satrio bangkit dari kursinya dan berpamitan.
***
Arina menatap bunga sintetis berwarna merah itu. Dia kemudian meraihnya dan meletakkannya kesebuah vas bunga yang baru saja ia beli.
Arina pernah menganggap bahwa dirinya lebih menderita dari Dani. Dia sempat berpikir kalau orang seperti Dani hanyalah orang yang selalu hidup dalam kesenangan. Tentu saja karena dia memiliki banyak uang. Arina mendefinisikan uang sebagai sumber kebahagiaan. Namun nyatanya uang tidak bisa mewujudkan kebahagiaan seperti yang ada dipikirannya.
Bak sebuah bunga yang begitu indah, banyak orang yang memetiknya namun mereka tidak ingin merawatnya.
Arina meraih handphonenya, dia mulai mengetikkan sebuah pesan kepada Dani.
'Malam ini aku ingin bertemu di kafe, jam delapan malam.'
Arina mematikan handphone miliknya dan menjatuhkan tubuhnya ke kasur lembutnya. 
Hembusan angin dari kipas angin yang menyala menerpa rambutnya yang hitam legam, mengombang-ambing. Arina terdiam, dia menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.
Siluet Dani muncul dalam ingatannya, membawa sebuah perasaan yang terasa aneh. Arina sulit mendefinisikan hal ini. Apa ini sebuah benci, takut, suka atau semacamnya? pikirnya.
Arina memasrahkan dirinya pada takdir, kemana pun takdir membawanya, dia akan menerimanya.
Malam ini akan menjadi malam penjelasan.
Tak lama kemudian handphone milik Arina menyala dan mengeluarkan sebuah bunyi notifikasi. Arina meraihnya dan membaca sekilas balasan dari Dani, dia setuju dengan permintaan Arina. Namun ketikannya begitu singkat dari biasanya.
"Apa dia marah?" Pikir arina.
Entah mengapa Arina menjadi gelisah sekarang. Hanya karena sebuah balasan pesan yang singkat.
Sejak kapan dia peduli dengan hal seperti ini?
Akhirnya Arina memilih untuk keluar kamar. Dia ingin menghirup udara segar di luar untuk menenangkan pikirannya.
Setelah keluar rumah, Arina melihat Sinta sedang menyiram tanamannya sambil bersenandung ria.
"Siram terus ...," tegur Arina.
Sinta menoleh. "Iya nih Rin, oh iya ngomong-ngomong makasih ya baksonya," ujarnya.
"Iya sama-sama. Aku kan udah janji." Arina duduk di kursi teras.
"Bisa kali, lain kali," kekeh Sinta.
"Kalau kamu nikah aku hadiahin bakso, deh." Arina balik memancingnya.
Sinta sebenarnya sudah bertunangan dengan seorang, dan berencana akan menikah dalam waktu dekat.
"Masa teman nikah dibawain bakso," tutur Sinta.
"Tadi kan minta."
"Ya, gak pas nikahan juga."
Arina terkekeh pelan, "Oh iya menurutmu tunanganmu itu seperti apa?" tanya Arina.
"Seperti apa bagaimana?" tanyanya balik.
"Maksudnya apa yang membuatmu suka dengan tunanganmu?" Arina mengerutkan keningnya.
"Banyak ... Aku saja diminta untuk berhenti kerja, padahal kita belum menikah. Tapi satu hal yang paling kusuka dari dia yaitu." Sinta meletakkan alat penyiramnya. "Dia selalu berjuang demi mewujudkan impiannya meski orang tuanya tidak begitu setuju. Pada akhirnya orang tuanya setuju setelah melihat anaknya berhasil. Aku sangat menyukai kerja kerasnya itu." Sinta menarik simpul senyum.
Tidak ada yang indah dari sebuah cinta sejati. Mereka tumbuh begitu kuat meski banyak penghalang yang ingin mengganggu mereka.

Komento sa Aklat (78)

  • avatar
    iyan kece

    dapet duit

    4d

      0
  • avatar
    Rici Gustina

    aku sangat suka cerita ini , cerita ini sangat bagus 🤩 semakin lama ceritanya juga semakin tidak membosankan

    6d

      0
  • avatar
    Indah Widya

    Bagus cerita nya

    7d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata