logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Gunjingan Tetangga

Suara pintu diketuk, menyapa kamar Aruni, ketika masih pagi buta, bahkan di luar masih terlihat gelap. Aruni mengerjap-ngerjapkan matanya berulang, masih pusing dirasa. Semalam dia sulit untuk tertidur hingga larut. Bahkan sisa air mata yang telah mengering masih menempel di pipinya. Perlahan dia menghampiri bangku ajaib di samping dipan, setelah kesadaran pulang pada raganya.
Pintu masih terbuka sedikit, ketika seorang gadis nyelonong masuk ke dalam dengan tangis meraung.
"Mbak, Anton mau putusin aku, Mbak."
"Kenapa?" tanya Aruni.
"Ih, Mbak ih, pura-pura tidak tahu. Ini semua gara-gara, Mbak tahuu … huaaaa …." Menangis lagi.
"Kok, gara-gara, Mbak?" Berkaca-kaca.
"Ya iyaa, Ayah tidak mengizinkan, Anton mempersuntingku, jika, Mbak belum menikah duluan. Anton tidak terima, dia merasa direndahkan. Lagian kalo harus menunggu, Mbak, mau sampai kapan? Sampai kiamat, hah?" Bicara sambil menuding-nudingkan jari telunjuk ke arah wajah Aruni. Matanya membesar seperti hendak memakan manusia di hadapannya.
Tangis Aruni pecah. "Lantas, Mbak harus bagaimana?" Menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
"Pokoknya, Mita gak mau tahu, Mbak harus sudah menikah dalam waktu satu bulan ini, titik!"
"Bagaimana bisa, Mit? Kau tahu sendiri keadaan, Mbak seperti ini, mana ada lelaki yang mau menikah denganku?" lirihnya sambil menunduk, suara Aruni hampir tidak terdengar.
"Jadi, Mbak gak mau membantuku? Ingat, Mbak, umurku sekarang sudah dua puluh lima tahun. Aku butuh lelaki untuk menemani hari-hariku. Aku gak mau jadi perawan tua kaya, Mbak!" teriak Mita pada kalimat terakhir. Berlalu meninggalkan kamar, menyisakan suara membahana pintu yang ditutupnya dengan keras.
Tak ada yang tahu peristiwa yang baru saja terjadi, selain mereka berdua. Seperti biasa di jam seperti ini, Pak Wibowo menghirup udara pagi dan menggerak-gerakkan tubuh keriputnya ringan. Menghasilkan keringat, dengan mengelilingi sepanjang jalan gang sekitar rumah.
Sementara Bu Wibowo pergi ke pasar templek pinggiran jalan, membeli sayur untuk dimasak hari ini. Ia tidak pernah menyetok sayur di lemari es, karena pasar templek menyuguhkan sayur-sayur segar setiap harinya. Letak pasar templek juga lumayan dekat dari rumah.
Jalanan masih belum begitu ramai, suasana sejuk menyapa wajah. Angin berdesik mengibarkan kain longgar yang melekat di tubuh wanita paruh baya itu.
"Eh, Bu RT sudah datang."
"Iya, kok tumben jam segini sudah datang. Biasanya agak siangan?" Ibu-ibu yang sudah datang lebih dulu, berbasa-basi menyambut kedatangan Bu Wibowo . Di lapak sudah ramai dengan ibu rumah tangga yang memiliki kepentingan sama.
"Aduh ... jek isuk rambute uwes teles. Hehe … Pak RT sek tokcer ae ya, tibakno. Eh," ucap Bulek Ningrum sambil tertawa kecil, dan sedikit menutup bibir dengan telapak tangannya.
"Haduh ... Ibuk-Ibuk iki mesti rame ae, senengane kepo urusane wong, keramas isuk-isuk iku apik gae kesehatan. Meredakan gejala depresi, mengatasi susah bangun tidur, melawan berbagai penyakit, meningkatkan sirkulasi darah, meringankan nyeri otot, dan masih banyak lagi. Kucarikan dalilnya tentang kebaikan mandi sebelum subuh, mau?" Bu Wibowo menggerakkan bola matanya, mengabsen setiap ibu-ibu yang ada di lapak sayur itu.
"Sudah … sudah … wejangan hari ini cukup segitu dulu, Bu. Bu RT kalau bicara memang suka bener yaa. Hehe," jawab salah satu dari mereka.
"Oh iya, Mita sudah lama yaa, bekerja di perusahaan Pratama, pasti bayarannya sudah gedean." Berbasa-basi sambil memilih-milih sayuran.
"Wah, anak sudah sukses bekerja di perusahaan besar. Sebentar lagi Bu RT akan mengadakan pesta pernikahan besar-besaran, dong yaa." Mengoceh sesuka hati.
"Hmm, makasih banyak loh, sudah didoakan dan diperhatikan sedemikian rupa." Bu Wibowo menanggapi asal, kemudian menoleh ke arah penjual.
"Jadi belanjaan saya, habis berapa Pak?" Bu Wibowo segera membayar sayur yang telah dipilihnya.
"Saya duluan yo Ibu-Ibu," lanjutnya, menoleh ke arah ibu-ibu kepo sebentar sebelum meninggalkan lapak.
𝘛𝘦𝘳𝘭𝘢𝘭𝘶 𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘪𝘯𝘪, 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘨𝘦𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘨𝘪𝘭𝘢 𝘢𝘬𝘶, batinnya sambil mempercepat langkah.
Seperginya Bu Wibowo, ternyata obrolan mereka masih berlanjut. Gosip memang menjadi makanan lezat bagi ibu-ibu yang tak punya kesibukan.
"Eh, tahu nggak, semalam, Mita si anaknya Bu RT, bawa lelaki ke rumah, loh, tidak biasa-biasanya." Memulai percakapan kembali.
"Jangan-jangan memang benar mau lamaran?"
"Heleh, mana dibolehin, Mita menikah duluan mendahului Aruni? Pak RT kan sangat memegang aturan adat jawa."
"Kasihan bener, Rek, kalau Mita harus menunggu Aruni dapat jodoh baru boleh menikah, bisa-bisa kedua putrinya akan jadi perawan tua semua. Gadis cacat seperti Aruni, mana ada pria normal yang mau menikahinya?" Mereka saling bersahutan dengan wajah berapi-api penuh semangat.
"Sudahlah Bu, jangan terlalu mencampuri urusan orang lain. Kita tempatkan pada diri kita sendiri saja, bagaimana kalau musibah itu menghampiri kita, bagaimana perasaan kita. Sedih juga bukan?" Bulek Ningrum berusaha menghentikan obrolan mereka. Meskipun suka usil, tapi Bibi Ningrum aslinya sering menjadi pembela bagi keluarga Pak RT.
"Heleeh … kita itu tidak mencampuri urusan orang lain. Cuma membahas fakta saja kok ya, Jeng." Sedikit mengangkat dagu dan mengedipkan mata ke arah ibu di sebelahnya.
Mereka masih saja mengoceh ke sana ke sini, sebelum akhirnya say goodbye. "Sudah ya, Jeng, saya duluan, takut telat masaknya."
"Iya, silakan duluan, Jeng! Saya juga sebentar lagi selesai," timpal yang lain.
Baru dua langkah ibu baju hijau berjalan, ada suara nyaring menghentikannnya.
"Tunggu, Bu … Anda belum bayar sayurnya!" seru penjual sayur, diikuti dengan sorotan bola mata tajam dari segala penjuru.
Deg!
"Oh iya, maap saya kelupaan." Mencubit kecil paha ibu di sebelahnnya, wajahnya memerah seperti kepiting rebus.
"Dari tadi ngobrol tidak habis-habis sih, sampai lupa bayar. Hehe," celoteh Bibi Ningrum, diikuti gelak tawa oleh ibu-ibu lainnya.
Menyegerakan langkah ketika transaksi sudah selesai. Seperti kancil, beberapa detik ia sudah sampai di gapura jalan masuk gang. Eh, ada teriakan lagi. Bahkan, yang sekarang lebih kencang dan berbarengan memanggilnya.
"Ibu … Jeng … Buk … Nyonya …." Panggilan itu berjamaah dari sumber suara yang berbeda-beda, tapi tingkat lengkingnya hampir sama.
𝘏𝘶𝘩, 𝘴𝘪𝘢𝘭! 𝘖𝘯𝘰 𝘰𝘱𝘰 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘩 𝘴𝘦?
Ibu baju hijau memutar badannya lemah.
"Ada apa la … gi ...?" Lemas, sepersekian detik berikutnya matanya membelalak, mulutnya sedikit terbuka.
𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢! 𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘫𝘢𝘥𝘪 𝘵𝘪𝘣𝘢-𝘵𝘪𝘣𝘢 𝘱𝘪𝘬𝘶𝘯 𝘣𝘦𝘨𝘪𝘯𝘪 𝘴𝘦? 𝘚𝘪𝘢𝘭 𝘣𝘦𝘯𝘦𝘳 𝘱𝘢𝘨𝘪 𝘪𝘯𝘪.
Langkah kaki lemas menghampiri beberapa kantong plastik yang berisi sayur bayam, bumbu dapur, dan lele mentah.
"Hehe …." Nyengir sambil mengambil alih kantong plastik dari tangan yang menggoyang-goyangkannya tadi.
Tanpa ucapan terima kasih, nyelonong menjauhi kerumunan pembeli lainnya.
Bruk!
Kantong plastik yang tidak mampu menahan beban lebih berat, akhirnya sobek. Lele-lele yang belum sepenuhnya mati meloncat ke segala arah, membebaskan diri dari belenggu kantong plastik. Muka ibu itu sudah merah padam.
𝘈𝘮𝘣𝘺𝘢𝘳! 𝘈𝘬𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘪𝘯 𝘵𝘦𝘯𝘨𝘨𝘦𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦 𝘥𝘢𝘴𝘢𝘳 𝘱𝘢𝘭𝘶𝘯𝘨 𝘔𝘢𝘳𝘪𝘢𝘯𝘢 𝘴𝘢𝘫𝘢. 𝘚𝘪𝘢𝘭, 𝘴𝘪𝘢𝘭!
Bersambung

Komento sa Aklat (279)

  • avatar
    ARYABSK

    bagus

    4d

      0
  • avatar
    Lince rumansaraYane

    wah dari cerita ini kita dapat baaanyak pelajaran bahwa kita harus percaya diri, dll

    8d

      0
  • avatar
    WarniPreh

    daimen

    20/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata